Denpasar (Antara Bali) - Pelegongan, salah satu tari klasik khas Kuta, Kabupaten Badung, yang ikut memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-32 mengingatkan pada seorang guru dan komposer andal I Wayan Lotring (1898-1983).
"Sosok seniman andal yang mengabdikan hidupnya untuk seni di kawasan Kuta itu menciptakan tabuh palegongan dengan nuansa yang berbeda dengan inspirasi dari alam sekitar maupun oleh perangkat gamelan," kata I Gede Suwidnya, mahasiswa Program Studi Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Minggu.
Ia menambahkan, I Wayan Lotring selama 85 tahun mengabdikan diri dalam bidang seni dengan menjelajahi perdesaan di delapan kabupaten dan satu kota di Bali.
"Masing-masing desa menginterprestasikan dengan gaya masing-masing, dan I Wayan Lotring tahun 1915 untuk pertama kalinya memimpin sekaa gamelan palegongan pentas keluar Bali dengan mementaskan tari Legong Kraton di Keraton Surakarta," ujarnya.
Kuta yang kini menjadi kawasan pariwisata yang berkembang pesat, pada tahun 1970-an gamelan palegongan dikolaborasikan dalam pementasan Ramayana untuk disuguhkan kepada wisatawan mancanegara.
"Dalam perkembangannya di Kuta, kini tidak lagi bisa mendengarkan gaya asli gending Palegongan Kuta yang dimainkan di atas perangkat gamelan aslinya," ujar Suwidnya yang mengamati perkembangan seni klasik tersebut.
Ia menambahkan, tidak banyak orang tahu, bahwa instrumen gamelan palegongan atau semara petangian seperti yang tersurat dalam lontar Aji Gurnita dan Prakempa, sebenarnya cukup jauh berbeda dengan gong kebyar.
Perbedaan tersebut menyangkut daun gamelan (kecuali gender rambatnya) palegongan tidak pernah melebihi enam yang pada umumnya berjumlah lima bilah saja.
Keunikan lain juga dapat ditemukan pada perangkat kuno, misalnya, daun paling kecil yang merupakan nada tinggi diletakkan di sebelah kiri. Keunikan tersebut tidak dimiliki oleh perangkat gamelan gong kebyar semarandhana maupun semara pagulingan.
Susunan alat intrumen gamelan tersebut, kata dia, merupakan ciri khas pengaruh komposisi pada zaman dulu. Pola kotekan asli palegongan terdengar lebih manis dan lebih jelas dibandingkan dengan gong kebyar.
Gamelan palegongan juga memiliki beberapa instrumen yang tidak dimiliki gamelan gong kebyar, seperti gender, rambat, gender barongan, gentorag, gangsa jongkok, dan gumanal, ujar Gede Suwidnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010
"Sosok seniman andal yang mengabdikan hidupnya untuk seni di kawasan Kuta itu menciptakan tabuh palegongan dengan nuansa yang berbeda dengan inspirasi dari alam sekitar maupun oleh perangkat gamelan," kata I Gede Suwidnya, mahasiswa Program Studi Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Minggu.
Ia menambahkan, I Wayan Lotring selama 85 tahun mengabdikan diri dalam bidang seni dengan menjelajahi perdesaan di delapan kabupaten dan satu kota di Bali.
"Masing-masing desa menginterprestasikan dengan gaya masing-masing, dan I Wayan Lotring tahun 1915 untuk pertama kalinya memimpin sekaa gamelan palegongan pentas keluar Bali dengan mementaskan tari Legong Kraton di Keraton Surakarta," ujarnya.
Kuta yang kini menjadi kawasan pariwisata yang berkembang pesat, pada tahun 1970-an gamelan palegongan dikolaborasikan dalam pementasan Ramayana untuk disuguhkan kepada wisatawan mancanegara.
"Dalam perkembangannya di Kuta, kini tidak lagi bisa mendengarkan gaya asli gending Palegongan Kuta yang dimainkan di atas perangkat gamelan aslinya," ujar Suwidnya yang mengamati perkembangan seni klasik tersebut.
Ia menambahkan, tidak banyak orang tahu, bahwa instrumen gamelan palegongan atau semara petangian seperti yang tersurat dalam lontar Aji Gurnita dan Prakempa, sebenarnya cukup jauh berbeda dengan gong kebyar.
Perbedaan tersebut menyangkut daun gamelan (kecuali gender rambatnya) palegongan tidak pernah melebihi enam yang pada umumnya berjumlah lima bilah saja.
Keunikan lain juga dapat ditemukan pada perangkat kuno, misalnya, daun paling kecil yang merupakan nada tinggi diletakkan di sebelah kiri. Keunikan tersebut tidak dimiliki oleh perangkat gamelan gong kebyar semarandhana maupun semara pagulingan.
Susunan alat intrumen gamelan tersebut, kata dia, merupakan ciri khas pengaruh komposisi pada zaman dulu. Pola kotekan asli palegongan terdengar lebih manis dan lebih jelas dibandingkan dengan gong kebyar.
Gamelan palegongan juga memiliki beberapa instrumen yang tidak dimiliki gamelan gong kebyar, seperti gender, rambat, gender barongan, gentorag, gangsa jongkok, dan gumanal, ujar Gede Suwidnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010