Tantangan ASEAN jadi pusat pertumbuhan dunia
Oleh Jafar M Sidik Kamis, 11 Mei 2023 10:39 WIB
Jakarta (ANTARA) - "Mari bergandengan erat menyusun agenda bersama untuk memastikan kawasan ini terus menjadi Epicentrum of Growth".
Kalimat itu disampaikan Presiden Joko Widodo pada Rabu (9/5) saat membuka pertemuan ASEAN Leaders’ Interface with Representatives of ASEAN Business Advisory Council dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (KTT ASEAN) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Pada hari yang sama saat membuka pertemuan ASEAN dan High-Level Task Force (HLTF) untuk Visi ASEAN Pasca 2025, presiden yang akrab disapa Jokowi itu meminta ASEAN bersiap menghadapi kondisi terburuk, tapi tetap berharap yang terbaik.
"Epicentrum of Growth" atau "pusat pertumbuhan" adalah tema keketuaan Indonesia dalam ASEAN tahun ini. Indonesia inginn ASEAN menjadi pusat pertumbuhan dunia.
Namun, dengan meminta ASEAN bersiap menghadapi yang terburuk, Jokowi menyingkapkan tantangan besar yang bisa menentukan ASEAN menjadi pusat stabilitas dan ekonomi dunia pada 2045.
Letak geografis di jalur pelayaran dunia memang membuat ASEAN dihadapkan kepada tantangan geopolitik dan geoekonomi yang sama besar dengan peluang-peluangnya sendiri.
Faktanya, ASEAN berada di tengah persaingan kekuatan-kekuatan besar dunia yang pada satu sisi bisa menjadi mitra kerja sama, tetapi di sisi lain berusaha mengkooptasi ASEAN.
Organisasi kawasan ini berada di antara dua pasar ekonomi yang sangat besar, yakni Asia Selatan dan Asia Timur. Belum termasuk Amerika Utara dan Australia.
Asia Selatan, Asia Timur dan Amerika Utara memiliki total penduduk 4,15 miliar jiwa atau separuh dari total penduduk dunia yang saat ini mencapai 8 miliar orang.
Ketiga kawasan juga menghimpun total Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,18 triliun dolar AS yang menghimpun 72 persen dari total PDB global .
PDB dan jumlah penduduk ASEAN sendiri masing-masing 3,942 triliun dolar AS dan 678 juta orang.
Fakta ini menunjukkan betapa besarnya profil pasar kawasan-kawasan yang mengitari ASEAN.
Namun, setiap peluang ekonomi selalu melibatkan tantangan keamanan yang sama besar, terlebih kekuatan-kekuatan lebih besar dari ASEAN terus bersaing secara politik dan ekonomi yang membuat mereka acap bergesekan.
Saling bergesekan
Ketika postur ekonomi sebuah negara semakin besar, maka semakin besar pula keinginan mengamankan jalur-jalur ekonominya di luar negeri.
Di masa lalu, kecenderungan ini memicu pendudukan sebuah wilayah oleh negara lainnya, agar tidak mengganggu jalur pasok sumber daya ekonomi di luar negeri.
Sampai sekarang negara-negara seperti Prancis, Inggris dan Amerika Serikat memiliki wilayah seberang lautan yang di antaranya berfungsi sebagai basis militer yang menjamin keamanan politik dan ekonomi negara-negara itu di seluruh dunia.
Uniknya, China tengah bergerak ke kecenderungan itu, seiring dengan semakin besarnya postur ekonomi dan pengaruh globalnya yang mengharuskan mereka memastikan keamanan jalur ekonominya di luar negeri.
China juga aktif memproyeksikan pengaruhnya ke negara atau kawasan lain di seluruh dunia, termasuk Afrika yang bertepi Samudera Hindia dan Pasifik Selatan yang menjadi "wilayah pengaruh" Australia.
