Denpasar (Antara Bali) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah Gede Pasek Suardika mengajak para pejabat publik untuk lebih bijak memanfaatkan dan menyikapi komentar masyarakat di media sosial.

"Pejabat publik, tidak sehat jika sampai mempidanakan rakyatnya gara-gara media sosial," kata Pasek Suardika dalam diskusi bertajuk Media Sosial dan Dinamika Sosial Politik di Bali, di Denpasar, Jumat.

Senator asal Bali itu mengingatkan kembali bahwa dalam media sosial sebenarnya hampir semua tokoh politik maupun publik, tidak saja mendapat cacian, tetapi juga mendapat pujian.

"Fenomena ini akan terus terjadi, apakah dengan demikian politisi harus selalu melapor polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik ataupun menghina kehormatan ketika mendapat komentar yang tidak mengenakan di media sosial," ujarnya.

Apalagi, lanjut Pasek Suardika, dalam revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik, hukuman kurungan penjara yang diubah dari enam tahun menjadi empat tahun seharusnya dipahami semangatnya untuk tidak mudah mmengkriminalisasi warga.

"Jika memang ada yang merasa tidak cocok dengan komentar di media sosial, didiskusikan saja sehingga muncul komunikasi yang saling memahami," katanya.

Menurut Pasek Suardika, seharusnya tugas pemimpin itu tidak untuk membuat gaduh. Pemimpin seharusnya dapat menyelesaikan kegaduhan dan jangan sampai membiarkan kekuasaan mencemari wajah demokrasi lewat media sosial.

Sementara itu, akademisi dari FISIP Universitas Udayana Dr Made Ras Amanda Gelgel mengatakan, media sosial saat ini seakan menjadi ruang publik yang berada di ambang poros keempat dalam demokrasi.

"Jika bersinggungan dengan budaya masyarakat Bali yang `ngekoh ngomong` atau malas berbicara, akibat dari media sosial dapat mengarah pada pendapat publik yang tidak waras, yang menyampaikan komentar-komentar yang berisi adu domba lewat media sosial," katanya.

Bahayanya, ujar Amanda, kalau ketidakbenaran disebarkan secara terus-menerus lewat media sosial, maka lama-kelamaan bisa dianggap kebenaran karena mereka yang mengetahui kebenaran lebih memilih diam.

Pengamat politik Gusti Putu Artha mengatakan bahwa sejauh ini media sosial telah menjadi senjata utama yang murah dan kerap dimanfaatkan oleh politisi di tengah biaya politik yang tinggi.

"Tugas kebudayaan kita saat ini jangan sampai membiarkan media sosial merusak harmoni masyarakat Bali yang sudah terbangun," katanya. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016