Swasembada pangan dan energi di Indonesia, seperti masih menjadi "angin segar" yang meninabobokan masyarakat.

Padahal jika fokus pada upaya revitalisasi industri gula, termasuk pabrik gula, maka langkah menuju swasembada pangan dan energi tidak lagi sekadar angan-angan.

Upaya revitalisasi industri gula mutlak diperlukan, mengingat begitu kompleksnya pusaran permasalahan di dalamnya. Satu realita yang memprihatinkan, kondisi pabrik gula di Indonesia rata-rata sudah menua, karena dibangun sejak zaman kolonial Belanda dan nyaris tak pernah ada upaya revitalisasi selama ini.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Saleh Husin menyebutkan bahwa 50 pabrik gula kristal putih berbasis tebu dengan pengelolaan di bawah BUMN, tidak beroperasional dengan maksimal. Mutu gula yang dihasilkan tergolong rendah.

Selama ini, lanjut Saleh Husin, gula kristal putih di Indonesia diproduksi oleh 50 pabrik BUMN dan 12 pabrik swasta. Pabrik gula yang dikelola oleh BUMN pada umumnya berkapasitas kecil, menggunakan mesin-mesin tua, jumlah karyawan banyak dan beroperasi hanya 150 hari setahun.

Sebanyak 69,4 persen pabrik gula BUMN berkapasitas kecil dengan pengolahan tebu di bawah 4.000 ton per hari.

Terkait kenyataan jika sebagian besar pabrik gula di Indonesia menggunakan mesin-mesin lama, Wakil Sekretaris Jendral APTRI Muhammad Nur Khabsyin menegaskan, bahwa memang sudah waktunya mesin di sejumlah pabrik gula perlu diganti atau dirombak karena sudah tua.

"Kita perlu merombak mesin, karena dapat mengakibatkan ada kebocoran saat penggilingan tebu. Kalau ada kebocoran, maka berpengaruh pada penurunan kadar gula atau rendemen. Hasil tebu akan bagus, kalau mesin pengolah tebu juga bagus kondisinya. Namun kalau mesin kurang baik, jadinya kurang maksimal produk gula yang dihasilkan," katanya.

Hal ini bisa dilihat pada negara jiran Thailand. Berkat penggunaan mesin pada pabrik gula yang berkualitas bagus, maka berpengaruh pada angka rendemen tebu. Di mana angka rendemen yang dihasilkan pabrik gula di Thailand sudah mencapai 11-12 persen. Sementara angka rendemen tebu di Indonesia masih berkisar enam-tujuh persen.

Sementara itu, Direktur Utama PTPN XI Dolly P Pulungan menjelaskan, beberapa waktu lalu, pihaknya sudah diminta Kementerian BUMN untuk membantu merevitalisasi proses pengelolaan delapan pabrik gula yang berada di Jawa Tengah.

Kapasitas produksi dari delapan pabrik yang segera direvitalisasikan itu akan ditingkatkan. Dari sekitar 2.200 ton-2.800 ton per hari menjadi 4.000 ton per hari.

Selanjutnya, Dolly mengatakan, ada sejumlah kendala yang dihadapi sehingga mengakibatkan pabrik-pabrik itu tidak bisa beroperasi dengan maksimal. Misalnya, mesin di pabrik sudah terlalu tua dan belum ada upaya perbaikan, sistem operasional belum efisien, serta sistem yang ada belum diperbaiki atau di-upgrade.

"Bagaimanapun, potensi pabrik-pabrik itu masih bagus, sehingga segera ada pengembangan dengan cara bertahap. Nantinya akan disesuaikan pula upaya pengembangan untuk pabrik-pabrik lain, supaya ada peningkatan produksi gulanya," ujar dia seraya menyatakan, PTPN XI sendiri mengelola 16 unit pabrik gula di Jawa Timur.

Peningkatan produksi gula nasional menjadi salah satu program swasembada pangan Kementerian Pertanian dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sehingga menjadi agenda yang penting untuk diwujudkan.


Kebutuhan gula
Catatan Kementerian Pertanian, produksi gula nasional cenderung mandeg atau stagnan, pada tahun 2015 sebanyak 2,72 juta. Upaya untuk meningkatkan produksi memang harus dilakukan karena kebutuhan gula, baik industri dan konsumsi semakin meningkat. Asosiasi Gula Indonesia mencatat kebutuhan gula dalam negeri sebanyak 5,3 juta ton per tahun. Di mana rincian kebutuhan itu mencakup: 2,8 juta ton gula konsumsi dan 2,5 juta ton gula kristal merah untuk bahan gula rafinasi.

Menurut Asosiasi Gula Indonesia, persyaratan untuk mencapai swasembada gula pada 2017 diperlukan tambahan lahan tebu hingga 350.000 hektare. Angka produktivitas harus di atas 120 ton per hektare dengan rendemen 10 persen.

Persyaratan lainnya untuk menuju swasembada adalah hingga lima tahun ke depan sejak 2015, mestinya ada peningkatan produksi gula menjadi 8 ton per hektare. Saat ini, pencapaiannya baru 5,6 ton per hektare.

