Jakarta (Antara Bali) - Pelaku industri meminta adanya perbaikan
mekanisme impor produk kosmetika, setelah sebelumnya terbit peraturan
yang menghapuskan kewajiban verifikasi barang dari luar negeri di
pelabuhan.
"Dengan dihilangkannya wajib verifikasi impor di pelabuhan, dan kosmetika satu-satunya sektor yang didiskriminasikan, maka terbukti impor ilegal meningkat," kata Ketua Umum Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Indonesia Putri K. Wardhani dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, terbit Permendag No 87/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu dan Permendag No 70/2015 tentang Angka Pengenal Importir, yang membuat Indonesia kebanjiran aneka barang impor, termasuk produk kosmetika.
Menurut Putri, akibat Permendag itu dan berdasarkan data "post market audit" yang dilakukan oleh BPOM, impor kosmetika yang dilakukan secara ilegal kian meningkat, bahkan saat ini jumlahnya melebihi produk yang legal.
"Ini membuktikan bahwa kebijakan mengecualikan wajib verifikasi bagi sektor kosmetika adalah hal yang tidak tepat," ungkap Putri.
Ia mengharapkan ada evaluasi dari kebijakan tersebut karena penghilangan verifikasi impor tidak sejalan dengan semangat untuk menggerakan industri dalam negeri ketika kondisi global masih dilanda kelesuan.
Selain itu, katanya, membanjirnya produk impor ilegal juga bisa mengancam kondisi fiskal, karena barang-barang dari jalur tidak resmi, tidak membayar pungutan bea masuk.
"Kerugian bagi pengusaha-pengusaha formal, legal, dan patuh karena kehilangan pasar, dan terakhir keamanan kesehatan konsumen tidak terjamin," kata Putri.
Menurut data BPOM, saat ini produk impor menguasai pasar kosmetik hampir 60 persen. Dalam periode 2013-2014, kosmetik impor menunjukkan peningkatan dominasi pangsa pasar, sedangkan kosmetik dalam negeri mengalami penurunan.
BPS juga mencatat, ketika ketentuan verifikasi impor kosmetika masih diberlakukan, terjadi penurunan impor 14 persen dari 2013-2015. Namun, ketika ketentuan verifikasi dihilangkan, terjadi peningkatan impor sekitar tujuh persen dalam waktu setahun.
Untuk itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartarti mengingatkan agar pemerintah memberi dukungan nyata bagi pelaku industri dalam negeri.
Ia juga meminta agar jangan sampai berbagai kebijakan atau deregulasi yang dikeluarkan, justru malah membuat produk dari negara lain mudah masuk.
Menurut Enny, banyak kebijakan yang tidak sinkron bisa diidentifikasikan dan justru melemahkan industri dalam negeri, terutama yang berkaitan dengan kebijakan perdagangan dan importasi.
"Begitu dibebaskan untuk impor, maka sulit mendeteksi jenis, spesifikasi produk, karena tercampur. Itu memberikan peluang kebocoran, produk-produk yang mestinya dilakukan pengendalian, tercampur dengan produk lain," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Dengan dihilangkannya wajib verifikasi impor di pelabuhan, dan kosmetika satu-satunya sektor yang didiskriminasikan, maka terbukti impor ilegal meningkat," kata Ketua Umum Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Indonesia Putri K. Wardhani dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, terbit Permendag No 87/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu dan Permendag No 70/2015 tentang Angka Pengenal Importir, yang membuat Indonesia kebanjiran aneka barang impor, termasuk produk kosmetika.
Menurut Putri, akibat Permendag itu dan berdasarkan data "post market audit" yang dilakukan oleh BPOM, impor kosmetika yang dilakukan secara ilegal kian meningkat, bahkan saat ini jumlahnya melebihi produk yang legal.
"Ini membuktikan bahwa kebijakan mengecualikan wajib verifikasi bagi sektor kosmetika adalah hal yang tidak tepat," ungkap Putri.
Ia mengharapkan ada evaluasi dari kebijakan tersebut karena penghilangan verifikasi impor tidak sejalan dengan semangat untuk menggerakan industri dalam negeri ketika kondisi global masih dilanda kelesuan.
Selain itu, katanya, membanjirnya produk impor ilegal juga bisa mengancam kondisi fiskal, karena barang-barang dari jalur tidak resmi, tidak membayar pungutan bea masuk.
"Kerugian bagi pengusaha-pengusaha formal, legal, dan patuh karena kehilangan pasar, dan terakhir keamanan kesehatan konsumen tidak terjamin," kata Putri.
Menurut data BPOM, saat ini produk impor menguasai pasar kosmetik hampir 60 persen. Dalam periode 2013-2014, kosmetik impor menunjukkan peningkatan dominasi pangsa pasar, sedangkan kosmetik dalam negeri mengalami penurunan.
BPS juga mencatat, ketika ketentuan verifikasi impor kosmetika masih diberlakukan, terjadi penurunan impor 14 persen dari 2013-2015. Namun, ketika ketentuan verifikasi dihilangkan, terjadi peningkatan impor sekitar tujuh persen dalam waktu setahun.
Untuk itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartarti mengingatkan agar pemerintah memberi dukungan nyata bagi pelaku industri dalam negeri.
Ia juga meminta agar jangan sampai berbagai kebijakan atau deregulasi yang dikeluarkan, justru malah membuat produk dari negara lain mudah masuk.
Menurut Enny, banyak kebijakan yang tidak sinkron bisa diidentifikasikan dan justru melemahkan industri dalam negeri, terutama yang berkaitan dengan kebijakan perdagangan dan importasi.
"Begitu dibebaskan untuk impor, maka sulit mendeteksi jenis, spesifikasi produk, karena tercampur. Itu memberikan peluang kebocoran, produk-produk yang mestinya dilakukan pengendalian, tercampur dengan produk lain," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017