Denpasar (Antara Bali)- Tirtayatra adalah perjalanan suci untuk mendapatkan atau memperoleh air suci. Tirtayatra dalam bahasa sehari-hari di Bali dipahami dengan tangkil atau sembahyang ke pura-pura.

Menurut Bapak I Ketut Darmayasa selaku Ketua Program Tri Hita Karana di Grand Istana Rama Hotel, dengan bertirtayatra sebenarnya telah menjaga ketiga aspek keharmonisan hidup di dunia yakni Tri Hita Karana.

Tirta yatra kali ini dilaksanakan sebagai rangkaian piodalan di Grand Istana Rama Hotel yang jatuh pada tanggal 23 Maret 2016. Diharapkan dengan dilaksanakannya Tirta Yatra ini Manajemen dan Staff Grand Istana Rama Hotel mendapat perlindungan, keselamatan, rejeki dan kemakmuran.  

Grand Istana Rama Hotel rutin melakukan tirta yatra bersama para staf. Tirta yatra kali ini dilaksanakan pada Sabtu 12 Maret 2016 dengan tujuan persembahyangan ke 12 pura.

Persembahyangan pertama di mulai di Grand Istana Rama Hotel, dan pada pukul 06.00 WITA perjalanan dimulai ke Pura Rambutsiwi dengan lama perjalanan 4 jam. Lalu perjalanan dilanjutkan menuju Pura Segara Rupek dan setelah itu langsung menuju ke pelabuhan untuk menyeberang ke Pulau Menjangan.

Sesampainya di Pulau Menjangan, persembahyangan pertama dilakukan di Pura Taman Beji, pura taman beji biasa digunakan untuk melukat atau pemarisudha. Pura taman beji di Pulau Menjangan ini memiliki keunikan dimana air suci (tirta nya terasa asin).

Persembahyangan kedua dilakukan di Pesraman Agung Brahma Ireng / Ratu Patih Lingsir Kebo Iwa. Di sini persembahyangan dilakukan seperti biasa, bedanya di sini tidak dianugrahi bija atau beras seperti biasa sembahyang, tapi berupa abu berwarna hitam yang diusapkan didahi.

Persembahyangan ketiga yaitu di Pagoda Agung Dewi Kwan Im / Dewi Kemakmuran. Di tempat ini sembahyang tidak menggunakan sarana persembahyangan seperti biasa melainkan dengan sarana dupa yang jumlahnya 1,3,5 dst dalam jumlah yang ganjil.

Persembahyangan keempat dilaksanakan di Pendopo Ida Bhetara Lingsir Dalem Gajah Mada / Hyang Wisnu Murti. Didalam pelinggih atau bangunan pura terdapat sebuah patung yang mendeskripsikan Maha Patih Gajah Mada, berikatkan merah putih di kepala, Payung dan kain merah putih ada juga didalam pelinggih tersebut. Sembahyang disini dianugerahi masing-masing satu benang tridatu (benang berwarna merah hitam dan putih)lambang warna Tri Murti.

Persembahyangan kelima dilaksanakan di Pura Sang Hyang Siwa Pasupati, pura ini berarsitektur Bali dengan warna putih yang sangat dominan. Disini persembahyangan dilakukan seperti biasanya.

Selanjutnya persembahyangan keenam dilakukan Pelinggih Ida Bhetara Lingsir Watu Renggong. Persembahyangan disini dilakukan seperti biasanya, namun bedanya disini kami dianugerahi bija berwarna kuning.

Persembahyang yang ketujuh dilakukan di Pelinggih Sang Hyang Ganesha. Disini persembahyangan dilakukan berbeda, persembahyangan berupa banten di haturkan di depan patung, dan kami kembali kebelakang untuk sembahyang. Persembahyang hanya dengan media dupa saja, setelah itu dipersilahkan menuju kedepan patung untuk melakukan sujud bakti mencium bagian kaki ganesha.

Persembahyangan terakhir di Pulau Menjangan dilakukan di Pura Segara Giri Dharma Kencana. Menurut sejarah Pura ini dibangun pada masa kerajaan yang di pimpin raja Dalem Watu Renggong. Hal unik dari  pura ini adalah bangunannya yang terbuat dari bahan lokal. Dinding ataupun pura itu sendiri terbuat dari campuran semen dengan bahan batu setempat yang dipecahkan kecil-kecil. Selanjutnya dilakukan penyeberangan kembali dan melanjutkan perjalanan menuju ke Pura Pulaki.

Persembahyangan ke sebelas (11) dilanjutkan di Pura Pulaki  yang berlokasi di pinggir jalan raya Gilimanuk Singaraja yang juga disebut sebagai Pura Petirtan. Pura ini  dominan dengan ornamen batu yang berwarna hitam dan terdapat banyak monyet.

Tujuan terakhir dari perjalanan tirta yatra kali ini ada Pura Melanting. Pura Melanting adalah termasuk aspek agama dan kebudayaan yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan masyarakat bali khususnya para pedagang.

Pura melanting umumnya didirikan di setiap pasar di Bali, itu oleh karena kegiatan jual-beli antara pedagang dan pembeli selalu berhubungan erat dengan Pura ini. Kebanyakan yang berdoa di Pura ini adalah kaum pedagang yang memohon ketentraman, keselamatan dan kesejahteraan ketika berjualan, sehingga dapat memperoleh keuntungan yang maksimal seperti yang diharapkan. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016