Denpasar (Antara Bali) - Bupati Karangasem I Wayan Geredeg diminta untuk hadir sebagai saksi atas terdakwa Kepala Dinas Pekerjaan Umum setempat I Wayan Arnawa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar.
Jaksa Penuntut Umum Hari Sutopo di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis, meminta Geredeg hadir dalam persidangan pada Kamis (15/1) sebagai saksi dalam perkara pengembangan sistem distribusi air minum di empat kecamatan di Kabupaten Karangasem.
"Kami meminta saksi di luar perkara yang ada dalam tanda tangan penolakan sanggahan dari PT Waskita Karya sebagai pemenang pertama dalam proyek tersebut dihadirkan dalam persidangan ini," katanya.
Pihaknya akan berupaya memberikan surat panggilan pada pekan depan.
Dalam persidangan yang menghadirkan mantan Kepala Cabang Waskita Karya Denpasar Itung Prasaja terungkap bahwa PT Waskita Karya sebagai pemenang pertama dalam pengembangan sistem distribusi air minum di empat kecamatan di Kabupaten Karangasem.
Namun, PT Waskita Karya yang mengajukan penawaran lebih rendah dari PT Adhi Karya digugurkan.
Oleh karena itu, pihak PT Waskita Karya mengajukan sanggahan kepada Kadis PU Karangasem dan ditolak. Dalam penolakan sanggahan tersebut ditandatangani oleh terdakwa I Wayan Arnawa yang saat itu masih menjabat sebagai Kadis PU.
Selanjutnya, pihak PT Waskita Karya mengajukan sanggahan kasasi kepada Kadis PU Karangasem dan ditolak kembali oleh Bupati Geredeg.
Atas terungkapnya kasus tersebut, JPU meminta kepada hakim Hasoloan Sianturi untuk menghadirkan orang nomor satu di Kabupaten Karangasem dalam persidangan selanjutnya.
Pengajuan menghadirkan Bupati Karangasem juga disetujui oleh penasihat hukum terdakwa.
Kasus itu berawal pada tahun 2010 bahwa terdakwa menandatangani perjanjian kontrak penyedian barang dan jasa dengan PT Adhi Karya yang diwakili oleh Dono Purwoko selaku pihak kedua tentang pengembangan distribusi air minum sebesar Rp4,26 miliar.
Selanjutnya pada tahun 2009 pada waktu terdakwa ditunjuk sebagai pengguna angaran Pemkab Karangsem dalam distribusi air bersih tersebut tidak mengangkat pejabat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Karena terdakwa tidak mengangkat pejabat PPK, selanjutnya terdakwa menandatangani kontrak pengadaan barang dan jasa pengadaaan air minum dan menetapkan besaran uang muka sebesar Rp5,41 miliar.
Dengan tidak diangkatnya PPK, pelaksanaan kontrak yang dilakukan oleh PT Adhi Karya menjadi tidak terlaksana sebagaimana mestinya.
Lalu terdakwa meminta pembayaran tagihan termin pertama dari PT Adhi Karya sebesar 21,96 persen dengan nilai Rp3,4 miliar. Begitu juga pada waktu terdakwa menerima permintaan pembayaran tagihan termin kedua dari PT Adhi Karya sebesar 65 persen dari Rp9,35 miliar.
Selanjutnya pembayaran termin ketiga sebesar 84 persen dari Rp4,64 miliar.
Selalaku pengguna anggaran terdakwa tidak mengambil langkah-langkah sebagaimana tugas dan tanggung jawab terdakwa untuk melakukan pengujian materiil terhadap surat-surat berupa berita acara pemeriksaaan fisik yang pada termin pertama sampai ketiga merupakan tugas dan kewenangan terdakwa selaku pengguna anggaran dan selanjutnya oleh terdakwa telah diterbitkan surat persetujuan pembayaran.
Dalam kasus tersebut pipa yang digunakan dalam proyek lebih ringan dan tidak sesuai SNI. "Mengingat pipa galvanis yang digunakan ditanam dalam tanah jika ada kebocoran sulit diteksi yang mengakibatkan kurangnya pasokan air ke masyarakat," ujarnya.
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Bali bawha perbuatan terdakwa telah menimbulkan kerugian uang negara sebesar Rp3,7 miliar dengan rincian realisasi pengeluaran uang negara sebesar Rp9,8 miliar, nilai barang yang diterima Rp6,1 miliar sehingga kurangnya Rp3,7 miliar.
Perbuatan terdakwa dalam kurun waktu 2009-2010 telah menguntungkan diri sendiri dan orang lain yaitu PT Adhi Karya telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp3,7 miliar.
