Denpasar (Antara Bali) - Pengadilan Tipikor Denpasar menyidangkan kasus pemerasan Rp1,4 miliar yang dilakukan Bupati Lombok Barat Zaini Arony (Nonaktif) terkait izin pengunaan pemanfaatan tanah (IPPT) tahun 2012 terhadap Putu Gede Djaja selaku investor.

Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Prim Hariadi dengan agenda mendengarkan keterangan para saksi, Selasa, saksi Junaedi mengaku diajak atasannya Rusman Hadi, selaku Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Lombok Barat, untuk bertemu seorang dan mengambil mobil Kijang Inova di Pelabuhan Lembar.

"Saat tiba di Pelabuhan Lombok Barat mobil itu diserahkan oleh sopir dan selanjutnya dibawa ke rumah pak Bupati (terdakwa)," ujar Junaedi selaku Kabag di intansi yang dipimpin Rusman Hadi.

Ia mengatakan saat mobil tiba dikediaman Bupati Lombok Barat, Rusman Hadi langsung langsung bertemu dengan terdakwa (Zaini Arony), namun dirinya mengaku tidak mengetahui percakapan yang dilakukan keduanya karena saat itu saksi mengaku berada di halaman rumah terdakwa.

"Namun, saya hanya mengetahui mobil itu sudah di ganti catnya berwarna kuning," ujarnya.

Saksi lainnya, Mayun yang merupakan karyawan korban (Putu Gede Djaja) juga mengaku mendengar Bupati Lombak Barat meminta mobil dan sopir korban bernama Didik yang langsung menghantarkan ke Pelabuhan Lembar (Lombok Barat).

Ia menjelaskan, saat pengiriman mobil sempat ditelepon Rusman Hadi yang menunggu mobil itu di Pelabuhan Lembar, bahkan saksi juga mengatakan pernah mendengar keluhan korban Putu Djaja terkait jam tangan merek rolex, cicin, uang dan lainnya yang diminta terdakwa.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa korban pada Oktober 2010 berkeinginan berinvestasi tanah seluas 170 hektare dengan kesepakatan harga Rp28 miliar untuk membangun Kawasan Wisata di Desa Buwun Mas, Kabupaten Lombok Barat sekaligus untuk menciptakan lapangan pekerjaan di daerah itu.

Oleh karena untuk membangun kawasan wisata itu korban harus membuat izin pemanfaatan ruang seperti izin prinsip, izin lokasi, dan IPPT. Terdakwa mengajak korban bekerja sama mengajukan izin tersebut dengan menggunakan nama perusahaan PT Kembang Kidul Permai.

Meski demikian, terdakwa justru meminta uang kepada korban yang menjabat Komisaris Utama PT Djaja Business Group pada 2010 hingga 2013 untuk melancarkan perizinan IPPT itu dengan meminta dua unit mobil Toyota Innova senilai Rp295 juta, jam tangan Rolex Rp130 juta.

Selain itu, katanya, terdakwa juga meminta satu cincin mata kucing Rp64 juta, uang tunai dengan total Rp700 juta, dan tanah seluas 29.491 meter persegi di Desa Buwun Mas, Kabupaten Lombok Barat, untuk melancarkan proses perizinan itu. Akibat permintaan terdakwa yang begitu banyak korban merasa tertekan lahir batin.

Oleh sebab itu, terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Pasal 20 Tahun 2001 jo Pasal 421 KUH Pidana jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana.

Kemudian Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Pasal 20 Tahun 2001 jo Pasal 421 KUH Pidana jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Made Surya

Editor : I Made Surya


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015