Om Swastyastu, Om Sri Tat Ram

Kata "dharma" sudah tidak asing lagi didengar, karena sejak zaman dahulu telah diucapkan, ditulis, diperdebatkan, dibahas, dimaknai, dipakai nama orang,tempat suci, sekolah, nama usaha, gedung-gedung, angkutan umum dan lain sebagainya.

Melalui penggunaan nama itu mereka telah menggemakan kata dharma itu dalam berbagai aspek kehidupannya. Berarti melalui penggunaan kata dharma sebagai nama seseorang maupun sekelompok orang, berharap memperoleh suatu nilai dan makna yang terkandung dalam dharma itu sendiri.

Bayang-bayang imaji itu terus dikejar untuk memperoleh kebenarannya, terutama bagi yang bersungguh-sungguh.
Persoalannya adalah sejauhmana seseorang ingin mengetahui kebenaran nilai dan makna yang terkandung dalam dharma itu, dan melaksanakan kaedah-kaedah prilaku yang sesuai serta kontrol sosial yang memadai dalam kondisi baik dan benar.

Gelombang rwa bhineda sebagai media dan ruang berproses untuk siapa pun, yang mesti dilewati. Proses yang terjadi pada setiap orang sangat berbeda-beda, karena diakibatkan oleh karma masa lalu yang sangat menentukan kemampuan personal untuk berproses.

Kemampuan untuk berproses dan melewati gelombang adalah kualitas nilai hidup, ada seseorang yang sangat terkenal, ada pula yang hanya menikmati kenikmatan personal. Proses hidup itu akan selalu datang semasih ada dalam kehidupan dunia ini, oleh karena itu patut dicermati secara sadar, sehingga seseorang tenang dalam menghadapi proses.

Ketika itu kata-kata dharma hadir menjadi pemicu dan pamacu proses, bagaikan sinar terang di kejauhan, yang mampu memberi harapan terang. Ketika itulah energi kebaikan, kebenaran meningkat menjadi kasih sayang dan kebijaksanaan.

Memaknai gema aura dharma itu orang Bali sampai saat ini menempatkan hari raya Galungan sebagai hari kemenangan dharma, yang dirayakan setiap dua ratus sepuluh (210) hari dengan penuh "kemeriahan".

Walau pun di satu sisi sangat memerlukan pencerahan suci, sehingga ritual-ritual itu bukan semata keindahan simbolik, tetapi mampu meningkat pada pemahaman jnana. Kemudian mampu menerjemahkan dalam bahasa prilaku sehari-hari, yang dapat mengantarkan manusia mencapai kesejahtraan material, menuju kesadaran spiritual yang "membebaskan". Dengan demikian betapa besarnya harapan manusia terhadap nilai-nilai yang dikandung oleh dharma itu sendiri.

Dharma bagi manusia adalah untuk menegakkan asas-asas dari kebenaran, tanpa kekerasan, dan kasih sayang. Dharma manusia berbeda dengan binatang, tetapi manusia tidak bisa membedakannya. Makan, minum, lapar, tidur, takut, senang, marah, sedih dan berkembang biak adalah wajar, merupakan sifat alami bagi manusia dan binatang. Tetapi dharma manusia berbeda dengan binatang dan bayang-bayang prilaku ini harus disadari sepenuhnya bahwa manusia adalah jiwa utama yang memperoleh berkat pengetahuan untuk membebaskan diri dari dosa.

Berkat yang amat luhur ini dilupakan oleh sebagian besar manusia saat ini, akibat terlalu asyik dan tenggelam dalam pelayanan kesenangan napsu. Karena terlalu dilayani maka napsu akan menjadi raja dalam diri sendiri, yang akan memerintah dan memutuskan apa yang diinginkan.

Ketika itulah kesadaran diri (atman) terpenjara dalam kegelapan, bagaikan matahari ditutupi awan gelap. Artinya seseorang tidak mampu mendengarkan kata hati nuraninya yang murni dan suci yang sesungguhnya mengatur arah kehidupan itu sendiri. Oleh karena demikian dari mana kita bisa mengenal dan memahami dharma ?.

