Sejumlah seniman yang menggoyangkan puluhan okokan secara bersama-sama ketika mengiringi kesenian tektekan mampu menyuguhkan alunan irama musik yang khas dan unik.
Alunan irama musik tradisional khas Kabupaten Tabanan ditampilkan di depan panggung kehormatan, tempat Presiden RI dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo pada pawai Pesta Kesenian Bali (PKB) Ke-38 di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi, kawasan Niti Mandala Renon Denpasar, Sabtu (11/6).
Daerah "gudang beras" di Bali itu menyuguhkan atraksi budaya yang tampaknya mampu menarik perhatian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dan Menteri Pariwisata Arief Yahya serta wisatawan mancanegara yang berbaur dengan masyarakat memadati jalur yang dilewati peserta pawai.
Okokan dan tektekan termasuk kesenian sakral. Kesenian ini dipentaskan tatkala masyarakat ditimpa wabah penyakit yang disebut "gerubug". Biasanya, untuk mengobati penyakit tersebut, masyarakat keluar rumah dan memukul alat bunyi-bunyian berupa kentongan kaleng, okokan, dan tektekan.
"Masyarakat Tabanan khususnya, mempunyai keyakinan bahwa dengan bunyi-bunyian itu dapat mengusir penyebab wabah penyakit yang menyerang warga setempat," kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha.
Oleh sebab itu, masyarakat menjadikan kesenian okokan dan tektekan sebagai kesenian sakral. Hingga saat ini, okokan dan tektekan dipentaskan apabila ada tanda-tanda seperti panen gagal dan wabah penyakit yang menimpa desa.
Okokan merupakan sebuah benda menyerupai genta yang terbuat dari bahan kayu yang biasa dililitkan pada leher ternak sapi (kalung) dengan harapan ternak tersebut mudah ditemukan jika sapi piaraan tersebut lepas dari kandangnya.
Benda yang terbuat dari kayu dengan bentuk segi empat berukuran kecil di bagian dalam diisi kayu "pentol" yang ujungnya diikat dengan tali sehingga saat sapi bergerak, kalung sapi tersebut mengeluarkan bunyi "tok...tak...tok...tak...".
Bahkan, okokan yang biasa ditempelkan petani pada ternak sapinya menjadi inspirasi sekaa kesenian Okokan Semara Madya Banjar Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan.
Seka kesenian itu pernah mewakili Kabupaten Tabanan sebagai duta seni tampil pada PKB beberapa tahun lalu yang penampilannya relatif cukup unik dan menarik.
Masyarakat Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan yang dikenal sebagai daerah "gudang beras" Bali mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan masing-masing memelihara sedikitnya dua ekor sapi guna membantu mengolah sawah (membajak).
Petani hampir seluruhnya membuat okokan. Benda itu dibuat berukuran kecil sehingga tidak mengganggu gerak ternak sapi. Namun, beberapa warga setempat membuat okokan berukuran besar, mulai 1,5 meter hingga 2 meter.
Sedikitnya, ada empat okokan ukuran besar yang umurnya diperkirakan sudah tua karena warga setempat mewarisi secara turun-temurun.
"Okokan besar itu sudah ada sejak leluhur kami, biasanya dibunyikan untuk mengusir roh jahat dan ada bencana menimpa desa, meskipun pementasannya asal-asalan," tutur Wayan Sudarma, tokoh masyarakat setempat.
Dari pementasan okokan yang sangat sederhana itu, kemudian muncul keinginan warga mengembangkan dan mengemas kesenian okokan menjadi sebuah pertunjukan yang sejajar dengan kesenian lainnya yang selama ini eksis di Bali.
Warga sepakat membentuk kesenian okokan yang diberina mana seka Semara Madya, 1 April 1996 atau 20 tahun silam, beranggotakan 110 orang yang diambil dari masing-masing kepala keluarga (KK) di Banjar Baturiti, Kerambitan.
Lahirnya kesenian okokan terinspirasi dari hiasan ternak sapi dan dilatarbelakangi sektor pariwisata di Kupaten Tabanan mulai menunjukkan perkembangan.
