Jakarta (Antara Bali) - Ahli kesehatan mengingatkan bahwa kehamilan
dapat mempengaruhi terjadinya hipertensi dan hipertensi saat hamil bisa
menyebabkan kematian ibu dan janin.
"Hipertensi sebagai komplikasi dapat terjadi pada 7-9 persen kehamilan dan 18 persen dari kematian ibu hamil disebabkan hipertensi pada kehamilan," ujar pakar hipertensi dari Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH), dr Arieska Ann Soenarta dalam keterangan tertulisnya, Kamis.
Dia menuturkan, seorang perempuan disebut menderita hipertensi bila tekanan darahnya mencapai 140/90 mmHg atau lebih. Beberapa jenis hipertensi yang umumnya terjadi pada ibu hamil antara lain hipertensi kronik, kronik dengan preeklamsia, gestasional, pre eklamsia dan eklamsia.
Hipertensi kronik biasanya muncul sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu. Hipertensi jenis ini menetap sampai 12 minggu pasca persalinan.
Sementara hipertensi preeklamsia dan eklampsia umumnya timbul setelah 20 minggu kehamilan dan disertai kejang-kejang atau koma.
Jenis hipertensi pada ibu hamil lainnya yakni hipertensi kronik dengan preeklampsia. Kondisi ini ditandai dengan preeklamsia--gangguan kehamilan yang ditandai tekanan darah tinggi dan kandungan protein tinggi dalam urin. Preeklampsia bisa membahayakan organ-organ tubuh seperti ginjal, hati dan mata.
Terakhir, hipertensi gestasional yang muncul pada kehamilan namun tak disertai kandungan protein yang tinggi dalam urine. Hipertensi jenis ini bisa menghilang setelah tiga bulan pascapersalinan.
Hipertensi jarang menunjukkan gejala dan cara mendeteksinya biasanya melalui skrining. Namun, beberapa orang dengan tekanan darah tinggi melaporkan sakit kepala (terutama di bagian belakang kepala dan pada pagi hari), serta pusing, vertigo, tinitus (dengung atau desis di dalam telinga).
Kemudian, mengalami gangguan penglihatan atau pingsan dan beberapa gejala seperti: jantung berdebar-debar, sulit bernapas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat, mudah lelah, wajah memerah dan hidung berdarah. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Hipertensi sebagai komplikasi dapat terjadi pada 7-9 persen kehamilan dan 18 persen dari kematian ibu hamil disebabkan hipertensi pada kehamilan," ujar pakar hipertensi dari Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH), dr Arieska Ann Soenarta dalam keterangan tertulisnya, Kamis.
Dia menuturkan, seorang perempuan disebut menderita hipertensi bila tekanan darahnya mencapai 140/90 mmHg atau lebih. Beberapa jenis hipertensi yang umumnya terjadi pada ibu hamil antara lain hipertensi kronik, kronik dengan preeklamsia, gestasional, pre eklamsia dan eklamsia.
Hipertensi kronik biasanya muncul sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu. Hipertensi jenis ini menetap sampai 12 minggu pasca persalinan.
Sementara hipertensi preeklamsia dan eklampsia umumnya timbul setelah 20 minggu kehamilan dan disertai kejang-kejang atau koma.
Jenis hipertensi pada ibu hamil lainnya yakni hipertensi kronik dengan preeklampsia. Kondisi ini ditandai dengan preeklamsia--gangguan kehamilan yang ditandai tekanan darah tinggi dan kandungan protein tinggi dalam urin. Preeklampsia bisa membahayakan organ-organ tubuh seperti ginjal, hati dan mata.
Terakhir, hipertensi gestasional yang muncul pada kehamilan namun tak disertai kandungan protein yang tinggi dalam urine. Hipertensi jenis ini bisa menghilang setelah tiga bulan pascapersalinan.
Hipertensi jarang menunjukkan gejala dan cara mendeteksinya biasanya melalui skrining. Namun, beberapa orang dengan tekanan darah tinggi melaporkan sakit kepala (terutama di bagian belakang kepala dan pada pagi hari), serta pusing, vertigo, tinitus (dengung atau desis di dalam telinga).
Kemudian, mengalami gangguan penglihatan atau pingsan dan beberapa gejala seperti: jantung berdebar-debar, sulit bernapas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat, mudah lelah, wajah memerah dan hidung berdarah. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017