Denpasar (Antara Bali) - Pengamat pertanian dari Universitas Udayana (Unud) Denpasar Prof Dr Wayan Windia menilai hilangnya tradisi penanaman padi secara serentak atau "kertamasa" di kawasan subak bisa memengaruhi eksistensi dan keberadaan organisasi pengairan bidang pertanian itu.

"Padahal subak yang diwarisi secara turun-temurun dan menjadi bemper kebudayaan Bali memiliki berbagai kearifan dan kecerdasan lokal," ujar Ketua Pusat Penelitian Subak Unud itu di Denpasar, Selasa.

Menurut dia, identitas subak sebagai organisasi tradisional di Bali memiliki sifat dasar sosio-kultural atau sosio-religius yang unik, unggul, dan kaya kearifan lokal.

Kearifan lokal dengan berbagai kecerdasan yang dimiliki, merupakan bagian dari kebudayaan Bali yang selama ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan dalam dan luar negeri berkunjung ke Pulau Dewata.

Prof Windia menjelaskan bahwa kearifan lokal dalam organisasi subak memperoleh keunikan lokal berbasis konsepsi Tri Hita Karana yakni hubungan yang harmonis dan serasi sesama umat manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Selain itu juga mendapat apresiasi unirversal terkait dengan kandungan filosofi dan esensi kearifan lokal adalah komitmen yang tinggi terhadap kelestarian alam, rasa relegius dan konstruksi penalaran yang berempati pada persembahan, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan untuk jagadhita secara berkelanjutan.

Windia menambahkan bahwa dalam rentangan panjang kebudayaan agraris, organisasi subak yang diperkirakan telah berkembang sekitar 10 Abad (sejak abad XI) telah membangun jaringan struktural dan fungsional yang kokoh.

Kearifan lokal subak terhadap anggota petani telah menembus lintas wilayah, lintas sektor dan lintas generasi, sehingga telah eksis di tengah hiruk-pikuk keluasan dampak sekuler, modernisasi dan globalisasi. (ADT)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Nyoman Aditya T I


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014