Jakarta (Antara Bali) - Pemerintah harus segera menjembatani ketidaksepakatan revisi harga jual uap dan tarif listrik panas bumi dari PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) ke PT PLN (Persero), kata seorang peneliti energi.

Salah satu klausul yang bisa diterapkan adalah pemerintah menanggung selisih harga jual yang tidak disepakati oleh PGE dan PLN, kata peneliti energi dari Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi dalam rilisnya di Jakarta, Senin.

Ali Ahmudi yang meneliti model energi listrik di beberapa negara, mengatakan PGE sebagai entitas bisnis wajar mengenakan tarif listrik sesuai harga pokok produksi plus profit.  

Di sisi lain, PLN sebagai kepanjangan tangan pemerintah sebagai penyedia energi listrik nasional sekaligus entitas bisnis, harus berpikir efisiensi untuk mendapatkan harga listrik yang murah.

"Dari sisi bisnis PGE harus untung, tapi PLN juga harus untung atau tidak dirugikan. Di sini tidak ada pertemuan dari sisi harga. Karena itu, pemerintah harus mengarahkan bagaimana subsidi," ujar Ali.

Menurut Ali Ahmudi, pemerintah tak bisa mendiamkan persoalan ini karena dua BUMN itu adalah milik pemerintah sekaligus juga entitas bisnis.  Pemerintah mesti memberi solusi apakah dengan menerbitkan kebijakan yang tidak merugikan salah satu pihak atau diformalkan dalam bentuk "feed in tariff".

"Tanpa itu semua itu sangat sulit. Ini tidak hanya geothermal tapi juga untuk energi baru dan terbarukan lainnya," katanya.

Ali menyarankan agar PGE diberikan kewanangan untuk dapat menjual uap atau listrik ke pihak lain. Apabila PGE dipaksa hanya menjual uap atau listrik ke PLN sementara PLN tak bisa memberikan harga pasar yang lazim, menurut Ali, itu hanya akan merugikan  PGE sebagai entitas bisnis.

"Bisa saja misalnya, ada kuota dari PGE untuk PLN, tapi ada proporsi untuk mereka jual juga ke swasta," katanya.

PGE dan PLN sebelumnya meneken interim agreement yang akan berakhir pada 31 Desember 2015. Kesepakatan semenara itu meliputi perjanjian jual beli uap (PJBU) dan Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) untuk delapan unit pembangkit  yang dikelola PGE, yaitu  tujuh PJBU unit di Kamojang, Jawa Barat dan Lahendong, Sulawesi Utara  dan satu PJBL di Kamojang.

Berdasarkan PJBU/PJBL, interim agreement Kamojang harganya 6,2 sen dolar AS per kilo watt hour (kWh). Sedangkan usulan PGE 7,43 sen dolar per kWh dan usulan PLN 3,3 sen dolar per kwh.

Sementara untuk pembangkit Kamojang yang dikelola sendiri oleh PGE, perjanjian jual-beli listriknya 9,7 sen dolar AS per kwh. Usulan PGE 10,11 sen dolar per kWh dan dan PLN mengusulkan 5,82 sen dolar per kwh.  

Untuk Lahendong, interim agreement sebesar 6,2 sen dolar per Kwh dengan usulan PGE 11,11 sen dolar per kWh dan permintaan PLN bergerak mulai dari 2,69 sen hingga 5,34 sen dolar per kWh.

Negosiasi terakhir PGE dengan PLN terjadi pada 13 November 2015. PLN tak bersedia memperpanjang interim agreement. Dengan demikian, PJBU Kamojang yang dikelola PLN akan berakhir, PJBU Lahendong dan PJBL Kamojang yang dikelola PGE kembali ke kontrak awal PJBU/PJBL.

Direktur Panas Bumi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Yunus Saifulhak sebelumnya  menyatakan proses revisi harga panas bumi bagi PGE berlangsung terlalu lama. Revisi tidak bisa dengan mudah dilakukan lantaran ada beberapa pihak yang khawatir untuk mengambil keputusan, katanya. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Faisal Yunianto

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015