Jakarta (Antara Bali) - Pemerintah akan menyempurnakan pemberian sanksi bagi pesawat asing yang melakukan pelanggaran batas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Kita akan kumpul dulu, bicarakan dulu. Kalau sudah sepakat baru kita sampaikan ke presiden. Kita berlakukan, kita sampaikan ke negeri tetangga kalau pelanggaran seperti itu dendanya segini," kata Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu saat mendampingi Presiden Joko Widodo meninjau Pameran Industri Pertahanan Indo Defence Expo dan Forum, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat.

Menurut dia, Presiden Jokowi sudah meminta agar wilayah Indonesia diamankan, termasuk pengamanan alurlaut kepulauan Indonesia (ALKI).

"Jadi istilahnya, sebuah rumah maka pintu-pintunya harus diamankan," katanya.

Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko menegaskan sanksi hukum yang diberikan kepada pesawat-pesawat asing yang melanggar wilayah udara Indonesia tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan negara untuk mengerahkan pesawat tempur milik TNI Angkatan Udara.

"Setidaknya butuh dana sebesar Rp 400 juta untuk pesawat Sukhoi agar bisa terbang selama satu jam. Kemudian setelah berhasil dipaksa mendarat, pesawat-pesawat asing tersebut hanya diharuskan membayar denda sebesar Rp60 juta," kata Panglima TNI saat mengunjungi pameran Indo Defence Expo 2014, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis.

Ia menilai sanksi yang diberikan tak memberikan efek jera. Oleh karena itu, pihaknya meminta agar pemerintah segera melakukan perubahan UU No 1 tahun 2009 soal penerbangan. Bahkan dirinya berharap TNI bisa diberi kewenangan dalam hal penindakan.

"Undang-undangnya harus diperbaiki. Kalau untuk penegakan, biar diserahkan ke TNI. Kami akan tindak tegas itu," kata Moeldoko.

Tidak hanya itu, Moeldoko juga menyarankan setiap pelaku pelanggar wilayah udara Indonesia bisa dihukum lebih berat. "Ya dimasukkan penjara. Itu harus," tutur Moeldoko.

Oleh karena itu, Panglima TNI mengaku siap bertemu dan menyampaikan usulannya terkait perubahan undang-undang itu ke komisi I DPR.

"Begitu saya ada kesempatan, akan saya sampaikan. Ini sangat penting untuk jadi atensi besar," ujar mantan Pangdam Siliwangi tersebut.

TNI Angkatan Udara menginginkan untuk memiliki kewenangan menyidik karena saat ini TNI AU hanya berwenang melakukan penyergapan atau intersepsi terhadap pesawat asing yang masuk tanpa izin.

"TNI AU kalau bisa dijadikan sebagai penyidik. Karena yang mengerti apa yang dikeluarkan negara dalam menggerakkan pesawat tempur adalah TNI AU. Jadi, nanti akan terakumulasi secara hukum yang benar," kata Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia, di sela-sela kunjungan salah satu stand Pameran Industri Pertahanan Indo Defence Expo dan Forum 2014, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (5/11).

TNI AU mempermasalahkan banyaknya biaya negara yang harus dikeluarkan setiap kali melakukan penyergapan pesawat asing. Untuk menggerakkan pesawat tempur Sukhoi saja minimal Rp100 juta dalam satu jam terbang. Sementara denda yang diberikan hanya Rp60 juta.

"Sehingga sangat rugi bagi TNI AU untuk biaya operasi Sukhoi yang besar," kata KSAU.

Dikatakannya, berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, TNI AU berwenang untuk menyidik terkait pertahanan udara. "TNI AU juga bertugas melaksanakan penegakan hukum. Jadi, berdasarkan UU, tugas penegakan hukum adalah TNI AU," katanya.

Kewenangan penyidikan saat ini ada di Kementerian Perhubungan. Sedangkan TNI AU melalui Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) hanya berwenang menangkap pesawat yang melintah wilayah udara Indonesia. (WDY)

Pewarta: Oleh Syaiful Hakim

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014