Aktivitas China ini membuat kekuatan-kekuatan pesaing menjadi cemas. Kecemasan itu semakin menjadi setelah China juga aktif membangun pos-pos militer di luar negeri, tidak hanya di Laut China Selatan, tapi juga di Djibouti di tanduk Afrika yang menghadap salah satu jalur pelayaran global yang sangat sibuk di Laut Merah.
Pada tingkat tertentu, tatkala kehadiran global China kian mengancam kekuatan lain, katakanlah Amerika Serikat, pengerahan kekuatan di luar negeri, khususnya militer, menjadi lebih dari sekadar memastikan jalur perdagangan global, karena difungsikan pula sebagai kekuatan penggetar atau deteren terhadap kekuatan-kekuatan yang menyaingi atau berpotensi mengancam China.
Sejumlah negara termasuk Amerika Serikat mengkhawatirkan manuver China di Samudera Hindia yang dipandang beberapa kalangan berusaha membangun pangkalan lain di Tanzania, Mauritius, Pakistan, Sri Lanka dan Myanmar di Kepulauan Coco.
Manuver pertahanan China ini sudah jauh ke mana-mana menyaingi kekuatan-kekuatan tradisional dunia seperti Amerika Serikat dan Rusia, dan ini mengusik kekuatan-kekuatan lain.
Amerika Serikat tentu menjadi pihak yang paling terusik, apalagi mereka selama ini aktif mengerahkan armada lautnya di Samudera Hindia dan Pasifik yang mengapit Asia Tenggara.
Mereka mengoperasikan Armada Ketujuh yang berpangkalan di Jepang untuk beroperasi di sisi barat Samudera Pasifik, sedangkan di Samudera Hindia, mengerahkan Armada Kelima yang juga mencakup Teluk Persia, Laut Merah dan Laut Arab.
Di sisi yang berbeda, memiliki pangkalan luar negeri di Djibouti mengharuskan China lebih aktif lagi mengerahkan asset-asset militer mereka ke luar negeri.
Bersama angkatan lautnya yang saat ini menjadi angkatan laut terbesar di dunia, militer China aktif melakukan pelayaran panjang dari tepi barat Pasifik sampai Samudera Hindia, khususnya di sepanjang bagian utara dan timur lautnya.
China juga bermanuver jauh ke selatan Pasifik sampai mengusik Australia.
Di Samudera Hindia yang terusik adalah India. Baik perairan Pakistan, Sri Lanka maupun Myanmar yang disebut-sebut dibidik China sebagai pos atau basis militernya yang lain, bersentuhan langsung dengan wilayah laut India.
Mungkin karena India dan Australia, ditambah Jepang dan Amerika Serikat, membentuk Dialog Keamanan Quadrilateral (QSD) yang pernah menggelar latihan militer gabungan bernama "Exercise Malabar".
Bersikap dan bertindak bersama
Petunjuk India mulai terusik oleh kehadiran global China adalah dari sikapnya yang lebih konfrontatif terhadap China belakangan tahun ini, kendati berusaha menurunkan tensi konflik dengan tetangganya yang sama-sama berpenduduk semiliar lebih itu.
Tetapi beberapa kali bentrok pecah antara tentara kedua negara di perbatasan darat India-China. Bukan mustahil gesekan bisa meluber ke Samudera Hindia.
Saat bersamaan, gesekan pengaruh di Pasifik Selatan mendorong Australia membentuk pakta pertahanan bersama Amerika Serikat dan Inggris yang dikenal sebagai AUKUS.
Persaingan juga terjadi di medan ekonomi.
AS, India, dan Jepang membentuk blok ekonomi Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF) yang beranggotakan 14 negara, termasuk seluruh anggota ASEAN.
Karena mengecualikan China dan Rusia, sulit memungkiri pandangan bahwa IPEF adalah upaya membendung pengaruh ekonomi China di kawasan antara Samudera Hindia dan Pasifik yang biasa disebut Indo-Pasifik.