Kondisi yang terjadi saat ini, setiap tahun masih ada impor 3,5 juta ton gula kristal mentah (GKM) untuk bahan gula rafinasi. Sementara, kebutuhan gula dalam negeri adalah 5,3 juta ton per tahun. Rinciannya, 2,8 juta ton gula konsumsi dan 2,5 juta ton GKM.

Kebutuhan gula ini setiap tahun selalu mengalami kenaikan. Mengingat hasil produksi yang stagnan, maka tidak mengherankan apabila hampir 60 persen kebutuhan gula harus diimpor setiap tahun. Padahal dahulu Indonesia pernah menjadi negara penghasil gula terbesar di dunia setelah Kuba, pada era kolonial. Namun, kini produksi gula Indonesia sering mengalami penurunan.

Kenaikan jumlah impor gula disebabkan meningkatnya kebutuhan gula rafinasi oleh industri makanan minuman nasional. Setiap tahun, kebutuhan gula rafinasi rata-rata tumbuh di atas 8 persen.

Meski demikian, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Indonesia Arum Sabil optimistis swasembada bisa tercapai asal pemerintah serius memperbaiki kebijakan, dan getol melakukan revitalisasi serta pembangunan pabrik gula.

"Cukup tambah area 300 ribu hektare saja, dengan penghasilan 100 ton tebu per hektare, kita bisa dapat 7,5 juta ton gula per tahun," kata dia.

Saat ini, lahan tebu Indonesia ada seluas 450 ribu hektare, dengan penghasilan 72 ton tebu per hektare. Menurut Arum, Papua memiliki lahan yang berpotensi untuk perkebunan tebu baru. Dahulu pada zaman Belanda, ada varietas tebu berkualitas tinggi yang pernah tumbuh di daratan itu dan kini saatnya diintensifkan lagi pembudidayaannya untuk menuju swasembada gula.


Energi ampas tebu
Berdasarkan rencana dasar atau "blueprint" Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 hasil penyusunan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan minyak di Indonesia yang berjumlah 9 miliar barel dengan tingkat produksi 500 juta barel per tahun, diprediksi bakal habis dalam waktu 18 tahun.

Kondisi ini tentu mengkhawatirkan sehingga sudah saatnya pemerintah dan masyarakat mencoba energi terbarukan yang ramah lingkungan. Salah satunya adalah energi dari ampas tebu.

Dikatakan Adig Suwandi, Associate Corporate Secretary PTPN XI, Jawa Timur, ampas tebu bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas atau bahan bakar untuk memanaskan ketel di pabrik gula. Di beberapa negara seperti Hawaii dan Kuba, ampas tebu bisa dipakai untuk menghasilkan tenaga listrik. Atau yang dikenal dengan kogenerasi atau co-generation.

Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) menyatakan bahwa ampas tebu yang dihasilkan dalam suatu pabrik adalah sebanyak 30 persen dari berat tebu giling dengan kadar air sekitar 50 persen.

Berdasarkan bahan kering, ampas tebu terdiri atas unsur karbon 47 persen, hidrogen 6,5 persen, oksigen 44 persen dan abu 2,5 persen. Pada setiap kilogram ampas tebu mengandung sekitar 2,5 persen gula dengan nilai kalor sebesar 1.825 kkal. Nilai bakar itu akan meningkat dengan menurunnya kadar air dan gula dalam ampas.

Sementara dua tahun lalu, sejumlah mahasiswa Fakultas Pertanian UGM, masing-masing Rivandi Pranandita Putra, Agustinus Wahyu Krisnanta, dan Latiful Muttaqin, berhasil menjadi juara kedua dalam lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional MIPA Road to Scientific Paper and Seminar (MARSS.

Mereka mengusung inovasi biobriket limbah ampas tebu dengan enceng gondok (biolatek) sebagai alternatif sumber energi terbarukan untuk Indonesia swadaya energi.

Rivandi, ketua tim UGM menjabarkankan, selama ini ampas tebu hanya menjadi limbah yang tidak banyak dimanfaatkan masyarakat. Tidak jarang, ampas tebu justru menjadi sumber pencemaran lingkungan di sekitar tempat pengolahan gula.

Padahal sesungguhnya, ampas tebu memiliki kandungan yang potensial sebagai sumber energi alternatif, dengan melalui metode pengolahan lebih lanjut.

Satu kilogram limbah ampas tebu mengandung setidaknya 2,5 persen gula dengan nilai kalor sebesar 1.825 kkal. Nilai kalor tersebut masih bisa ditingkatkan melalui pencampuran dengan sumber biomassa lainnya seperti enceng gondok.

"Melihat luasnya perkebunan tebu di Indonesia yang akan terus bertambah seiring dengan gerakan swasembada gula nasional, pemanfaatan limbah ampas gula ini tentu menjadi potensi baru pengembangan energi di tanah air," ucap Rivandi.

Dia mengatakan, pengembangan biobriket pada saatnya nanti tentu diharapkan bukan hanya cuma dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan industri, melainkan bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik.

"Kami berharap ke depan dengan adanya biobriket dari ampas tebu, bisa digunakan sehingga mengurangi pencemaran lingkungan. Yang lebih penting, keberadaan biobriket ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian bahan bakar fosil sehingga mampu mewujudkan Indonesia yang mandiri energi," kata Rivandi penuh harapan. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Tri Vivi Suryani

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016