Jakarta (Antara Bali) - Penerapan pajak hasil penangkapan (PHP) yang dinilai tinggi oleh berbagai kalangan hanya diperuntukkan bagi kapal yang memiliki bobot di atas 200 gross tonnage (GT), kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
"Kenaikan yang sangat tinggi itu 200 GT ke atas. Kapal Indonesia yang 200 GT bisa dihitung. Kapal 200 GT kebanyakan milik asing," kata Menteri Susi dalam rilis berita KKP, Jumat.
Menurut dia, kenaikan PHP tersebut bersifat gradual dan progresif karena tidak semua nilainya sama.
Berdasarkan data KKP, kapal berukuran 60 sampai 70 GT memiliki omzet Rp6 miliar per tahun. Sementara PHP untuk kapal 30 GT ke atas masih diberlakukan karena kapal Indonesia, sering melakukan penyalahgunaan.
Penyalahgunaan tersebut misalnya seperti tidak melaporkan hasil tangkapan, menangkap ikan tidak sesuai aturan, menggunakan alat tangkap ikan ilegal, hingga melakukan "mark down" ukuran kapal.
Di tempat terpisah, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan miris bila kondisi ikan di kawasan perairan Indonesia melimpah tetapi dihadapkan dengan kondisi nelayan tradisional yang masih sukar melaut karena terkendala beragam hambatan.
"Nelayan kita saja belum pergi ke laut menangkap ikan untuk merayakan kemelimpahan ikan di laut Republik Indonesia akhir-akhir ini," kata Ketua Umum KNTI Riza Damanik.
Dia menyatakan keheranannya bila nelayan dibiarkan jadi penonton terus di laut sendiri hanya karena pemerintah lagi memprioritaskan aspek keamanan.
Untuk itu, lanjutnya, berbagai pihak dan otoritas terkait juga diajak untuk "bergegas" karena 2016 sudah tahun kedua dari berjalannya Kabinet Kerja.
Sebelumnya, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia DKI Jakarta, Yan M Winatasasmita mendesak Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2015 tentang pungutan hasil perikanan, karena dirasakan sangat memberatkan para pemilik kapal.
PP itu sangat memberatkan pemilik kapal dan tentu saja pada akhirnya berdampak kepada menurunnya kesejahteraan nelayan, kata Yan M Winatasasmita melalui pesan tertulisnya kepada Antara di Jakarta, Kamis (11/2).
(WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Kenaikan yang sangat tinggi itu 200 GT ke atas. Kapal Indonesia yang 200 GT bisa dihitung. Kapal 200 GT kebanyakan milik asing," kata Menteri Susi dalam rilis berita KKP, Jumat.
Menurut dia, kenaikan PHP tersebut bersifat gradual dan progresif karena tidak semua nilainya sama.
Berdasarkan data KKP, kapal berukuran 60 sampai 70 GT memiliki omzet Rp6 miliar per tahun. Sementara PHP untuk kapal 30 GT ke atas masih diberlakukan karena kapal Indonesia, sering melakukan penyalahgunaan.
Penyalahgunaan tersebut misalnya seperti tidak melaporkan hasil tangkapan, menangkap ikan tidak sesuai aturan, menggunakan alat tangkap ikan ilegal, hingga melakukan "mark down" ukuran kapal.
Di tempat terpisah, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan miris bila kondisi ikan di kawasan perairan Indonesia melimpah tetapi dihadapkan dengan kondisi nelayan tradisional yang masih sukar melaut karena terkendala beragam hambatan.
"Nelayan kita saja belum pergi ke laut menangkap ikan untuk merayakan kemelimpahan ikan di laut Republik Indonesia akhir-akhir ini," kata Ketua Umum KNTI Riza Damanik.
Dia menyatakan keheranannya bila nelayan dibiarkan jadi penonton terus di laut sendiri hanya karena pemerintah lagi memprioritaskan aspek keamanan.
Untuk itu, lanjutnya, berbagai pihak dan otoritas terkait juga diajak untuk "bergegas" karena 2016 sudah tahun kedua dari berjalannya Kabinet Kerja.
Sebelumnya, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia DKI Jakarta, Yan M Winatasasmita mendesak Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2015 tentang pungutan hasil perikanan, karena dirasakan sangat memberatkan para pemilik kapal.
PP itu sangat memberatkan pemilik kapal dan tentu saja pada akhirnya berdampak kepada menurunnya kesejahteraan nelayan, kata Yan M Winatasasmita melalui pesan tertulisnya kepada Antara di Jakarta, Kamis (11/2).
(WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016