China sendiri tak tinggal diam. Selain aktif mempromosikan Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI), China juga agresif memajukan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) yang melibatkan beberapa negara Asia Tengah, Asia Selatan dan Rusia.
China juga aktif mengerahkan kekuatan militernya, baik dalam kerangka kerjasama dengan mitra, khususnya Rusia, maupun bertindak sendiri, seperti latihan militer yang sering mereka lakukan dekat Taiwan.
Sampai detik ini, persekutuan-persekutuan ekonomi dan pertahanan ini memang tak berubah menjadi benar-benar konfrontatif.
Namun, perekonomian China yang semakin besar yang mengharuskan adanya jaminan perlindungan pertahanan yang kuat, bisa mendorong China semakin agresif yang pada gilirannya memicu kekuatan lain untuk semakin agresif.
Jika gesekan pengaruh di Indo-Pasifik ini sudah terlalu tajam sehingga ancaman semakin besar, maka itu bisa berubah menjadi persaingan militer yang semakin nyata yang membahayakan seisi kawasan, termasuk ASEAN.
Petunjuk ke arah itu sudah terlihat dari perlombaan senjata yang kian akut yang di antaranya tumpah di Asia Tenggara, khususnya Laut China Selatan.
Bahkan di Pasifik Selatan, perlombaan senjata sudah mengarah kepada pengerahan kekuatan nuklir menyusul tekad tiga negara AUKUS membangun kapal selam bertenaga nuklir untuk Australia.
Keadaan-keadaan ini bisa membuat ASEAN dipaksa memilih dan memihak, selain juga membuka ruang kesempatan bagi ASEAN untuk menguatkan posisi untuk terlibat jauh dalam persaingan antara negara-negara besar itu.
Ini pun sudah menjadi tantangan berat bagi ASEAN, khususnya dalam bagaimana mesti bersikap bersama seperti tersirat dari ucapan Jokowi agar ASEAN "bergandengan erat menyusun agenda bersama."
Meskipun demikian, bersikap dan bertindak bersama dalam kerangka ASEAN yang bersatu masih merupakan cara terampuh dalam memajukan kawasan ini dan mewujudkan tekad menjadikan ASEAN pusat pertumbuhan dunia.
Kalimat itu disampaikan Presiden Joko Widodo pada Rabu (9/5) saat membuka pertemuan ASEAN Leaders’ Interface with Representatives of ASEAN Business Advisory Council dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (KTT ASEAN) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Pada hari yang sama saat membuka pertemuan ASEAN dan High-Level Task Force (HLTF) untuk Visi ASEAN Pasca 2025, presiden yang akrab disapa Jokowi itu meminta ASEAN bersiap menghadapi kondisi terburuk, tapi tetap berharap yang terbaik.
"Epicentrum of Growth" atau "pusat pertumbuhan" adalah tema keketuaan Indonesia dalam ASEAN tahun ini. Indonesia inginn ASEAN menjadi pusat pertumbuhan dunia.
Namun, dengan meminta ASEAN bersiap menghadapi yang terburuk, Jokowi menyingkapkan tantangan besar yang bisa menentukan ASEAN menjadi pusat stabilitas dan ekonomi dunia pada 2045.
Letak geografis di jalur pelayaran dunia memang membuat ASEAN dihadapkan kepada tantangan geopolitik dan geoekonomi yang sama besar dengan peluang-peluangnya sendiri.
Faktanya, ASEAN berada di tengah persaingan kekuatan-kekuatan besar dunia yang pada satu sisi bisa menjadi mitra kerja sama, tetapi di sisi lain berusaha mengkooptasi ASEAN.
Organisasi kawasan ini berada di antara dua pasar ekonomi yang sangat besar, yakni Asia Selatan dan Asia Timur. Belum termasuk Amerika Utara dan Australia.
Asia Selatan, Asia Timur dan Amerika Utara memiliki total penduduk 4,15 miliar jiwa atau separuh dari total penduduk dunia yang saat ini mencapai 8 miliar orang.
