Badung (Antara Bali) - PT Bali Sri Organik (BSO) melakukan sosialisasi sejumlah petani kawasan Sangeh, Kabupaten Badung, untuk bertani secara organik demi menjaga kelestarian lingkungan.
"Bertani secara organik ini sudah ada sejak zaman Majapahit, dan memang sudah waktunya kita menjaga ibu pertiwi. Menjaga lingkungan dengan cara bertani secara organik," kata Direktur PT BSO IB Gede Arsana di wilayah subak Sangeh, Badung, Minggu.
Bertani secara organik akan menghasilkan produk pertanian yang sehat dan berkualitas bagi semua kalangan masyarakat. Sekaligus untuk meningkatkan harkat dan martabat petani di Indonesia.
Petani, lanjutnya, bisa diartikan sebagai pembela tanah air Indonesia. Sejak dulu petani sering dilihat sebagai kaum termarjinalkan, padahal perannya luar biasa bagi ketahanan pangan di Indonesia.
"Metode bertanam organik dilakukan dengan memaksimalkan perakaran tanaman. Tanah pun diberi `makanan` dengan pupuk organik," katanya.
Dikatakan Gusde, apabila petani bekerja sama dengan PT BSO dalam penanaman padi organik, maka akan disediakan bibit padi unggul. Tenaga kerja petani akan diberikan pendamping untuk meminimalisir kegagalan pertanian.
"Ketika panen, maka dibeli PT BSO dalam bentuk gabah kering panen. Harganya Rp5 ribu - Rp6 ribu per kilogram. Kalau sampai paceklik harga gabah dapat mencapai Rp7 ribu per kilogram," ujarnya.
Sementara itu, salah seorang petani Ketut Jawi menyatakan, tahun 2005 lalu, sejumlah petani di Sangeh pernah menanam secara organik. Hasil panen pun memuaskan.
"Sayangnya hasil panen tidak ada yang menampung. Makanya petani jadi enggan meneruskan bertani organik. Tapi kalau sudah ada jaminan hasil panen akan dibeli, kami siap untuk melakukan pertanian organik," ujar Ketut Jawi, yang berasal dari Banjar Kembangsari, Blahkiuh, Badung.
Dikatakan Jawi, lahan pertaniannya yang dimilikinya seluas 60 are dan kini masih ditanami secara konvensional. Meski kadang-kadang dirinya memupuk menggunakan kotoran sapi, tapi masih dicampur dengan pupuk kimia.
Salah satu perbedaan pertanian secara organik dan konvensional, terletak pada masa panen. Padi yang ditanam secara konvensional maka akan dipanen selama 115 hari. Kalau padi ditanam secara organik, akan dipanen 120 hari kemudian.
"Tidak mencolok perbedaan waktu panen sebenarnya. Masalah kami cuma pada soal penyerapan hasil panen saja. Kalau itu teratasi, petani pun tidak akan keberatan mengalihkan pertanian ke organik," ujarnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Bertani secara organik ini sudah ada sejak zaman Majapahit, dan memang sudah waktunya kita menjaga ibu pertiwi. Menjaga lingkungan dengan cara bertani secara organik," kata Direktur PT BSO IB Gede Arsana di wilayah subak Sangeh, Badung, Minggu.
Bertani secara organik akan menghasilkan produk pertanian yang sehat dan berkualitas bagi semua kalangan masyarakat. Sekaligus untuk meningkatkan harkat dan martabat petani di Indonesia.
Petani, lanjutnya, bisa diartikan sebagai pembela tanah air Indonesia. Sejak dulu petani sering dilihat sebagai kaum termarjinalkan, padahal perannya luar biasa bagi ketahanan pangan di Indonesia.
"Metode bertanam organik dilakukan dengan memaksimalkan perakaran tanaman. Tanah pun diberi `makanan` dengan pupuk organik," katanya.
Dikatakan Gusde, apabila petani bekerja sama dengan PT BSO dalam penanaman padi organik, maka akan disediakan bibit padi unggul. Tenaga kerja petani akan diberikan pendamping untuk meminimalisir kegagalan pertanian.
"Ketika panen, maka dibeli PT BSO dalam bentuk gabah kering panen. Harganya Rp5 ribu - Rp6 ribu per kilogram. Kalau sampai paceklik harga gabah dapat mencapai Rp7 ribu per kilogram," ujarnya.
Sementara itu, salah seorang petani Ketut Jawi menyatakan, tahun 2005 lalu, sejumlah petani di Sangeh pernah menanam secara organik. Hasil panen pun memuaskan.
"Sayangnya hasil panen tidak ada yang menampung. Makanya petani jadi enggan meneruskan bertani organik. Tapi kalau sudah ada jaminan hasil panen akan dibeli, kami siap untuk melakukan pertanian organik," ujar Ketut Jawi, yang berasal dari Banjar Kembangsari, Blahkiuh, Badung.
Dikatakan Jawi, lahan pertaniannya yang dimilikinya seluas 60 are dan kini masih ditanami secara konvensional. Meski kadang-kadang dirinya memupuk menggunakan kotoran sapi, tapi masih dicampur dengan pupuk kimia.
Salah satu perbedaan pertanian secara organik dan konvensional, terletak pada masa panen. Padi yang ditanam secara konvensional maka akan dipanen selama 115 hari. Kalau padi ditanam secara organik, akan dipanen 120 hari kemudian.
"Tidak mencolok perbedaan waktu panen sebenarnya. Masalah kami cuma pada soal penyerapan hasil panen saja. Kalau itu teratasi, petani pun tidak akan keberatan mengalihkan pertanian ke organik," ujarnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015