Kantor Asosiasi Jurnalis Cina di Kota Beijing terasa begitu teduh saat delegasi wartawan Indonesia dari Bali, NTB, dan NTT tiba di lokasi tersebut, akhir pekan lalu.

Sekretaris Asosiasi Jurnalis Cina Zhang Yang dengan penuh senyum menyambut kedatangan delegasi wartawan Indonesia pimpinan I Made Tinggal Karyawan, Kepala Biro Antara Bali, di pintu masuk.

Beberapa wartawan anggota asosiasi tersebut sudah berada di ruang rapat bersama Ketua Asosiasi Fang Xinjian. Secara organisasi, asosiasi tersebut sudah menggalang kerja sama pemberitaan dengan 60 anggota serupa di seluruh dunia, kecuali Indonesia.

"Kerja sama dengan organisasi jurnalis Indonesia sedang dalam penjajakan. Namun, kami sudah membangun kerja sama di bidang media dengan 60 organisasi serupa di seluruh dunia," ujar Xinjian lewat penerjemah Henry Somantri, anggota delegasi dari koran berbahasa Mandirin yang terbit di Denpasar, Bali.

Kunjungan delegasi wartawan Indonesia ke Tiongkok difasilitasi oleh Konjen Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk wilayah Bali Hu Yinquan. Konjen RRT di Bali yang baru didirikan pada tanggal 8 Desember 2014 yang meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Meski usianya masih relatif muda, Yinquan langsung membuat gebrakan dengan mengirim 10 orang delegasi wartawan ke Tiongkok untuk melihat berbagai perkembangan pembangunan di negara tersebut serta kemajuan ekonomi pada sejumlah provinsi, seperti Tianjin, Fujian, dan Hainan.

Ia melihat hubungan Indonesia dan Tiongkok saat ini sudah bertambah mesra dan memasuki babak "keakraban yang lebih erat" jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

Hal ini dilihat dari kunjungan Presiden RI Joko Widodo ke Tiongkok dan kunjungan Presiden Xi Jinping ke Indonesia dengan membawa gagasan pembangunan "tol laut" dan "jalur sutra laut" dalam "satu kawasan dan satu jalur" atau "One Belt One Road".

Lewat semboyan "One Belt One Road", Tiongkok mau melakukan investasi besar-besaran di Indonesia untuk membangun infrastruktur wilayah serta sektor perhubungan laut guna mendukung sebuah kiat besar pembangunan bernama "Jalur Sutra Laut".

Jalur Sutra Laut yang digagas Presiden Xi Jinping itu dengan sebuah harapan besar agar negara-negara yang ada di kawasan tersebut, seperti Indonesia, segera membangun ekonominya untuk membebaskan rakyatnya dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan.

Presiden Xi Jinping telah menunjukkan hal itu pada negaranya sendiri. Cina atau Tiongkok kini menjadi sebuah raksasa ekonomi dunia sehingga mengharapkan negara-negara yang berada di jalur Sutra Laut ikut merasakan denyut kemajuan ekonomi tersebut.

Kota-kota provinsi di Tiongkok, seperti Tianjin, Fujian, Hainan dan Guang Zhou, misalnya, layaknya metropolitan yang jauh beda kemajuannya dengan Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia.

Bangunan-bangunan pencakar langit dengan tata ruang kota yang begitu menawan, membuat kota-kota tersebut tidak jauh beda dengan Beijing sebagai ibu kota negara Tiongkok.

Semua kota memiliki badan perencanaan pembangunan yang kredibel, beda jauh dengan Bappenas atau Bappeda yang ada di Indonesia.

"Intinya adalah transparansi. Semua investor datang melihat apa yang sudah dirancang, kemudian menanamkan investasinya sesuai dengan model perencanaan tersebut. Kalau kita di Indonesia, terkadang perencanaan untuk sebuah daerah, tetapi jatuh di tempat lain dengan seribu macam alasan," komentar Wisnu Wardana dari Bali Travel Newspaper.