Ketiga kawasan juga menghimpun total Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,18 triliun dolar AS yang menghimpun 72 persen dari total PDB global .
PDB dan jumlah penduduk ASEAN sendiri masing-masing 3,942 triliun dolar AS dan 678 juta orang.
Fakta ini menunjukkan betapa besarnya profil pasar kawasan-kawasan yang mengitari ASEAN.
Namun, setiap peluang ekonomi selalu melibatkan tantangan keamanan yang sama besar, terlebih kekuatan-kekuatan lebih besar dari ASEAN terus bersaing secara politik dan ekonomi yang membuat mereka acap bergesekan.
Saling bergesekan
Ketika postur ekonomi sebuah negara semakin besar, maka semakin besar pula keinginan mengamankan jalur-jalur ekonominya di luar negeri.
Di masa lalu, kecenderungan ini memicu pendudukan sebuah wilayah oleh negara lainnya, agar tidak mengganggu jalur pasok sumber daya ekonomi di luar negeri.
Sampai sekarang negara-negara seperti Prancis, Inggris dan Amerika Serikat memiliki wilayah seberang lautan yang di antaranya berfungsi sebagai basis militer yang menjamin keamanan politik dan ekonomi negara-negara itu di seluruh dunia.
Uniknya, China tengah bergerak ke kecenderungan itu, seiring dengan semakin besarnya postur ekonomi dan pengaruh globalnya yang mengharuskan mereka memastikan keamanan jalur ekonominya di luar negeri.
China juga aktif memproyeksikan pengaruhnya ke negara atau kawasan lain di seluruh dunia, termasuk Afrika yang bertepi Samudera Hindia dan Pasifik Selatan yang menjadi "wilayah pengaruh" Australia.
Aktivitas China ini membuat kekuatan-kekuatan pesaing menjadi cemas. Kecemasan itu semakin menjadi setelah China juga aktif membangun pos-pos militer di luar negeri, tidak hanya di Laut China Selatan, tapi juga di Djibouti di tanduk Afrika yang menghadap salah satu jalur pelayaran global yang sangat sibuk di Laut Merah.
Pada tingkat tertentu, tatkala kehadiran global China kian mengancam kekuatan lain, katakanlah Amerika Serikat, pengerahan kekuatan di luar negeri, khususnya militer, menjadi lebih dari sekadar memastikan jalur perdagangan global, karena difungsikan pula sebagai kekuatan penggetar atau deteren terhadap kekuatan-kekuatan yang menyaingi atau berpotensi mengancam China.
Sejumlah negara termasuk Amerika Serikat mengkhawatirkan manuver China di Samudera Hindia yang dipandang beberapa kalangan berusaha membangun pangkalan lain di Tanzania, Mauritius, Pakistan, Sri Lanka dan Myanmar di Kepulauan Coco.
Manuver pertahanan China ini sudah jauh ke mana-mana menyaingi kekuatan-kekuatan tradisional dunia seperti Amerika Serikat dan Rusia, dan ini mengusik kekuatan-kekuatan lain.
Amerika Serikat tentu menjadi pihak yang paling terusik, apalagi mereka selama ini aktif mengerahkan armada lautnya di Samudera Hindia dan Pasifik yang mengapit Asia Tenggara.
Mereka mengoperasikan Armada Ketujuh yang berpangkalan di Jepang untuk beroperasi di sisi barat Samudera Pasifik, sedangkan di Samudera Hindia, mengerahkan Armada Kelima yang juga mencakup Teluk Persia, Laut Merah dan Laut Arab.
Di sisi yang berbeda, memiliki pangkalan luar negeri di Djibouti mengharuskan China lebih aktif lagi mengerahkan asset-asset militer mereka ke luar negeri.
Bersama angkatan lautnya yang saat ini menjadi angkatan laut terbesar di dunia, militer China aktif melakukan pelayaran panjang dari tepi barat Pasifik sampai Samudera Hindia, khususnya di sepanjang bagian utara dan timur lautnya.
