Jakarta (Antara Bali) - Bagi mereka yang berusia kepala dua atau lebih dan masih lajang hampir pasti pernah menghadapi pertanyaan "kapan menikah?" dari orang sekitar. 

Apakah Anda merasa ada tekanan sosial bila datang seorang diri ke reuni SMA di mana teman-teman sudah sibuk menggendong bayi?

Menurut psikolog sosial Juneman Abraham, komentar-komentar yang menyentil kaum jomblo yang masih melajang sebenarnya bentuk kontrol sosial.

"Kontrol sosial untuk apa? Untuk mempertahankan keberlangsungan generasional masyarakat itu sendiri, karena menikah dan punya anak memiliki fungsi prokreasi atau reproduksi," kata Juneman pada Antara News.

Juneman mengatakan sudut pandang yang tepat adalah cara bertahan dan tetap santai menghadapi "tekanan sosial" yang kerap membuat "kuping berasap".

Relevansi kontrol sosial

Dia mengemukakan kontrol sosial yang mendesak orang untuk menikah sebenarnya sudah tidak relevan lagi dalam konteks angka kelahiran di Indonesia yang tinggi.

"Dalam hal ini, masyarakat atau sosial sebenarnya sudah kehilangan satu argumen yang penting untuk menghadirkan tekanan sosial untuk menikah," kata dia.

Hak menentukan diri sendiri

Lalu, jangan lupa bahwa seseorang punya hak untuk menentukan diri sendiri. Meski seorang individu tidak bisa lepas dari masyarakat, tapi individu dan masyarakat semestinya saling menghargai dan posisi keduanya harus seimbang.

Ini berarti masyarakat atau sosial tidak berhak mendikte anggota-anggotanya untuk melakukan ini dan itu, termasuk menikah dan punya anak.

"Kita tidak perlu melihat kehendak masyarakat atau sosial sebagai sebuah kewajiban moral. Sadari bahwa kita punya pilihan-pilihan yang mestinya dihargai juga oleh masyarakat."

Masyarakat tidak bertanggungjawab atas tindakan individu

Menikah adalah keputusan bebas dari dua individu, artinya dua orang ini siap bertanggungjawab atas kehidupan mereka kelak. Keputusan untuk menikah atau memiliki anak ada di tangan kita sendiri karena kita yang menjalaninya.

"Jika kita hanya mengikuti keinginan masyarakat untuk menikah atau punya anak, apakah masyarakat juga akan bertanggungjawab atas segala hal yang terjadi dalam kehidupan pernikahan kita?
Seringkali jawabnya adalah tidak."

Persepsi yang jernih

Sebelum naik pitam karena mendengar pertanyaan yang itu-itu saja,  sadarilah bahwa banyak komentar "kapan nikah?" atau "kapan punya anak?" kebanyakan adalah basa-basi saat tidak ada bahan pembicaraan.

Bila Anda berpikir seperti itu, Anda menyadari bahwa sebenarnya lingkungan tidak benar-benar peduli soal status di KTP atau berapa anak yang harusnya dimiliki. 

Jadi, komentar seperti itu sebaiknya jangan dianggap sebagai tekanan sosial.

"Persepsi yang kita lebih-lebihkan terhadap komentar lingkungan hanya akan merugikan psikis kita sendiri."

Miliki filosofi hidup dan gambar diri yang jelas

Apakah Anda sudah punya gambar diri yang jelas? Siapakah saya di dunia ini? Dari manakah saya dan hendak ke manakah saya? Bila ya, berarti Anda tahu apa yang benar-benar Anda inginkan. Dengan demikian, komentar dari orang lain takkan mudah membuat Anda terombang-ambing.

"Kita tidak akan sempat memikirkannya, apalagi sampai tertekan olehnya."

Orang yang sudah tahu apa yang ia inginkan akan berkutat melakukan sesuatu untuk mewujudkan hal tersebut. Bila ada masukan dari masyarakat yang sejalan dengan itu, Anda akan menggarapnya.

"Yang tidak sesuai, dibiarkan berlalu," katanya.

Maka, anyakan pada diri sendiri, "Apakah menikah dan punya anak mendukung proyek diriku?". 

Hal ini akan menentukan apa yang Anda perjuangkan, bagaimana dan sejauh mana Anda perlu berjuang, dengan motif yang benar.

Anda bukan remaja lagi

Diri seorang remaja didominasi oleh "diri sebagaimana dilihat oleh mata orang lain". Remaja merasa tidak nyaman dan kurang berharga bila tahu dirinya tidak elok di mata orang lain.

Anda sudah dewasa dan tahu bahwa Anda berharga bukan karena penerimaan dari luar diri kita, tapi dari perjuangan sendiri.

"Pada usia ini, kita juga semestinya mengerti bahwa kita tidak mampu menyenangkan semua orang."

Verba volant

Ungkapan latin kuno yang artinya "hal-hal yang dikatakan saat ini akan menguap." Pertanyaan "kapan nikah?", "kok belum hamil?" akan menguap dan lenyap pada hari itu juga. 

Padahal pernikahan atau memiliki anak adalah proyek permanen dan abadi, bukan persoalan untuk menanggapi situasi hari ini.

Pikirkan baik-baik, apakah dengan merespons "tekanan lingkungan" (misalnya cepat-cepat menikah daripada dijuluki perawan tua) gambar diri kita di masa depan akan semakin indah atau justru rusak?

"Banyak pengalaman dan testimoni di dunia ini yang menunjukkan bahwa gambar diri yang indah tidak ada kaitannya sama sekali dengan: apakah orang itu memiliki pasangan atau tidak, apakah orang itu punya anak atau tidak," papar dia.

"Tidak sedikit karya-karya dan tindakan besar yang mengubah dunia ini justru lahir dari sejarah kehidupan menjomblo."

Spiritualitas yang benar

Psikolog sosial itu mengatakan masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius. Sehingga, ungkapan "Aku menikah karena Tuhan; aku tidak menikah juga karena Tuhan" bisa dimaklumi.

"Maksudnya adalah bahwa baik menikah maupun tidak menikah, sepanjang merupakan panggilan dari Tuhan, maka keduanya merupakan sarana beribadah kepada-Nya. Dua-duanya bisa sama berkualitasnya." (WDY)

Pewarta: Pewarta: Nanien Yuniar

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017