Nusa Dua, Bali (Antara Bali) - Para pakar kesehatan dan peneliti dunia berkumpul dalam konferensi internasional yang digelar Coalition against Typhoid bekerja sama dengan Bio Farma, membahas pemberantasan penyakit tifus dan serangan penyakit "non-typhoid salmonella" di Nusa Dua, Bali.

"Kami ingin berbagi informasi terkini dan mencari kawasan mana yang perlu diteliti untuk mengendalikan penyakit itu agar tidak memberi dampak kepada manusia," kata Direktur Coalition against Typhoid (CaT), Imran Khan, di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Jumat.

Untuk itu sekitar 200 ahli kesehatan dari 44 negara akan mempresentasikan penelitian mereka terkait strategi mengurangi beban penyakit tifus dan penyakit "non-typhoid salmonella" (iNTS).

Dia menjelaskan bahwa penyakit tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, namun sangat umum dijumpai di sejumlah kawasan di antaranya di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Afrika utamanya di kawasan dengan sanitasi dan higinitas yang buruk.

Para pakar kesehatan dari CaT yang berbasis di Sabin Vaccine Institute, Amerika Serikat itu menyebutkan bahwa penyakit tifus menyerang sekitar 21 juta orang di dunia yang menyebabkan kematian 216.000 per tahun dengan kasus terbanyak terjadi pada anak usia di bawah 15 tahun.

Sedangkan penyakit iNTS menyebabkan sekitar 3,4 juta kejadian dan 681.316 kematian per tahun.

Untuk itu para peneliti, pakar kesehatan dan pemangku kebijakan berupaya keras dalam memberantas penyakit tersebut utamanya bagi negara-negara berkembang yang masih belum terbebas dari ancaman penyakit itu.

Imran lebih lanjut menjelaskan bahwa sejak Konferensi Internasional Tifoid terakhir di Dhaka, Bangladesh pada tahun 2013 sebanyak dua Vaksin Konjugat telah mendapatkan lisensi untuk digunakan di India.

Selain itu ada enam vaksin lagi sedang dalam proses tahap uji klinis dan akan mendapatkan lisensi untuk digunakan di masing-masing negara pembuat vaksin pada tahun 2018.

Untuk melanjutkan pencapaian ini, CaT akan bekerja sama dengan sejumlah pihak pada sejumlah tahapan penting berikutnya yakni imunisasi dan komitmen dukungan finansial untuk vaksin tifus itu, mengingat masih banyak negara berkembang yang belum mendapatkan akses penuh terhadap vaksin itu.

Itu artinya masih banyak negara miskin yang menjadi endemik tifus belum memanfaatkan vaksin secara penuh namun lebih mengandalkan obat multi anti-tifus (MDR).

"Masalah utama belum digunakannya vaksin yakni selalu menyangkut pembiayaan. Jika negara itu miskin, mereka tidak mampu membayar vaksin. Tetapi ada cara lain dimana banyak donor internasional mendukung vaksinasi. Jadi bukan berarti negara miskin tidak bisa mendapatkan vaksin, ada beberapa langkah yang harus dilalui yang memungkinkan kami membantu mereka mendapatkan vaksin," ucap Imran. (WDY)

Pewarta: Oleh Dewa Wiguna

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015