Perjalanan kehidupan Arthanegara menghadirkan jejak keberanian dan perjuangan yang penuh tantangan hingga dikagumi para tokoh bangsa, mulai Abdul Haris nasution, Adam Malik hingga Soeharto. posisi Arthanegara yang nasionalis rela meninggalkan tugas belajarnya di Negara Tiongkok dengan menyisakan romantisme bersama gadis Thailand yang lama membekas di hatinya. Namun pendekar KNPI Bali zaman Orde Baru ini tidak kehilangan akal segera mencari penggantinya gadis Bali keturunan Tiongkok Poi Gwan Nio dan dikaruniai dua anak Gusti Ayu Mas Sri Apsari, SH., MH. dan I Gusti Bagus Dharma Putra S.Sn.

Diam-diam aku mengagumi teman sekelasku yang kebetulan tiap hari lewat di depan rumahku. Keakraban itu begitu melekat di hati kami masing-masing tanpa pernah mengucapkan kata cinta sepatah katapun. Begitu lulus kelas 3 (tiga) dan mulai berencana mencari sekolah lanjutan barulah hantu perpisahan itu mulai menggoda kami.

Dia mengatakan akan melanjutkan ke Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) Malang. Lalu kucoba untuk mencari-cari sekolah apa yang bisa kucari di kota Malang. Dengan susah payah kedapati nama sekolah Hakim dan Jaksa (SHD), aku mulai merengek-rengek kepada ibu untuk diizinkan melanjutkan sekolah ke Malang.

Ternyata gagal, kuberanikan diriku memohon izin kepada ayahku. Tapi itupun gagal. Niat burukku ternyata sudah terbaca oleh kedua orang tuaku, akhirnya aku memilih untuk melanjutkan ke SMA Negeri Denpasar yang untuk pertama kalinya menerima siswa baru di tahun 1960. Ku pilih bagian A (sastra) karena kupikir itulah jalan yang paling tepat buat masa depanku. Mungkin karena aku punya hobi mengarang puisi dan cerpen berdeklamasi serta bermain drama sedangkan dengan cewek idamanku itu aku terus bersurat-suratan.
    
Aku menikmati indahnya dunia tulis menulis surat walaupun tidak pernah mengucapkan kata cinta. Hari berganti hari dan minggupun berganti bulan. Di Bali aku terlibat dengan kegiatan berorganisasi sebagai wakil ketua Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) Provinsi Bali dan kegiatan sastra lainnya. Karena zaman itu persaingan antar partai begitu kuat, khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI) maka akupun banyak dijejali tugas-tugas bersama teman sebayaku untuk membawa band ataupun paduan suara. Sebagai organisasi pelajar yang berafiliasi ke PNI maka di mana ada peresmian/pelantikan cabang/ranting PNI, maka kesitulah aku bersama teman-teman membawa rombongan kesenian.

Semuanya dalam surat-suratku ke Malang kuisi dengan laporan kegiatan yang kulakukan. Ternyata dia merespon dengan sangat baik dan selalu memberiku semangat. Dia mengagumi semua aktivitasku. Kupikir itulah saat yang tepat untuk menyatakkan cintaku kepadanya. Tapi apa lacur rupanya dia hanya mengagumi karya-karyaku yang dimuat di Koran dan aktivitasku sebagai generasi muda. Ternyata jawaban yang kuterima adalah “maaf terlambat, anggap aku saudaramu saja”.
    
Tentu saja terasa cukup kecewa, tapi anehnya adalah justru surat menyurat itu semakin sering dan mengasikkan. Kupikir semua itu mungkin cuma ujian terhadap kesungguhan cintaku. Sebab ketika aku meningkat menjadi mahasiswa dan Bali dilanda demo anti gubernur Bali oleh pihak PNI, dia semakin banyak mendukung aktivitas. Tapi tetap saja kuterima pilihannya untuk menjadikan seorang saudara, aku tidak ingin ada penolakan yang ke dua kalinya.
    
Menginjak saat aku menjadi mahasiswa, ayahku tidak lagi seketat waktu aku masih kanak-kanak dulu. Memang ada ganjalan saat-saat tamat SMA dan ingin melanjutkan ke Jawa. Meskipun aku pakai alasan untuk belajar merantau dan mandiri, ayahku tetap menolaknya.

Bahkan kalau itu alasanku, aku disuruhnya tinggal di asrama Fakultas Sastra Unversita Udayana saja. Tentu saja aku menolaknya karena akan lebih nyaman bagiku menikmati masakan ibuku. Apalagi beliau tahu kalau aku hanya ingin kuliah ke Jawa karena ingin dapat bersama dengan teman belajarku yang sering datang ke rumah untuk belajar bersama. Sebagai anak SMA Negeri dan kebetulan sering mendapatkan juara kelas, memang ada anak sekolah swasta yang cukup cantik sering datang ke rumah untuk belajar bersama. Ketatnya disiplin ayahku telah menyelamatkan aku dari godan-godaan yang hanya akan membuat studiku tidak selesai.

Aku merasa bangga menjadi mahasiswa Fakultas negeri pertama di Bali. Masalah cinta mencintai akhirnya hilang dengan sendirinya. Sebagai akibat ketatnya disiplin kedua orang tuaku, apalagi sebagai aktivis mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi sosial kemasyarakatan, aku dibuat cukup sibuk dengan pertarungan antar partai politik yang kian meruncing. Sebagai siswa angkatan pertama di SMA Negeri Denpasar (nomor stambuk siswa 0002) banyak suka duka yang kujalani bersama teman-teman. Hanya ada tiga kelas siswa, yaitu satu kelas A (sastra) satu kelas B (pasti) dan satu kelas C (ekonomi). Di antara siswa terjalin keakraban yang sangat intim walaupun berbeda kelas. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016