Denpasar (Antara Bali) - Pengamat budaya dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. Ketut Sumadi mengatakan perayaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1936 dapat dimaknai sebagai upaya pengendalian diri menjelang Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2014.

"Dengan pengendalian diri itu kita mampu menenangkan hati sekaligus secara jernih melihat dan menentukan pilihan terhadap calon legislatif yang mampu memperjuangkan aspirasi rakyat lima tahun ke depan," kata Sumadi yang juga Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar, Jumat.

Ia mengatakan dengan hati yang jernih itu sekaligus menumbuhkan kesadaran umat manusia akan arti pentingnya lingkungan yang bebas dari aneka polusi, termasuk akibat limbah CO2 dari kendaraan-kendaraan bermotor.

Sehari pada hari suci Nyepi itu akan mampu mengurangi dampak pemanasan global dan penghematan energi yang besar, di samping makna yang hakiki membangun kesucian diri dan memantapkan kerukunan hidup antarumat beragama.

Sumadi menambahkan, untuk Nyepi yang dirayakan setiap 420 hari sekali itu tidak hanya dipandang sebagai momentum untuk introspeksi diri, namun diaktualisasikan sesuai perkembangan fenomena masa kini.

Hari Suci Nyepi yang jatuh pada hari Senin, 31 Maret 2014 itu, umat Hindu wajib melaksanakan Tapa Brata penyepian meliputi amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan kegiatan), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak mengumbar hawa nafsu maupun tidak mengadakan hiburan/bersenang-senang).

Sumadi juga mewanti-wanti masyarakat Bali untuk lebih meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan menjelang hari Suci Nyepi di tengah masa kampanye calon legislatif lintas partai politik (parpol).

Meningkatkan kewaspadaan itu sangat penting menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, sekaligus mencegah tindak kejahatan yang dilakukan orang luar maupun sesama orang Bali.

Hal itu perlu diwaspadai semua pihak, terutama gesekan dan sentuhan saat mengarak ogoh-ogoh (boneka raksasa) pada malam Pengrupukan, sehari menjelang Nyepi.

Hal itu perlu diwaspadai, mengingat pengalaman tahun-tahun sebelumnya saat arakan pawai ogoh-ogoh pada malam pengrupukan itu sering terjadi sentuhan antarbanjar yang memicu terjadinya bentok massal.

Demikian pula umat lintas agama menghormati pelaksanaan ritual Catur Brata Penyepian sesuai seruan bersama yang ditandatangani pimpinan majelis, majelis agama dan keagamaan di Pulau Dewata.

Upaya itu sekaligus mampu memelihara dan memantapkan kerukunan hidup antarumat beragama yang selama ini di Bali hidup rukun harmonis berdampingan satu sama lainnya, ujar Jero Ketut Sumadi. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014