Denpasar (Antara Bali) - Karya-karya kanvas I Gusti Nyoman Lempad mencerminkan pembaruan dari seni lukis klasik Bali ke modern, sekaligus pendobrak yang mampu menyuguhkan karya seni dengan corak yang khas.
Sebagian besar representasi karya Lempad adalah hitam putih, hanya memakai pensil, tinta, dengan gradasi hitam putih dan beberapa ada yang berwarna. Warna yang kerap dipakai berkisar merah, putih dan hitam, juga sedikit aksen warna emas.
Lempad meninggal dalam usia 120 tahun pada tahun 1978 itu memiliki kemampuan dalam mengintepretasi cerita-cerita yang dipelajarinya dengan jalan mendengar, bukan membaca, terjembatani dalam kekuatan imajinasi yang luar biasa, tutur I Ketut Budiana, ketua panitia pameran yang menyuguhkan 160 lukisan karya maestro seni lukis Bali I Gusti Nyoman Lempad (alm) beserta keluarganya di Dewangga Hause of Lempad perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar.
Pameran selama sebulan hingga 28 Agustus 2014 itu juga disertai dengan peluncuran buku "Lempad for The World" yang ditulis oleh I Wayan Seriyoga Parta bersama Gusti Putu Oka.
Buku setebal 146 halaman yang dicetak dalam kertas berwarna itu menguraikan perjalan hidup dan aktivitas I Gusti Nyoman Lempad, seorang seniman besar dalam jati diri dan pengabdiannya kepada Bali dan Indonesia pada umumnya.
Karya-karya seni rupa berdasarkan narasi epik pewayangan dan foklore Bali hadir dalam gubahan yang sangat imajinatif. Proses intepretasi tersebut melibatkan pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai filosofis.
Tanpa memahami nilai-nilai dan makna secara mendalam mustahil sosok Lempat yang tidak bisa membaca itu dapat mengembangkan intepretasi visual yang imajinatif terhadap narasi besar tersebut.
Setiap karyanya menghadirkan visi baru pada pola estetika seni lukis tradisional Bali yang lahir dari sebuah kesadaran sang seniman, yakni menyadari kekuatan dan potensi yang ada pada dirinya berupa kemampuan keahlian, kemampuan imajinasi, serta mengintepretasi nilai-nilai filosofis.
Dengan demikian gerak laku kreativitasnya menyimpan nilai-nilai filosofi. Hal teknis yang selama ini dianggap hanya proses biasa, adalah proses penuh makna dalam laku kreatif Lempad, tutur Ketut Budiana, pensiunan guru SMKN 3 Sukawati Kabupaten Gianyar.
Beberapa karya Lempad terutama pada masa-masa tuanya terlihat adanya unsur visual yang unik, yakni lahirnya figur-figur dengan tubuh kurus dan panjang dalam karya.
Tanda tanya besar
Karya-karya seri itulah mengundang sebuah tanda tanya besar, tentang latar belakang apa yang mempengaruhi Lempad sehingga melakukan pemanjangan bentuk dalam sejumlah karyanya.
Jika ditilik dalam beberapa bentuk-bentuk karya seni rupa di Bali hal ini dapat ditemui pada bentuk-bentuk sarana ritual, misalnya pada penggambaran ornamen cili pada lamak yang memperlihatkan pemanjangan tangan cili yang menjuntai hingga mendekati ujung kaki. Atau bisa juga pada karya seni rupa yang lebih personal seperti pada karya-karya patung Ida Bagus Nyana yang dalam beberapa karyanya juga memperlihatkan unsur pemanjangan bentuk, sebagai responnya terhadap karakteristik bentuk bahan (kayu).
Ekpslorasi Nyana sendiri sezaman dengan Lempad dan sama-sama terlibat dalam Pita Maha dan menjadi tokoh kunci bagi perkembangan seni rupa Bali baru di Pulau Dewata.
