Maestro seni lukis Nyoman Gunarsa menorehkan jutaan jejak memanjang pada jagad kesenian di Indonesia. Tema lukisan sang maestro yang mengusung gemulai penari tradisional, legenda dan mitos magis di Pulau Bali, menjadi kekhasan yang selalu tertuang di atas kanvas. Kini, Nyoman Gunarsa memilih melabuhkan diri di Pulau Dewata dan menghabiskan masa-masa untuk menghadirkan warna kehidupan yang diabadikan pada sebentuk lukisan.
Satu pagi di pertengahan April 1944.
Langit di atas Desa Adat Banda, Kabupaten Klungkung, Bali, berpijar cerah tatkala seorang bayi lelaki terlahir di dunia. I Nyoman Gunarsa. Putra ketiga pasangan Ketut Rigeg dan Ni Made Suntu.
Hari berganti hari, Gunarsa tumbuh menjadi anak lelaki yang tumbuh bersama keselarasan alam. Menapak di antara pematang persawahan yang ditumbuhi hamparan tanaman padi. Kedua orang tua Gunarsa melakoni pekerjaan sebagai petani, yang dalam keseharian mengerjakan lahan persawahan. Bergelut dengan lumpur, mengolah tanah dan menabur biji padi.
Di antara kesibukan membantu orang tua menyemai padi di sawah, Gunarsa sering kali terhanyut dalam aktivitas menari barong di banjar bersama teman-teman masa kecilnya.
Melewati waktu di antara butir-butir padi yang keemasan dan diselingi berlatih tari barong, tak lantas membuat Gunarsa menumpukan cita-cita sebagai petani atau penari barong yang handal. Gunarsa justru tergerak ingin menjadi pelukis.
Menyaksikan pelukis mengguratkan kuas di atas kanvas, melihat bagaimana kanvas yang semula kosong menjadi simbol-simbol sarat makna, benar-benar memberikan energi bagi Gunarsa untuk menggapainya. Gunarsa sangat terobsesi untuk menjadi pelukis. Tak ada cita-cita lain yang begitu diharapkan dan ingin dituju selain menjadi seorang pelukis.
Terdorong cita-cita menjadi pelukis inilah, Gunarsa pun berangkat ke Yogyakarta setelah tamat SMP. Dia mendaftarkan diri sebagai murid jurusan melukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang terletak di Gampingan. Gunarsa indekos di rumah Ibu Raden Mas Sukoco, yang terletak sekitar 6 km dari sekolah.
Setiap hari Gunarsa berjalan kaki menuju sekolah, namun tak pernah mengeluarkan keluhan. Cita-cita sebagai pelukis sungguh menggugah hasrat dan menyita segenap perhatiannya. Gunarsa menjalani masa belajar dengan semangat tinggi.
Satu angkatan teman-teman Gunarsa berjumlah 400 murid, berasal dari berbagai pulau, suku, dan usia. Memang saat itu ASRI menerima murid lulusan SMP, SMA, hingga tamatan PGA, sehingga terdiri atas berbagai level usia dan beragam latar belakang ekonomi.
Kehidupan semasa menjadi murid ASRI dijalani Gunarsa dengan riang, meski sesungguhnya dia harus hidup serba prihatin. Uang kiriman dari orang tuanya dari hasil penjualan gabah, diterima setiap bulan sejumlah Rp150. Sebanyak Rp50 digunakan untuk membayar uang kos. Selebihnya digunakan untuk biaya hidup sehari-hari.
Gunarsa mengatur keuangannya secara cermat agar dapat menyambung hidup dan tidak sampai putus sekolah. Biaya makan dapat ditekan, sebab sering Gunarsa bergabung dengan teman-temannya yang berbeda suku untuk membaur.
"Saya sampai menguasai tari dari Padang, bisa main gitar karena bergaul akrab dengan teman dari Medan. Saya membaur dengan semua suku, dan setiap ada acara atau hari raya, saya jadi sering diundang untuk makan-makan. Uang makan jadinya bisa dihemat, dan menjadi trik saya 'survive' untuk mempertahankan sekolah," kata Gunarsa.
Trik lain Gunarsa adalah sesekali membikinkan teman-temannya lukisan gambar bentuk. Sebagai gantinya, Gunarsa diajak makan-makan sepuasnya dan sejenak dapat melupakan keprihatinan yang setiap hari harus dijalani.
Suatu hari, Gunarsa mendengar kabar kalau Presiden Soekarno mengadakan lomba membuat mozaik bagi mahasiswa seni se-Indonesia. Dia langsung antusias mengikuti dengan mengirimkan gambar tentang panorama alam Pulau Bali.
Tak disangka, gambar Gunarsa menjadi pemenang, sehingga guru dan teman-teman sekolahnya menjadi geger. Gambar Nyoman itu kemudian dijadikan mozaik di Hotel Bali Beach dan Hotel Ambarukmo.
