Denpasar (Antara Bali) - Guru Besar Universitas Udayana, Prof. Dr. Wayan Windia menilai, sejumlah organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Bali yang mengembangkan usaha ekonomi produktif kini mengalami perkembangan yang cukup pesat.
"Sejumlah subak berawal dari memanfaatkan program dana bantuan langsung kepada masyarakat (BLM) dan pendampingan secara terus-menerus dari pihak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Denpasar kini telah membuahkan hasil," kata Prof Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Unud di Denpasar, Bali, Minggu.
Ia mengatakan, Subak Guama di daerah gudang beras Kabupaten Tabanan misalnya telah berkembang sebagai potensi ekonomi yang sangat maju.
Demikian pula Subak Wangaya Betan juga di Kabupaten Tabanan telah mampu mengembangkan bisnis beras organik, sekaligus memenuhi kebutuhan beras organik bagi masyarakat Bali maupun Jawa Timur.
Windia menunjukkan hasil penelitian salah seorang mahasiswanya Sumiyati (2011) membuktikan pula bahwa subak sejatinya sangat tepat untuk pengembangan agroekowisata. Penelitian yang dilaksanakan di Subak Anggabaya, dekat kawasan perkotaan Denpasar dan dan Subak Lodtunduh di perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, bahwa dengan pengembangan subak sebagai kawasan agroekowisata diharapkan akan dapat meningkatkan pendapatan petani dan subak bersangkutan.
Windia menjelaskan, dengan adanya kegiatan ekonomi di kawasan subak, petani subak bersangkutan tidak lagi dibebani biaya untuk melaksanakan kegiatan ritual dalam kawasan subak tersebut.
Sementara, pengembangan subak sebagai kawasan desa budaya di Desa Kesiman Kertalangu, kota Denpasar, juga telah membuktikan bahwa sistem subak dapat dikembangkan sebagai usaha bisnis, bekerja sama dengan pihak investor.
Dengan dikembangkannya sistem subak sebagai kawasan usaha bisnis, maka alih fungsi lahan sawah di Bali, akan dapat lebih dikendalikan.
Subak yang telah mengembangkan dirinya dengan usaha bisnis, telah muncul berbagai kesepakatan di kalangan anggota subak melalui peraturan yang tidak tertulis (pararem), bahwa petani bersepakatan tidak menjual sawahnya, kalaupun terpaksa sawah tersebut harus tetap untuk kepentingan pertanian.
Dengan demikian petani telah bersepakat untuk tidak menjual sawah jika peruntukannya untuk kepentingan non pertanian, tutur Prof Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Sejumlah subak berawal dari memanfaatkan program dana bantuan langsung kepada masyarakat (BLM) dan pendampingan secara terus-menerus dari pihak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Denpasar kini telah membuahkan hasil," kata Prof Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Unud di Denpasar, Bali, Minggu.
Ia mengatakan, Subak Guama di daerah gudang beras Kabupaten Tabanan misalnya telah berkembang sebagai potensi ekonomi yang sangat maju.
Demikian pula Subak Wangaya Betan juga di Kabupaten Tabanan telah mampu mengembangkan bisnis beras organik, sekaligus memenuhi kebutuhan beras organik bagi masyarakat Bali maupun Jawa Timur.
Windia menunjukkan hasil penelitian salah seorang mahasiswanya Sumiyati (2011) membuktikan pula bahwa subak sejatinya sangat tepat untuk pengembangan agroekowisata. Penelitian yang dilaksanakan di Subak Anggabaya, dekat kawasan perkotaan Denpasar dan dan Subak Lodtunduh di perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, bahwa dengan pengembangan subak sebagai kawasan agroekowisata diharapkan akan dapat meningkatkan pendapatan petani dan subak bersangkutan.
Windia menjelaskan, dengan adanya kegiatan ekonomi di kawasan subak, petani subak bersangkutan tidak lagi dibebani biaya untuk melaksanakan kegiatan ritual dalam kawasan subak tersebut.
Sementara, pengembangan subak sebagai kawasan desa budaya di Desa Kesiman Kertalangu, kota Denpasar, juga telah membuktikan bahwa sistem subak dapat dikembangkan sebagai usaha bisnis, bekerja sama dengan pihak investor.
Dengan dikembangkannya sistem subak sebagai kawasan usaha bisnis, maka alih fungsi lahan sawah di Bali, akan dapat lebih dikendalikan.
Subak yang telah mengembangkan dirinya dengan usaha bisnis, telah muncul berbagai kesepakatan di kalangan anggota subak melalui peraturan yang tidak tertulis (pararem), bahwa petani bersepakatan tidak menjual sawahnya, kalaupun terpaksa sawah tersebut harus tetap untuk kepentingan pertanian.
Dengan demikian petani telah bersepakat untuk tidak menjual sawah jika peruntukannya untuk kepentingan non pertanian, tutur Prof Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014