Kuta (Antara Bali) - Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mempertemukan para pelaku bisnis pengolahan ikan patin di antaranya produsen, distributor dan konsumen untuk menekan impor ikan tersebut.
"Hampir semua bergantung pada impor padahal kita tidak kekurangan dalam pemenuhan patin. Kami berharap kita bersatu padu dalam mengembangan ikan patin untuk menyejahterakan masyarakat," kata Direktur Pemasaran Dalam Negeri Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sadullah Muhdi dalam Temu Bisnis Pengolahan Ikan Patin di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Jumat.
Menurut dia, selama ini sebagian besar sektor bisnis yang bergerak dalam pengolahan ikan tawar itu mendatangkan patin dari Vietnam dalam bentuk filet atau dikenal dengan "dori".
Dia menjelaskan pada 2010 jumlah impor dori dari Vietnam mencapai 6.000 ton filet.
Untuk itu pihaknya ingin mengembangkan ikan patin sehingga saat ini hampir 70 persen kebutuhan ikan yang dikenal dengan "catfish" tersebut telah terpenuhi dari dalam negeri.
Data dari Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa target produksi 2012-2014 berturut-turut mencapai 651 ribu ton, 1.107 ribu ton dan 1.883 ribu ton atau dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 70 persen per tahun.
Sebagian besar budidaya ikan patin tersebar di Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Jawa Barat, DKI Jakarta dan sejumlah daerah di Pulau Kalimantan.
"Kami ingin fokuskan ikan patin, terutama ke depan, dunia dan Indonesia akan sangat bergantung pada perikanan budidaya," ucapnya kepada para peserta.
Selain itu ikan dengan tekstur lembut itu dari segi pemanfaatan lebih banyak dengan filet.
Dengan potensi yang besar tersebut pihaknya ingin pelaku bisnis ikan patin menggunakan produk dalam negeri dan perlahan-lahan meminimalkan impor.
Terlebih menjelang pasar bebas ASEAN dimana salah satunya barang dan jasa dari negara-negara tersebut akan masuk secara bebas di Indonesia.
Temu bisnis tersebut juga dihadiri kalangan akademisi, rumah sakit dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Hampir semua bergantung pada impor padahal kita tidak kekurangan dalam pemenuhan patin. Kami berharap kita bersatu padu dalam mengembangan ikan patin untuk menyejahterakan masyarakat," kata Direktur Pemasaran Dalam Negeri Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sadullah Muhdi dalam Temu Bisnis Pengolahan Ikan Patin di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Jumat.
Menurut dia, selama ini sebagian besar sektor bisnis yang bergerak dalam pengolahan ikan tawar itu mendatangkan patin dari Vietnam dalam bentuk filet atau dikenal dengan "dori".
Dia menjelaskan pada 2010 jumlah impor dori dari Vietnam mencapai 6.000 ton filet.
Untuk itu pihaknya ingin mengembangkan ikan patin sehingga saat ini hampir 70 persen kebutuhan ikan yang dikenal dengan "catfish" tersebut telah terpenuhi dari dalam negeri.
Data dari Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa target produksi 2012-2014 berturut-turut mencapai 651 ribu ton, 1.107 ribu ton dan 1.883 ribu ton atau dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 70 persen per tahun.
Sebagian besar budidaya ikan patin tersebar di Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Jawa Barat, DKI Jakarta dan sejumlah daerah di Pulau Kalimantan.
"Kami ingin fokuskan ikan patin, terutama ke depan, dunia dan Indonesia akan sangat bergantung pada perikanan budidaya," ucapnya kepada para peserta.
Selain itu ikan dengan tekstur lembut itu dari segi pemanfaatan lebih banyak dengan filet.
Dengan potensi yang besar tersebut pihaknya ingin pelaku bisnis ikan patin menggunakan produk dalam negeri dan perlahan-lahan meminimalkan impor.
Terlebih menjelang pasar bebas ASEAN dimana salah satunya barang dan jasa dari negara-negara tersebut akan masuk secara bebas di Indonesia.
Temu bisnis tersebut juga dihadiri kalangan akademisi, rumah sakit dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014