China juga bermanuver jauh ke selatan Pasifik sampai mengusik Australia.
Di Samudera Hindia yang terusik adalah India. Baik perairan Pakistan, Sri Lanka maupun Myanmar yang disebut-sebut dibidik China sebagai pos atau basis militernya yang lain, bersentuhan langsung dengan wilayah laut India.
Mungkin karena India dan Australia, ditambah Jepang dan Amerika Serikat, membentuk Dialog Keamanan Quadrilateral (QSD) yang pernah menggelar latihan militer gabungan bernama "Exercise Malabar".
Bersikap dan bertindak bersama
Petunjuk India mulai terusik oleh kehadiran global China adalah dari sikapnya yang lebih konfrontatif terhadap China belakangan tahun ini, kendati berusaha menurunkan tensi konflik dengan tetangganya yang sama-sama berpenduduk semiliar lebih itu.
Tetapi beberapa kali bentrok pecah antara tentara kedua negara di perbatasan darat India-China. Bukan mustahil gesekan bisa meluber ke Samudera Hindia.
Saat bersamaan, gesekan pengaruh di Pasifik Selatan mendorong Australia membentuk pakta pertahanan bersama Amerika Serikat dan Inggris yang dikenal sebagai AUKUS.
Persaingan juga terjadi di medan ekonomi.
AS, India, dan Jepang membentuk blok ekonomi Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF) yang beranggotakan 14 negara, termasuk seluruh anggota ASEAN.
Karena mengecualikan China dan Rusia, sulit memungkiri pandangan bahwa IPEF adalah upaya membendung pengaruh ekonomi China di kawasan antara Samudera Hindia dan Pasifik yang biasa disebut Indo-Pasifik.
China sendiri tak tinggal diam. Selain aktif mempromosikan Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI), China juga agresif memajukan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) yang melibatkan beberapa negara Asia Tengah, Asia Selatan dan Rusia.
China juga aktif mengerahkan kekuatan militernya, baik dalam kerangka kerjasama dengan mitra, khususnya Rusia, maupun bertindak sendiri, seperti latihan militer yang sering mereka lakukan dekat Taiwan.
Sampai detik ini, persekutuan-persekutuan ekonomi dan pertahanan ini memang tak berubah menjadi benar-benar konfrontatif.
Namun, perekonomian China yang semakin besar yang mengharuskan adanya jaminan perlindungan pertahanan yang kuat, bisa mendorong China semakin agresif yang pada gilirannya memicu kekuatan lain untuk semakin agresif.
Jika gesekan pengaruh di Indo-Pasifik ini sudah terlalu tajam sehingga ancaman semakin besar, maka itu bisa berubah menjadi persaingan militer yang semakin nyata yang membahayakan seisi kawasan, termasuk ASEAN.
Petunjuk ke arah itu sudah terlihat dari perlombaan senjata yang kian akut yang di antaranya tumpah di Asia Tenggara, khususnya Laut China Selatan.
Bahkan di Pasifik Selatan, perlombaan senjata sudah mengarah kepada pengerahan kekuatan nuklir menyusul tekad tiga negara AUKUS membangun kapal selam bertenaga nuklir untuk Australia.
Keadaan-keadaan ini bisa membuat ASEAN dipaksa memilih dan memihak, selain juga membuka ruang kesempatan bagi ASEAN untuk menguatkan posisi untuk terlibat jauh dalam persaingan antara negara-negara besar itu.
Ini pun sudah menjadi tantangan berat bagi ASEAN, khususnya dalam bagaimana mesti bersikap bersama seperti tersirat dari ucapan Jokowi agar ASEAN "bergandengan erat menyusun agenda bersama."
Meskipun demikian, bersikap dan bertindak bersama dalam kerangka ASEAN yang bersatu masih merupakan cara terampuh dalam memajukan kawasan ini dan mewujudkan tekad menjadikan ASEAN pusat pertumbuhan dunia.