Tektekan
Kesenian tektekan menggunakan belasan buah kulkul ukuran kecil yang terbuat dari bambu dipadukan dengan alat musik lain, seperti kendang, cengceng, kempur, dan gong kebyar.
Penampilan kesenian tektekan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan sebuah pegelaran seni sehingga menjadi sebuah tontonan seni yang dapat dinikmati oleh masyarakat penonton.
Kesenian tektekan dengan kemasan yang unik dan menarik, termasuk busananya yang menggunakan warna yang mencolok sehingga mampu menarik perhatian penonton yang memadati sepanjang jalan yang dilalui pawai budaya mengawali PKB yang berlangsung sebulan penuh, 11 Juni s.d. 9 Juli 2016.
Pementasan kesenian tektekan mirip dengan gong blaganjur untuk menyambut kedatangan seorang tamu penting atau mengiringi pementasan gerak tari yang berperan sebagai dirigen yang memberikan aba-aba pada permainan alat musik tradisional tersebut.
Kesenian itu biasa ditata dalam komposisi, teknik permainan, dan melodi mengiringi lakon dramatari fragmentari yang berjudul "Puputan Margarana".
Fragmentari itu mengisahkan pertempuran yang sengit antara pasukan Belanda dan pasukan I Gusti Ngurah Rai yang terjadi di Subak Uma Kaang Desa Marga, Dauh Puri Kabupaten Tabanan, sekitar 30 kilometer barat laut Kota Denpasar, 20 November 1946.
I Gusti Ngurah Rai dan pasukan Ciung Wanara yang melakukan "long march" dari Gunung Agung, di ujung timur Pulau Bali, ketika sampai di daerah Marga, dicegat dan dikurung oleh pasukan NICA, Belanda, sehingga terjadi pertempuran yang sengit.
Dalam pertempuran itu, terjadi perang "puputan" atau perang habis-habisan yang akhirnya pasukan berjumlah 96 orang gugur di medan laga, termask I Gusti Ngurah Rai.
Kesenian okokan dan tektekan sering dipentaskan di Puri Kerabitan untuk mengiringi acara makan malam para wisatawan mancanegara. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Alunan irama musik tradisional khas Kabupaten Tabanan ditampilkan di depan panggung kehormatan, tempat Presiden RI dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo pada pawai Pesta Kesenian Bali (PKB) Ke-38 di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi, kawasan Niti Mandala Renon Denpasar, Sabtu (11/6).
Daerah "gudang beras" di Bali itu menyuguhkan atraksi budaya yang tampaknya mampu menarik perhatian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dan Menteri Pariwisata Arief Yahya serta wisatawan mancanegara yang berbaur dengan masyarakat memadati jalur yang dilewati peserta pawai.
Okokan dan tektekan termasuk kesenian sakral. Kesenian ini dipentaskan tatkala masyarakat ditimpa wabah penyakit yang disebut "gerubug". Biasanya, untuk mengobati penyakit tersebut, masyarakat keluar rumah dan memukul alat bunyi-bunyian berupa kentongan kaleng, okokan, dan tektekan.
"Masyarakat Tabanan khususnya, mempunyai keyakinan bahwa dengan bunyi-bunyian itu dapat mengusir penyebab wabah penyakit yang menyerang warga setempat," kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha.
Oleh sebab itu, masyarakat menjadikan kesenian okokan dan tektekan sebagai kesenian sakral. Hingga saat ini, okokan dan tektekan dipentaskan apabila ada tanda-tanda seperti panen gagal dan wabah penyakit yang menimpa desa.
Okokan merupakan sebuah benda menyerupai genta yang terbuat dari bahan kayu yang biasa dililitkan pada leher ternak sapi (kalung) dengan harapan ternak tersebut mudah ditemukan jika sapi piaraan tersebut lepas dari kandangnya.
Benda yang terbuat dari kayu dengan bentuk segi empat berukuran kecil di bagian dalam diisi kayu "pentol" yang ujungnya diikat dengan tali sehingga saat sapi bergerak, kalung sapi tersebut mengeluarkan bunyi "tok...tak...tok...tak...".