Sebagai seniman besar Lempad mengekspresikan pemikiran-pemikiran atau nilai-nilai filosofi tertentu dalam karyanya. Salah satu kecenderungan pemanjangan itu dapat dilihat dalam karya yang mengambil tema Arjuna Wiwaha.
Dewi Supraba dilukis dalam postur tubuh yang tidak biasa yaitu kurus tinggi dan sosok naga buas keluar dari alat genitalnya, mengarah Sang Arjuna yang tengah berbaring. Sosok yang dibuat jangkung dan tinggi tersebut memperlihatkan intensitas Lempad menunjukkan bahwa tokoh itu ditonjolkan, atau tokoh sentral (utama).
Dalam kajian bahasa penonjolan figur-figur sudah ada sejak zaman Mesir kuno yang kerap kali menampilkan sosok figur gigantik bersama figur-figur normal. Figur gigantik itu tidak dimaksudkan sebagai penggambaran monster (raksasa), tapi merupakan sosok yang penting baik dewa atau tokoh seperti raja.
Entah ada pertalian seperti apa, hingga menjadikan eksplorasi Lempad memiliki kesamaan dengan konsep representasi yang telah berumur ribuan tahun silam tersebut.
Menurut keterangan almarhum Gusti Made Sumung anak laki-lakinya yang pertama yang dimuat dalam buku setebal 154 halaman itu, hadirnya pemanjangan bentuk tersebut paralel dengan perubahan fisik Lempad yang tidak lagi tegap seperti pada masa mudanya dulu, melainkan kurus, tinggi.
Jika menilik keterangan Sumung itu, maka sebenarnya karya-karya Lempad yang menghadirkan pemanjangan bentuk adalah sebuah gambaran tentang kondisi fisik dirinya. Secara bawah sadar Lempad telah menghadirkan konsep tentang diri dalam karya-karyanya, pada titik ini karya-karya tersebut bisa merepresentasikan aspek psikologis dirinya.
Karakter unik
Sosok Lempad adalah seniman yang tidak pernah surut berkreativitas, sehingga kerap menghadirkan karya-karya dengan karakter visual yang unik. Keunikan itu terlihat dari caranya mengadirkan berbagai figur yang tak biasa dijumpai pada karakter tokoh pewayangan sesuai dengan pakem-pakem pewayangan umumnya.
Hal ini terlihat dari bagian karya Lempad antara lain menonjolkan figur pada bagian wajahnya, padahal hal itu tidak akan jumpai pada pakem penggambaran wajah raksasa dalam pewayangan Bali.
Sekilas penggambaran wajah karakter itu terlihat seperti pengambaran naga dalam versi Tiongkok, atau bahkan seperti penggambaran sosok monster Alien dalam film-film saat ini. Entah dari mana Lempad mendapatkan inspirasi atas penggambaran wajah itu, karena mampu menunjukkan bahwa sosok Lempad memiliki imajinasi yang sangat tinggi.
Sering kali liar dan berani menerobos konvensi-konvensi yang ada dalam kehidupan kolektif kebudayaan Bali, eksplorasinya itu menghadirkan sebuah pencapaian visual yang menjadi ideolek bahkan bahasa ungkap pribadi yang khas pada karya-karya Lempad.
Makhluk-makhluk unik tersebut sebetulnya terlihat sangat dekoratif, namun tetap memiliki karakter. Hal ini menunjukkan kepiawaian Lempad sebagai seorang "sangging" yang memiliki kepekaan artistik dalam mengembangkan karakter ornamentik, seperti kekarangan pada seni ukir Bali hingga melahirkan karakter-karakter baru yang sangat kreatif.