Roda kehidupan Gunarsa sebagai seorang seniman pun bergerak. Kala itu, Presiden Soekarno menyerukan kepada segenap menteri dan tamu negara agar membeli lukisan karya pelukis Tanah Air. Karya-karya pelukis Indonesia diibaratkan Soekarno sebagai hikmah dari kemerdekaan yang lepas dari penjajahan, tak ubahnya seperti burung elang rajawali yang bebas merdeka. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Satu pagi di pertengahan April 1944.
Langit di atas Desa Adat Banda, Kabupaten Klungkung, Bali, berpijar cerah tatkala seorang bayi lelaki terlahir di dunia. I Nyoman Gunarsa. Putra ketiga pasangan Ketut Rigeg dan Ni Made Suntu.
Hari berganti hari, Gunarsa tumbuh menjadi anak lelaki yang tumbuh bersama keselarasan alam. Menapak di antara pematang persawahan yang ditumbuhi hamparan tanaman padi. Kedua orang tua Gunarsa melakoni pekerjaan sebagai petani, yang dalam keseharian mengerjakan lahan persawahan. Bergelut dengan lumpur, mengolah tanah dan menabur biji padi.
Di antara kesibukan membantu orang tua menyemai padi di sawah, Gunarsa sering kali terhanyut dalam aktivitas menari barong di banjar bersama teman-teman masa kecilnya.
Melewati waktu di antara butir-butir padi yang keemasan dan diselingi berlatih tari barong, tak lantas membuat Gunarsa menumpukan cita-cita sebagai petani atau penari barong yang handal. Gunarsa justru tergerak ingin menjadi pelukis.
Menyaksikan pelukis mengguratkan kuas di atas kanvas, melihat bagaimana kanvas yang semula kosong menjadi simbol-simbol sarat makna, benar-benar memberikan energi bagi Gunarsa untuk menggapainya. Gunarsa sangat terobsesi untuk menjadi pelukis. Tak ada cita-cita lain yang begitu diharapkan dan ingin dituju selain menjadi seorang pelukis.
Terdorong cita-cita menjadi pelukis inilah, Gunarsa pun berangkat ke Yogyakarta setelah tamat SMP. Dia mendaftarkan diri sebagai murid jurusan melukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang terletak di Gampingan. Gunarsa indekos di rumah Ibu Raden Mas Sukoco, yang terletak sekitar 6 km dari sekolah.
Setiap hari Gunarsa berjalan kaki menuju sekolah, namun tak pernah mengeluarkan keluhan. Cita-cita sebagai pelukis sungguh menggugah hasrat dan menyita segenap perhatiannya. Gunarsa menjalani masa belajar dengan semangat tinggi.
Satu angkatan teman-teman Gunarsa berjumlah 400 murid, berasal dari berbagai pulau, suku, dan usia. Memang saat itu ASRI menerima murid lulusan SMP, SMA, hingga tamatan PGA, sehingga terdiri atas berbagai level usia dan beragam latar belakang ekonomi.
Kehidupan semasa menjadi murid ASRI dijalani Gunarsa dengan riang, meski sesungguhnya dia harus hidup serba prihatin. Uang kiriman dari orang tuanya dari hasil penjualan gabah, diterima setiap bulan sejumlah Rp150. Sebanyak Rp50 digunakan untuk membayar uang kos. Selebihnya digunakan untuk biaya hidup sehari-hari.
Gunarsa mengatur keuangannya secara cermat agar dapat menyambung hidup dan tidak sampai putus sekolah. Biaya makan dapat ditekan, sebab sering Gunarsa bergabung dengan teman-temannya yang berbeda suku untuk membaur.
"Saya sampai menguasai tari dari Padang, bisa main gitar karena bergaul akrab dengan teman dari Medan. Saya membaur dengan semua suku, dan setiap ada acara atau hari raya, saya jadi sering diundang untuk makan-makan. Uang makan jadinya bisa dihemat, dan menjadi trik saya 'survive' untuk mempertahankan sekolah," kata Gunarsa.
Trik lain Gunarsa adalah sesekali membikinkan teman-temannya lukisan gambar bentuk. Sebagai gantinya, Gunarsa diajak makan-makan sepuasnya dan sejenak dapat melupakan keprihatinan yang setiap hari harus dijalani.
Suatu hari, Gunarsa mendengar kabar kalau Presiden Soekarno mengadakan lomba membuat mozaik bagi mahasiswa seni se-Indonesia. Dia langsung antusias mengikuti dengan mengirimkan gambar tentang panorama alam Pulau Bali.
Tak disangka, gambar Gunarsa menjadi pemenang, sehingga guru dan teman-teman sekolahnya menjadi geger. Gambar Nyoman itu kemudian dijadikan mozaik di Hotel Bali Beach dan Hotel Ambarukmo.
Roda kehidupan Gunarsa sebagai seorang seniman pun bergerak. Kala itu, Presiden Soekarno menyerukan kepada segenap menteri dan tamu negara agar membeli lukisan karya pelukis Tanah Air. Karya-karya pelukis Indonesia diibaratkan Soekarno sebagai hikmah dari kemerdekaan yang lepas dari penjajahan, tak ubahnya seperti burung elang rajawali yang bebas merdeka. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016