Denpasar (Antara Bali) - Warga Kampung Angantiga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, melestarikan tradisi leluhur yang bersumber pada kehidupan rukun antara umat Hindu dan Islam.

Kepala Kampung Angantiga M Ramsudin kepada ANTARA di Petang, Senin, menjelaskan, di antara tradis itu bernama "ngejot", yakni saling berbagi makanan saat umat Hindu maupun Muslim merayakan hari raya keagamaan.

"Kalau umat Islam merayakan Idul Fitri atau Idul Adha, kami biasa membagikan makanan ke saudara-saudara kami yang Hindu. Demikian juga, kalau umat Hindu hari raya, kami juga dikirimi makanan oleh mereka," kata keturunan Bugis yang hanya bisa berbahasa Bali dan Indonesia itu.

Lelaki yang pernah mengenyam pendidikan pesantren di Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, itu, mengaku tidak tahu asal kata dan arti "ngejot" karena warga hanya mewarisi hal tersebut dari leluhur.

Tradisi lainnya, kata dia, adalah "ngeraris", yang intinya juga berbagi kesenangan antara umat Hindu dan Muslim.

"Ngeraris" dilakukan dengan berbagi makanan saat warga melaksanakan pernikahan atau ada yang melahirkan.

"Kalau ada pernikahan di kalangan Muslim, saudara-saudara yang Hindu juga membantu, demikian juga sebaliknya. Kegiatan saling membantu itu disebut dengan 'metulung' atau saling tolong-menolong," katanya.

Untuk kegiatan yang dilakukan karena ada kematian disebut dengan "majemukan", yaitu antarpemeluk agama saling membantu dengan mengantarkan beras dan berbagai kebutuhan dapur lainnya.

Ramsudin berharap kerukunan tersebut terus terpupuk dan tidak dikotori dengan konflik. Dalam sejarahnya, katanya, selama ini warga di Angantiga yang jumlah umat Muslimnya sekitar 91 kepala keluarga atau 300 warga itu tidak pernah dapat masalah.

"Selain ikatan sejarah kerukunan, kami dengan warga Hindu ini kan sebetulnya juga punya ikatan darah. Leluhur kami, tiga orang yang membabat hutan di Angantiga ini kan menikah dengan orang Bali sehingga lahirlah kami ini," katanya.

Keberadaan umat Muslim di daerah itu, katanya, terkait dengan sejarah Kerajaan Carangsari di Desa Petang. Kala itu di wilayah Carangsari tidak aman dan Raja Carangsari meminta bantuan tiga orang Bugis yang sakti dan berkelana di Bali, yakni Daeng Mapilih, Haji Saleh, dan Daeng Sarekah.

"Karena ketiga leluhur kami itu berhasil mengamankan wilayah yang rawan, maka ketiganya diberi wilayah di Angantiga ini," katanya.

Makanya,kata dia, sampai sekarang hubungan mereka dengan Puri Carangsari sangat baik.

"Setiap ada kegiatan keagamaan di Carangsari kami terlibat. Kalau ada kegiatan di Angantiga, tokoh puri juga datang ke sini," katanya.(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010