Pengetahuan suci telah mengatur tahapan hidup manusia agar bisa mengetahui keberadaannya, misalnya: jenis kelamin, tahapan kehidupan (brahmachari, grihastha, vanaprastha atau sanyasin). Melaksanakan tahapan kehidupan itu dengan baik dan benar adalah perwujudan dharma.

Seseorang tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kaedah masing-masing tingkatannya, misal seorang brahmachari melakukan hubungan lawan jenis seperti seseorang grihastha, seorang grihastha masih seperti anak-anak dan tidak bertanggung jawab terhadap anak dan istri, pada tahapan sanyasin seseorang masih membiarkan napsunya liar dan hanya suntuk mengurus material duniawi saja dan jenis-jenis ketimpangan lainnya.

Kekacauan tindakan dharma seperti inilah yang berkembang luas di masyarakat saat ini, sehingga berdampak buruk terhadap rentetan peristiwa lainnya. Dari sudut pandang ini dharma sudah tercabik-cabik dalam diri manusia yang seharusnya menegakkan sifat-sifat mulianya.

Demikian pula hubungannya dengan tingkatan profesi dan variannya yang dialirkan oleh Tuhan ke dalam diri manusia.Interaksi dinamis pertautan situasi ini menciptakan aneka suasana yang senantiasa menjadi budaya penguat hidup. Persoalannya adalah: apakah kekuatan profesi, sudah didasari asas-asas kebenaran, tanpa kekerasan dan kasih sayang ?.

Seberapa besarkah manusia saat ini mampu menyadari dan melaksanakan asas-asas kebenaran itu?. Realitas menunjukkan bahwa akibat ketidaksadaran profesi ini, mengakibatkan bukan saja berbenturan dengan profesi lain tetapi sudah saling menguasai yang mengakibatkan kepincangan sosial di sana-sini.

Di samping itu pula sudah merusak sumber pemberinya yaitu alam semesta. Nilai-nilai dharma tidak lagi dihiraukan, walaupun dipakai sebagai nama usahanya atau nama dirinya sendiri. Para petani, nelayan, pedagang dicerdaskan oleh pengetahuan dan diperkuat oleh teknologi kimiawi mampu melipatgandakan hasil bumi dan pengawetannya, tetapi menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan ekosistemnya.

Pertanyaan besar perlu direnungi, mampukah manusia pintar itu memperbaiki alam yang telah dirusak itu?, misalnya kasus lumpur Lapindo yang meluluh lantakkan ribuan hektar sawah dan ladang serta rumah penduduk. Apa yang bisa dilakukan manusia pintar saat ini, kecuali pasrah menerimanya.

Bukankah alam telah marah dan menampar serta menghukum, agar kita sadar dan bersujud dikakinya mohon pengampunan. Tentu untuk memulihkan kelestarian alam, membutuhkan waktu panjang, ditengah-tengah kesabaran (tapa) manusia untuk menyadari kesalahan.

Bukankah saat ini kita baru sadar setelah ekosistem itu rusak, lalu menginginkan kembali kepada tanaman organik yang segar dan nikmat rasanya seperti dahulu, memerlukan waktu panjang dan biaya mahal untuk mewujudkannya.

Serangkaian masalah ini, ucapan para petani yang pernah berdiskusi bahwa;  mereka siap mewujudkan tanaman organik, tetapi mereka tidak bisa hidup dari hasil pertaniannya karena serangan hama penyakit yang amat beragam.

Memahami prilaku itu sesungguhnya kita sudah keluar dari nilai-nilai dharma itu, sehingga dampak buruknya telah menimpa diri kita semua. Oleh karena itu agar tidak terdampak oleh keburukan itu, melaksanakan sesuai kaedah-kaedah-Nya adalah "keharusan", sehingga dharma bukan sekedar bayang-bayang imaji dan nilai-nilai filosofis yang dibanggakan, tetapi dapat dirasakan kebenaran dan berdaya guna untuk menyempurnakan seluruh kehidupan.