Wisnu Wardana tidak terlalu berlebihan dalam menilai hal tersebut karena realita yang terjadi di Indonesia memang demikian. Persoalan lahan dan berbagai macam alasan lainnya sehingga menjadi penyebab lambannya pembangunan bagi daerah-daerah di Indonesia.

Para jurnalis Cina, tidak terlalu pesimistis dalam memandang hal tersebut karena Tiongkok memiliki niat yang besar untuk menanamkan investasinya di Indonesia lewat konsep Jalur Sutra Laut yang digagas Presiden Tiongkok Xi Jinping.

"Kami melihat hubungan Indonesia dan Tiongkok makin membaik dengan sikap saling mengunjungi antara Presiden Jinping dan Presiden Joko Widodo. Ini sebuah pertanda bahwa ke depan, hubungan kedua negara akan makin terus ditingkatkan pada hal-hal yang konkret," ujar Xinjian.

Presiden Jinping ketika berkunjung ke Indonesia pada bulan Oktober 2013, juga melukiskan hubungan kedua negara (Cina-Indonesia) selama ribuan tahun lamanya telah mengalami perjalanan yang penuh liku, seperti lirik lagu "Bengawan Solo" karya Gesang.

"Hubungan kita persis seperti lirik lagu 'Bengawan Solo'. Mata airmu dari Solo, terkurung Gunung Seribu. Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut. Perkembangan hubungan Tiongkok dan Indonesia, sebagaimana Bengawan Solo, pun pernah mengalami perjalanan penuh liku," ucap Presiden Jinping.

Pada zaman dahulu, kata dia, dinasti Han dan kerajaan-kerajaan yang ada di kepulauan Nusantara telah mampu menyingkirkan halangan laut dan membuka pintu gerbang untuk berinteraksi. Hal yang sama pula dilakukan oleh Laksamana Cheng Hoo pada abad ke-15.

Cheng Hoo melakukan tujuh kali perjalanan ke Lautan Selatan dengan singgah di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan sebagainya.

"Berbagai kisah tentang pertukaran persahabatan kedua bangsa itu masihlah banyak disebut orang hingga sekarang," tuturnya.

Di Cina sendiri, kata Xi Jinping, juga terdapat karya sastra klasik berjudul "Impian di Bilik Merah" yang berisi tentang harta kekayaan di Jawa. Di Museum Nasional Indonesia, juga terdapat koleksi keramik Cina.

"Semuanya ini menjadi bukti akan pertukaran persahabatan kedua masyarakat sekaligus membuktikan bahwa kedua negara yang berjauhan jaraknya dapat menjadi sahabat yang karib," ungkap Xi Jinping.

Ia menilai Indonesia merupakan salah satu negara yang paling dini menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Pada tahun 1955, Indonesia dan Tiongkok juga bersama-sama dalam Konferensi Asia Afrika sebagai model hubungan internasional yang baru.

"Jumlah populasi Tiongkok dan Indonesia adalah 1,6 miliar jiwa. Asalkan kita saling bergandeng tangan dan bersatu hati, kita dapat menggabungkan tenaga yang mahabesar dan menciptakan keajaiban baru dalam sejarah perkembangan umat manusia," tutur Xi Jinping.

Para jurnalis Cina juga menyadari akan hal tersebut sehingga hubungan kerja sama antarmedia kedua negara menjadi sesuatu yang sangat menentukan sebagai langkah awal untuk mempererat tali persahabatan kedua negara.

"Kami akan terus berupaya membangun hubungan kerja sama dengan asosiasi jurnalis di Indonesia, seperti yang sudah kami lakukan dengan 60 organisasi atau asosiasi serupa di seluruh dunia. Karena bagaimana pun, media memiliki peran yang sangat strategis dalam mempererat kerja sama antarnegara," ujarnya. (WDY)

Pewarta: Oleh I Made Tinggal Karyawan dan Laurensius Molan

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015