Melalui eksplorasinya itu, sesungguhnya Lempad menyumbang banyak karakter pada ragam seni dekoratif Bali, namun sayang hampir tidak ada sangging generasi berikutnya yang melihat warisan Lempad yang begitu bernilai seni tinggi, tutur Ketut Budiana yang juga seniman besar yang sukses menggelar pameran di tingkat lokal Bali, nasional dan internasional. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Sebagian besar representasi karya Lempad adalah hitam putih, hanya memakai pensil, tinta, dengan gradasi hitam putih dan beberapa ada yang berwarna. Warna yang kerap dipakai berkisar merah, putih dan hitam, juga sedikit aksen warna emas.
Lempad meninggal dalam usia 120 tahun pada tahun 1978 itu memiliki kemampuan dalam mengintepretasi cerita-cerita yang dipelajarinya dengan jalan mendengar, bukan membaca, terjembatani dalam kekuatan imajinasi yang luar biasa, tutur I Ketut Budiana, ketua panitia pameran yang menyuguhkan 160 lukisan karya maestro seni lukis Bali I Gusti Nyoman Lempad (alm) beserta keluarganya di Dewangga Hause of Lempad perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar.
Pameran selama sebulan hingga 28 Agustus 2014 itu juga disertai dengan peluncuran buku "Lempad for The World" yang ditulis oleh I Wayan Seriyoga Parta bersama Gusti Putu Oka.
Buku setebal 146 halaman yang dicetak dalam kertas berwarna itu menguraikan perjalan hidup dan aktivitas I Gusti Nyoman Lempad, seorang seniman besar dalam jati diri dan pengabdiannya kepada Bali dan Indonesia pada umumnya.
Karya-karya seni rupa berdasarkan narasi epik pewayangan dan foklore Bali hadir dalam gubahan yang sangat imajinatif. Proses intepretasi tersebut melibatkan pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai filosofis.
Tanpa memahami nilai-nilai dan makna secara mendalam mustahil sosok Lempat yang tidak bisa membaca itu dapat mengembangkan intepretasi visual yang imajinatif terhadap narasi besar tersebut.
Setiap karyanya menghadirkan visi baru pada pola estetika seni lukis tradisional Bali yang lahir dari sebuah kesadaran sang seniman, yakni menyadari kekuatan dan potensi yang ada pada dirinya berupa kemampuan keahlian, kemampuan imajinasi, serta mengintepretasi nilai-nilai filosofis.
Dengan demikian gerak laku kreativitasnya menyimpan nilai-nilai filosofi. Hal teknis yang selama ini dianggap hanya proses biasa, adalah proses penuh makna dalam laku kreatif Lempad, tutur Ketut Budiana, pensiunan guru SMKN 3 Sukawati Kabupaten Gianyar.
Beberapa karya Lempad terutama pada masa-masa tuanya terlihat adanya unsur visual yang unik, yakni lahirnya figur-figur dengan tubuh kurus dan panjang dalam karya.
Tanda tanya besar
Karya-karya seri itulah mengundang sebuah tanda tanya besar, tentang latar belakang apa yang mempengaruhi Lempad sehingga melakukan pemanjangan bentuk dalam sejumlah karyanya.
Jika ditilik dalam beberapa bentuk-bentuk karya seni rupa di Bali hal ini dapat ditemui pada bentuk-bentuk sarana ritual, misalnya pada penggambaran ornamen cili pada lamak yang memperlihatkan pemanjangan tangan cili yang menjuntai hingga mendekati ujung kaki. Atau bisa juga pada karya seni rupa yang lebih personal seperti pada karya-karya patung Ida Bagus Nyana yang dalam beberapa karyanya juga memperlihatkan unsur pemanjangan bentuk, sebagai responnya terhadap karakteristik bentuk bahan (kayu).
Ekpslorasi Nyana sendiri sezaman dengan Lempad dan sama-sama terlibat dalam Pita Maha dan menjadi tokoh kunci bagi perkembangan seni rupa Bali baru di Pulau Dewata.
Sebagai seniman besar Lempad mengekspresikan pemikiran-pemikiran atau nilai-nilai filosofi tertentu dalam karyanya. Salah satu kecenderungan pemanjangan itu dapat dilihat dalam karya yang mengambil tema Arjuna Wiwaha.