Ketika itu dharma nyata wujudnya dalam kehidupan, dan selalu bergaerah meningkatkan pengabdian.
Ketika menyimak hal itu semua bahwa dharma manusia terdiri dari tiga lipatan, yang berhubungan dengan tubuh, pikiran dan atmanya. Perbuatan baik, pikiran baik dan kebahagiaan yang diperoleh karena kepercayaan kepada Tuhan, merupakan ekspresi dari ketiga lipatan dharma. Merujuk pada cahaya yang menerangi ketiga dunia terus dipahami dari ketiga ini. Ada tujuh segi dari dharma yaitu: kejujuran, karakter yang baik, perbuatan yang benar, penguasaan indera, penebusan dosa, penolakan hal-hal keduniawian dan tanpa kekerasan.

Semua segi dari dharma ini telah diletakkan sebagai pelindung bagi individu dan bagi seluruh masyarakat. Ketujuh segi dharma ini telah hadir sejak jaman Kritha, Tretha, Dwapara dan Kali Yuga (Ranvir Singh, 2005:89). Dengan demikian dharma telah disadari kehadirannya dalam setiap zaman.

Dalam setiap zaman praktek yang paling sesuai untuk melaksanakan dharma berbeda-beda, misalnya: dalam zaman Kritha Yuga pelaksanaan spiritual yang paling sesuai adalah meditasi, zaman Tretha Yuga adalah yajna atau pengorbanan, zaman Dwapara Yuga adalah: upacara pemujaan, dan zaman Kali Yuga adalah: yang paling tepat adalah pengulangan nama-nama suci Tuhan.

Dalam zaman Kali Yuga ini juga terjadi pengaruh tiga zaman sebelumnya. Akibat dari pengaruh itu terjadi berbagai cara berkonsentrasi dalam memuliakan Tuhan, misalnya: meditasi, penebusan dosa, upacara pemujaan dan mengumandangkan nama-nama suci Tuhan.

Kesadaran terhadap ciri-ciri zaman, dan berupaya merepleksikan menjadi Karma Kanda (material) dan Karma Jnana (pengetahuan) yang sungguh adalah perwujudan dharma. Melalui cara itu dharma dapat dipahami sebagai pengorbanan yang berdasarkan kekuatan moralitas dan integritas.

Pelaksanaannya dengan cara harmoni dari kemurnian pikiran, perkataan dan perbuatan. Dewasa ini harmoni dari kemurnian itu menghilang semakin jauh dari diri manusia, mengakibatkan kesejahtraan dan kemakmuran luluh lantak, rasa aman dan nyaman menjadi sesuatu yang amat langka.

Pengejaran atas kekayaan material melampaui batas-batas moral, sehingga uang yang diperoleh tidak bermakna, justru berakibat sangat menakutkan. Ada empat hal yang menakutkan itu tiada lain: pertama adalah pengetatan pajak dan hukum pemerintah, kedua: api mampu menjangkau dan membakar kekayaan yang tidak diperoleh dengan jujur, ketiga: pencuri, penipu, penjilat, sangat pintar memperdaya orang-orang kaya yang tidak jujur dan pelit, keempat: bagi orang kaya tetapi kikir, yang tidak pernah berderma kepada orang-orang yang memerlukan, dan tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat, maka penyakit: napsu, mabuk, narkoba, judi, sex dan lain-lainnya akan menguras uangnya untuk berobat ke dokter dan melayani napsu liarnya.

Realitas ini terjadi sebagai kekuatan alam untuk mengembalikan material itu kembali ke alamnya. Menghindari sejauh-jauhnya sifat-sifat tersebut adalah langkah dharma yang akan membawa manusia harmoni dalam pikiran, perkataan dan perbuatan (tri kaya parisudha). Dan ketika itulah kesejahtraan dan kemakmuran akan tercipta, bagi yang melakukan, sehingga dharma bukan lagi bayang-bayang tetapi menyatu dalam setiap prilaku kehudupan yang membahagiakan.

Semoga semakin banyak penganut dharma tumbuh dan berkembang di bumi Pertiwi yang kita cintai ini.
Om Shantih, Shantih, Shantih Om Nama Shiva Ya.

Oleh: I Ketut Murdana (Sri Hasta Dhala)
Alamat: Ashram Vrata Wijaya jalan Siulan Gang Nusa Indah IV/4 Denpasar Timur, email: murdana 151@ gmail.com

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017