Denpasar (Antara Bali) - Jajaran eksekutif Pemerintah Provinsi Bali mengharapkan Dewan setempat untuk tidak memaksakan pencairan hibah sesuai perencanaan awal, menyusul kondisi APBD provinsi yang mengalami penurunan pendapatan.

"Mari kita duduk bersama, menghitung dan melakukan penyisiran. Kalau Dewan tetap ngotot, ya konsekuensinya nanti bisa gagal bayar," kata Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Bali I Dewa Gede Mahendra Putra, di Denpasar, Kamis.

Dia mengemukakan, total kekurangan dana tahun anggaran 2017 untuk APBD Bali Induk mencapai Rp393,06 miliar lebih. Dari jumlah itu, sebesar Rp335,82 miliar disebabkan karena adanya persoalan Silpa dan Rp57,23 miliar sebagai dampak pencabutan MoU tentang pembagian pajak hotel dan restoran (PHR) dari Pemkab Badung kepada enam kabupaten lainnya melalui pemerintah provinsi.

Terkait Silpa, ternyata Silpa bebas tahun anggaran 2016 sebesar Rp169,23 miliar tidak dapat menutup defisit APBD 2017 yang diprediksi sebesar Rp505,06 miliar. Atau dengan kata lain dari sisi Silpa ada kekurangan sebesar Rp335,82 miliar lebih.

Pemerintah Provinsi Bali, ujar Dewa Mahendra, perlu untuk merasionalisasi kembali sejumlah belanja dalam menyikapi kondisi penurunan pendapatan dan melesetnya perkiraan Silpa, sebagai upaya menjaga agar target-target pembangunan tidak terganggu secara signifikan.

Belanja yang dapat dirasionalisasi, diantaranya adalah yang bersifat tidak wajib dan mengikat (belanja hibah organisasi kemasyarakatan), memperhitungkan kewajiban-kewajiban kabupaten yang belum dilunasi, dan mengutamakan anggaran alat kesehatan RS Bali Mandara untuk kelas III.

"Hibah itu memang diperlukan, tetapi patut diingat, kalau kemampuan keuangan daerah memungkinkan," ujar Dewa Mahendra.

Hal tersebut, lanjut dia, merujuk pada pasal 4 ayat 1 dan 2 Permendagri No 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD.

"Dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa pemerintah daerah dapat memberikan hibah sesuai kemampuan keuangan daerah dan pemberian hibah dimaksud dilakukan setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan," ujarnya.

Dewa Mahendra mengatakan anggaran yang tidak bisa dikurangi dalam APBD itu dari sisi gaji pegawai (20 persen), sektor pendidikan (20 persen), sektor kesehatan (10 persen), infrastruktur (10 persen), transfer ke kabupaten/kota (20 persen).

"Kalau ditotal, anggaran yang harus dipenuhi itu sudah mencapai 80 persen dari APBD, sedangkan sisanya 20 persen barulah untuk membiayai kegiatan di masing-masing organisasi perangkat daerah. Jadi, hibah dan BKK itu kalau keadaan keuangan daerah memungkinkan," ucapnya.

Sebelumnya sejumlah anggota DPRD Bali meminta jajaran eksekutif setempat tidak mengutak-atik hibah yang difasilitasi oleh Dewan. Hal itu diantaranya disampaikan oleh anggota Komisi III DPRD Bali Wayan Diesel Astawa dan Kadek Diana, serta anggota komisi IV DPRD Bali IGP Budiarta.

"Kalau BKK ke kabupaten/kota, silakan dilakukan penyisiran, tetapi kalau hibah Dewan di provinsi, janganlah," ujar Diesel Astawa.

Sementara itu, anggota Dewan lainnya, IGP Budiarta berpendapat kalau masyarakat sudah menunggu-nunggu pencairan hibah yang difasilitasi DPRD Bali sehingga kalau dilakukan rasionalisasi pasti akan ada guncangan di masyarakat. Sedangkan Kadek Diana mempertanyakan mengapa hibah yang difasilitasi Dewan yang menjadi sasaran setiap ada krisis finansial dalam APBD.

Pemerintah Provinsi Bali sebelumnya dalam APBD Induk 2017 mengalokasikan anggaran untuk bantuan hibah kepada badan, lembaga, dan kelompok masyarakat mencapai Rp431,17 miliar lebih. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017