Dewi Supraba dilukis dalam postur tubuh yang tidak biasa yaitu kurus tinggi dan sosok naga buas keluar dari alat genitalnya, mengarah Sang Arjuna yang tengah berbaring. Sosok yang dibuat jangkung dan tinggi tersebut memperlihatkan intensitas Lempad menunjukkan bahwa tokoh itu ditonjolkan, atau tokoh sentral (utama).
Dalam kajian bahasa penonjolan figur-figur sudah ada sejak zaman Mesir kuno yang kerap kali menampilkan sosok figur gigantik bersama figur-figur normal. Figur gigantik itu tidak dimaksudkan sebagai penggambaran monster (raksasa), tapi merupakan sosok yang penting baik dewa atau tokoh seperti raja.
Entah ada pertalian seperti apa, hingga menjadikan eksplorasi Lempad memiliki kesamaan dengan konsep representasi yang telah berumur ribuan tahun silam tersebut.
Menurut keterangan almarhum Gusti Made Sumung anak laki-lakinya yang pertama yang dimuat dalam buku setebal 154 halaman itu, hadirnya pemanjangan bentuk tersebut paralel dengan perubahan fisik Lempad yang tidak lagi tegap seperti pada masa mudanya dulu, melainkan kurus, tinggi.
Jika menilik keterangan Sumung itu, maka sebenarnya karya-karya Lempad yang menghadirkan pemanjangan bentuk adalah sebuah gambaran tentang kondisi fisik dirinya. Secara bawah sadar Lempad telah menghadirkan konsep tentang diri dalam karya-karyanya, pada titik ini karya-karya tersebut bisa merepresentasikan aspek psikologis dirinya.
Karakter unik
Sosok Lempad adalah seniman yang tidak pernah surut berkreativitas, sehingga kerap menghadirkan karya-karya dengan karakter visual yang unik. Keunikan itu terlihat dari caranya mengadirkan berbagai figur yang tak biasa dijumpai pada karakter tokoh pewayangan sesuai dengan pakem-pakem pewayangan umumnya.
Hal ini terlihat dari bagian karya Lempad antara lain menonjolkan figur pada bagian wajahnya, padahal hal itu tidak akan jumpai pada pakem penggambaran wajah raksasa dalam pewayangan Bali.
Sekilas penggambaran wajah karakter itu terlihat seperti pengambaran naga dalam versi Tiongkok, atau bahkan seperti penggambaran sosok monster Alien dalam film-film saat ini. Entah dari mana Lempad mendapatkan inspirasi atas penggambaran wajah itu, karena mampu menunjukkan bahwa sosok Lempad memiliki imajinasi yang sangat tinggi.
Sering kali liar dan berani menerobos konvensi-konvensi yang ada dalam kehidupan kolektif kebudayaan Bali, eksplorasinya itu menghadirkan sebuah pencapaian visual yang menjadi ideolek bahkan bahasa ungkap pribadi yang khas pada karya-karya Lempad.
Makhluk-makhluk unik tersebut sebetulnya terlihat sangat dekoratif, namun tetap memiliki karakter. Hal ini menunjukkan kepiawaian Lempad sebagai seorang "sangging" yang memiliki kepekaan artistik dalam mengembangkan karakter ornamentik, seperti kekarangan pada seni ukir Bali hingga melahirkan karakter-karakter baru yang sangat kreatif.
Melalui eksplorasinya itu, sesungguhnya Lempad menyumbang banyak karakter pada ragam seni dekoratif Bali, namun sayang hampir tidak ada sangging generasi berikutnya yang melihat warisan Lempad yang begitu bernilai seni tinggi, tutur Ketut Budiana yang juga seniman besar yang sukses menggelar pameran di tingkat lokal Bali, nasional dan internasional. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014