Bahkan, okokan yang biasa ditempelkan petani pada ternak sapinya menjadi inspirasi sekaa kesenian Okokan Semara Madya Banjar Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan.
Seka kesenian itu pernah mewakili Kabupaten Tabanan sebagai duta seni tampil pada PKB beberapa tahun lalu yang penampilannya relatif cukup unik dan menarik.
Masyarakat Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan yang dikenal sebagai daerah "gudang beras" Bali mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan masing-masing memelihara sedikitnya dua ekor sapi guna membantu mengolah sawah (membajak).
Petani hampir seluruhnya membuat okokan. Benda itu dibuat berukuran kecil sehingga tidak mengganggu gerak ternak sapi. Namun, beberapa warga setempat membuat okokan berukuran besar, mulai 1,5 meter hingga 2 meter.
Sedikitnya, ada empat okokan ukuran besar yang umurnya diperkirakan sudah tua karena warga setempat mewarisi secara turun-temurun.
"Okokan besar itu sudah ada sejak leluhur kami, biasanya dibunyikan untuk mengusir roh jahat dan ada bencana menimpa desa, meskipun pementasannya asal-asalan," tutur Wayan Sudarma, tokoh masyarakat setempat.
Dari pementasan okokan yang sangat sederhana itu, kemudian muncul keinginan warga mengembangkan dan mengemas kesenian okokan menjadi sebuah pertunjukan yang sejajar dengan kesenian lainnya yang selama ini eksis di Bali.
Warga sepakat membentuk kesenian okokan yang diberina mana seka Semara Madya, 1 April 1996 atau 20 tahun silam, beranggotakan 110 orang yang diambil dari masing-masing kepala keluarga (KK) di Banjar Baturiti, Kerambitan.
Lahirnya kesenian okokan terinspirasi dari hiasan ternak sapi dan dilatarbelakangi sektor pariwisata di Kupaten Tabanan mulai menunjukkan perkembangan.
Tektekan
Kesenian tektekan menggunakan belasan buah kulkul ukuran kecil yang terbuat dari bambu dipadukan dengan alat musik lain, seperti kendang, cengceng, kempur, dan gong kebyar.
Penampilan kesenian tektekan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan sebuah pegelaran seni sehingga menjadi sebuah tontonan seni yang dapat dinikmati oleh masyarakat penonton.
Kesenian tektekan dengan kemasan yang unik dan menarik, termasuk busananya yang menggunakan warna yang mencolok sehingga mampu menarik perhatian penonton yang memadati sepanjang jalan yang dilalui pawai budaya mengawali PKB yang berlangsung sebulan penuh, 11 Juni s.d. 9 Juli 2016.
Pementasan kesenian tektekan mirip dengan gong blaganjur untuk menyambut kedatangan seorang tamu penting atau mengiringi pementasan gerak tari yang berperan sebagai dirigen yang memberikan aba-aba pada permainan alat musik tradisional tersebut.
Kesenian itu biasa ditata dalam komposisi, teknik permainan, dan melodi mengiringi lakon dramatari fragmentari yang berjudul "Puputan Margarana".
Fragmentari itu mengisahkan pertempuran yang sengit antara pasukan Belanda dan pasukan I Gusti Ngurah Rai yang terjadi di Subak Uma Kaang Desa Marga, Dauh Puri Kabupaten Tabanan, sekitar 30 kilometer barat laut Kota Denpasar, 20 November 1946.
I Gusti Ngurah Rai dan pasukan Ciung Wanara yang melakukan "long march" dari Gunung Agung, di ujung timur Pulau Bali, ketika sampai di daerah Marga, dicegat dan dikurung oleh pasukan NICA, Belanda, sehingga terjadi pertempuran yang sengit.
Dalam pertempuran itu, terjadi perang "puputan" atau perang habis-habisan yang akhirnya pasukan berjumlah 96 orang gugur di medan laga, termask I Gusti Ngurah Rai.
Kesenian okokan dan tektekan sering dipentaskan di Puri Kerabitan untuk mengiringi acara makan malam para wisatawan mancanegara. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016