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 jo 1 KUHP jo Pasal 64 KUHP. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
Jaksa Penuntut Umum Hari Sutopo di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis, meminta Geredeg hadir dalam persidangan pada Kamis (15/1) sebagai saksi dalam perkara pengembangan sistem distribusi air minum di empat kecamatan di Kabupaten Karangasem.
"Kami meminta saksi di luar perkara yang ada dalam tanda tangan penolakan sanggahan dari PT Waskita Karya sebagai pemenang pertama dalam proyek tersebut dihadirkan dalam persidangan ini," katanya.
Pihaknya akan berupaya memberikan surat panggilan pada pekan depan.
Dalam persidangan yang menghadirkan mantan Kepala Cabang Waskita Karya Denpasar Itung Prasaja terungkap bahwa PT Waskita Karya sebagai pemenang pertama dalam pengembangan sistem distribusi air minum di empat kecamatan di Kabupaten Karangasem.
Namun, PT Waskita Karya yang mengajukan penawaran lebih rendah dari PT Adhi Karya digugurkan.
Oleh karena itu, pihak PT Waskita Karya mengajukan sanggahan kepada Kadis PU Karangasem dan ditolak. Dalam penolakan sanggahan tersebut ditandatangani oleh terdakwa I Wayan Arnawa yang saat itu masih menjabat sebagai Kadis PU.
Selanjutnya, pihak PT Waskita Karya mengajukan sanggahan kasasi kepada Kadis PU Karangasem dan ditolak kembali oleh Bupati Geredeg.
Atas terungkapnya kasus tersebut, JPU meminta kepada hakim Hasoloan Sianturi untuk menghadirkan orang nomor satu di Kabupaten Karangasem dalam persidangan selanjutnya.
Pengajuan menghadirkan Bupati Karangasem juga disetujui oleh penasihat hukum terdakwa.
Kasus itu berawal pada tahun 2010 bahwa terdakwa menandatangani perjanjian kontrak penyedian barang dan jasa dengan PT Adhi Karya yang diwakili oleh Dono Purwoko selaku pihak kedua tentang pengembangan distribusi air minum sebesar Rp4,26 miliar.
Selanjutnya pada tahun 2009 pada waktu terdakwa ditunjuk sebagai pengguna angaran Pemkab Karangsem dalam distribusi air bersih tersebut tidak mengangkat pejabat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Karena terdakwa tidak mengangkat pejabat PPK, selanjutnya terdakwa menandatangani kontrak pengadaan barang dan jasa pengadaaan air minum dan menetapkan besaran uang muka sebesar Rp5,41 miliar.
Dengan tidak diangkatnya PPK, pelaksanaan kontrak yang dilakukan oleh PT Adhi Karya menjadi tidak terlaksana sebagaimana mestinya.
Lalu terdakwa meminta pembayaran tagihan termin pertama dari PT Adhi Karya sebesar 21,96 persen dengan nilai Rp3,4 miliar. Begitu juga pada waktu terdakwa menerima permintaan pembayaran tagihan termin kedua dari PT Adhi Karya sebesar 65 persen dari Rp9,35 miliar.
Selanjutnya pembayaran termin ketiga sebesar 84 persen dari Rp4,64 miliar.
Selalaku pengguna anggaran terdakwa tidak mengambil langkah-langkah sebagaimana tugas dan tanggung jawab terdakwa untuk melakukan pengujian materiil terhadap surat-surat berupa berita acara pemeriksaaan fisik yang pada termin pertama sampai ketiga merupakan tugas dan kewenangan terdakwa selaku pengguna anggaran dan selanjutnya oleh terdakwa telah diterbitkan surat persetujuan pembayaran.
Dalam kasus tersebut pipa yang digunakan dalam proyek lebih ringan dan tidak sesuai SNI. "Mengingat pipa galvanis yang digunakan ditanam dalam tanah jika ada kebocoran sulit diteksi yang mengakibatkan kurangnya pasokan air ke masyarakat," ujarnya.
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Bali bawha perbuatan terdakwa telah menimbulkan kerugian uang negara sebesar Rp3,7 miliar dengan rincian realisasi pengeluaran uang negara sebesar Rp9,8 miliar, nilai barang yang diterima Rp6,1 miliar sehingga kurangnya Rp3,7 miliar.
Perbuatan terdakwa dalam kurun waktu 2009-2010 telah menguntungkan diri sendiri dan orang lain yaitu PT Adhi Karya telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp3,7 miliar.
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 jo 1 KUHP jo Pasal 64 KUHP. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015