Singaraja (Antara Bali) - Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Buleleng, Bali, mengimbau umat Hindu meningkatkan silaturahim di antara keluarga, kerabat maupun masyarakat setelah Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1939.
"Silaturahim dan saling memaafkan itu sangat penting dilakukan untuk mempererat tali persaudaraan dalam menyambut Tahun Baru Saka," kata Ketua PHDI Kabupaten Buleleng Dewa Nyoman Suardana di Singaraja, Rabu.
Menurut dia, sehari setelah Nyepi, umat Hindu melaksanakan "ngembak geni" yang bermakna memulai aktivitas kembali setelah berhenti selama 24 jam saat Nyepi.
Dalam Ngembak Geni itu, umat Hindu melaksanakan persembahyangan yang dilanjutkan dengan "Dharma Shanti", yakni bersilaturahim.
Lebih lanjut Suardana mengharapkan umat dalam menyambut tahun baru ini agar mampu melakukan pengendalian diri dalam memaknai Nyepi.
Dia menjelaskan Dharma Shanti merupakan satu dari empat esensi dalam menyambut Tahun Baru Saka bagi umat Hindu, selain ritual "Melasti", "Mecaru" dan Catur Berata Penyepian
Melasti merupakan ritual menyucikan alam semesta atau "buana agung" dan diri manusia atau "buana alit` dengan upacara penyucian di sumber mata air, seperti laut, sungai, danau dan sumber mata air lainnya.
Usai melasti, umat Hindu kemudian menggelar ritual "Mecaru" atau "Tawur Agung" sesuai dengan tingkatan teritorial, seperti di rumah tangga, tingkat banjar (dusun), desa, kecamatan, kabupaten hingga provinsi.
Ritual itu bertujuan untuk mengubah sifat negatif Bhuta Kala menjadi sifat positif dan menjadi lebih baik agar tidak mengganggu kehidupan manusia.
Saat Nyepi, kata Suardana, umat memenuhi empat pantangan atau Catur Berata Penyepian yakni "amati karya" atau tidak bekerja, "amati lelungaan" atau tidak bepergian (berdiam diri), "amati lelanguan" atau tidak bersenang-senang (hiburan) dan "amati geni" atau tidak menyalakan api, listrik dan lampu.
"Untuk amati geni dalam konteks dalam diri manusia juga berarti mengerem nafsu melalui pengendalian diri," ucapnya.
Dengan melewati empat esensi itu, ia mengharapkan manusia, khususnya umat Hindu, mampu mengendalikan diri serta introspeksi, melakukan kontempelasi selama satu tahun belakangan.
Melalui empat esensi itu diharapkan menuntun manusia ("manawa") menjadi lebih baik ("madawa") dengan mengubah sifat-sifat "danawa" atau sifat negatif Bhuta Kala. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Silaturahim dan saling memaafkan itu sangat penting dilakukan untuk mempererat tali persaudaraan dalam menyambut Tahun Baru Saka," kata Ketua PHDI Kabupaten Buleleng Dewa Nyoman Suardana di Singaraja, Rabu.
Menurut dia, sehari setelah Nyepi, umat Hindu melaksanakan "ngembak geni" yang bermakna memulai aktivitas kembali setelah berhenti selama 24 jam saat Nyepi.
Dalam Ngembak Geni itu, umat Hindu melaksanakan persembahyangan yang dilanjutkan dengan "Dharma Shanti", yakni bersilaturahim.
Lebih lanjut Suardana mengharapkan umat dalam menyambut tahun baru ini agar mampu melakukan pengendalian diri dalam memaknai Nyepi.
Dia menjelaskan Dharma Shanti merupakan satu dari empat esensi dalam menyambut Tahun Baru Saka bagi umat Hindu, selain ritual "Melasti", "Mecaru" dan Catur Berata Penyepian
Melasti merupakan ritual menyucikan alam semesta atau "buana agung" dan diri manusia atau "buana alit` dengan upacara penyucian di sumber mata air, seperti laut, sungai, danau dan sumber mata air lainnya.
Usai melasti, umat Hindu kemudian menggelar ritual "Mecaru" atau "Tawur Agung" sesuai dengan tingkatan teritorial, seperti di rumah tangga, tingkat banjar (dusun), desa, kecamatan, kabupaten hingga provinsi.
Ritual itu bertujuan untuk mengubah sifat negatif Bhuta Kala menjadi sifat positif dan menjadi lebih baik agar tidak mengganggu kehidupan manusia.
Saat Nyepi, kata Suardana, umat memenuhi empat pantangan atau Catur Berata Penyepian yakni "amati karya" atau tidak bekerja, "amati lelungaan" atau tidak bepergian (berdiam diri), "amati lelanguan" atau tidak bersenang-senang (hiburan) dan "amati geni" atau tidak menyalakan api, listrik dan lampu.
"Untuk amati geni dalam konteks dalam diri manusia juga berarti mengerem nafsu melalui pengendalian diri," ucapnya.
Dengan melewati empat esensi itu, ia mengharapkan manusia, khususnya umat Hindu, mampu mengendalikan diri serta introspeksi, melakukan kontempelasi selama satu tahun belakangan.
Melalui empat esensi itu diharapkan menuntun manusia ("manawa") menjadi lebih baik ("madawa") dengan mengubah sifat-sifat "danawa" atau sifat negatif Bhuta Kala. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017