Jakarta (Antara Bali) - Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Haji Abdul Halim menilai sistem pemilu proporsional terbuka dapat meningkatkan partisi pemilih dalam pemilu menjadi lebih tinggi.
"Dengan sistem proporsional terbuka akan lebih banyak putra bangsa yang memenuhi syarat untuk diusulkan menjadi calon anggota legislatif, sehingga mendorong tingkat partisipasi pemilih lebih tinggi," kata Abdul Halim, di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Senin.
Karena itu, Abdul Halim mengusulkan agar RUU Penyelenggaraan Pemilu yang akan dibahas DPR RI tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka.
"Sistem pemilu prporsional terbuka telah terbukti berjalan baik pada dua kali pemilu sebelumnya," kata Abdul Halim.
Menurut Halim, dengan sistem proporsional terbuka maka akan lebih banyak putra bangsa yang memenuhi syarat untuk diusulkan menjadi calon anggota legislatif, sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu akan semakin tinggi.
Dari dialog di antara anggota Komisi II DPR, kata dia, diketahui mayoritas fraksi di DPR mengusulkan sistem pemilu proporsiomal terbuka.
"Kami di Komisi II berharap Pemerintah dapat mengusulkan sistem pemilu secara tegas, yakni proporsional terbuka, bukannya sistem proporsional terbuka terbatas yang cenderung tertutup," katanya.
Anggota DPR dari daerah pemihan Banten I ini menjelaskan, dengan sistem pemilu proporsional terbuka maka, calon anggota yang memperoleh suara terbanyak dan memenuhi persyaratan bilangan pembagi pemilih (BPP) akan menjadi anggota DPR, tidak tergantung pada nomor urut.
Kalau sistem tertutup, kata dia, maka yang diutamakan menjadi anggota DPR adalah nomor urut satu, padahal belum tentu memperoleh suara tertinggi.
Halim menambahkan, dengan sistem pemilu proporsional terbuka juga dapat meminimalisir kemungkinan praktik politik dinasti atau nepotisme.
Jika sistem pemilu proporsional tertutup, kata dia, dimana nomor urut caleg ditentukan oleh elite partai politik maka potensi politik dinasti atau nepotisme akan lebih besar.
Halim juga mengusulkan, agar persyaratan batas ambang partai politik berada di parlemen atau "parliamentary threshold" tetap 3,5 persen seperti pada UU Pemilu sebelumnya.
"Angka 3,5 persen sudah moderat, tidak perlu dinaikkan lagi," katanya.
Halim juga berharap, DPR dan Pemerintah dapat memiliki komitmen yang sama untuk menghasilkan pemilu yang demokratis dan transparan, sehingga pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu dapat berjalan lancar dan selesai sesuai target. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Dengan sistem proporsional terbuka akan lebih banyak putra bangsa yang memenuhi syarat untuk diusulkan menjadi calon anggota legislatif, sehingga mendorong tingkat partisipasi pemilih lebih tinggi," kata Abdul Halim, di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Senin.
Karena itu, Abdul Halim mengusulkan agar RUU Penyelenggaraan Pemilu yang akan dibahas DPR RI tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka.
"Sistem pemilu prporsional terbuka telah terbukti berjalan baik pada dua kali pemilu sebelumnya," kata Abdul Halim.
Menurut Halim, dengan sistem proporsional terbuka maka akan lebih banyak putra bangsa yang memenuhi syarat untuk diusulkan menjadi calon anggota legislatif, sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu akan semakin tinggi.
Dari dialog di antara anggota Komisi II DPR, kata dia, diketahui mayoritas fraksi di DPR mengusulkan sistem pemilu proporsiomal terbuka.
"Kami di Komisi II berharap Pemerintah dapat mengusulkan sistem pemilu secara tegas, yakni proporsional terbuka, bukannya sistem proporsional terbuka terbatas yang cenderung tertutup," katanya.
Anggota DPR dari daerah pemihan Banten I ini menjelaskan, dengan sistem pemilu proporsional terbuka maka, calon anggota yang memperoleh suara terbanyak dan memenuhi persyaratan bilangan pembagi pemilih (BPP) akan menjadi anggota DPR, tidak tergantung pada nomor urut.
Kalau sistem tertutup, kata dia, maka yang diutamakan menjadi anggota DPR adalah nomor urut satu, padahal belum tentu memperoleh suara tertinggi.
Halim menambahkan, dengan sistem pemilu proporsional terbuka juga dapat meminimalisir kemungkinan praktik politik dinasti atau nepotisme.
Jika sistem pemilu proporsional tertutup, kata dia, dimana nomor urut caleg ditentukan oleh elite partai politik maka potensi politik dinasti atau nepotisme akan lebih besar.
Halim juga mengusulkan, agar persyaratan batas ambang partai politik berada di parlemen atau "parliamentary threshold" tetap 3,5 persen seperti pada UU Pemilu sebelumnya.
"Angka 3,5 persen sudah moderat, tidak perlu dinaikkan lagi," katanya.
Halim juga berharap, DPR dan Pemerintah dapat memiliki komitmen yang sama untuk menghasilkan pemilu yang demokratis dan transparan, sehingga pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu dapat berjalan lancar dan selesai sesuai target. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017