Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar selama ini selalu mendapat kepercayaan dalam memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB), aktivitas seni tahunan Pulau Dewata yang digelar secara berkesinambungan setiap tahun.

Lembaga pendidikan tinggi seni itu dengan Adi Merdangga, derap pasukan kendang disertai lenggang gagak penabuh dengan debur suara gamelan yang membuncah gemuruh selalu mengawali atraksi budaya PKB.

Selain itu juga tampil pentas perdana dari ratusan sekaa kesenian di delapan kabupaten, satu kota di Bali, di samping partisipasi grup kesenian tingkat nasional dan internasional yang berlangsung selama sebulan penuh.

Dalam menyambut PKB ke-36 yang dijadwalkan dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 14 Juni mendatang, ISI Denpasar kembali menampilkan garapan sendratari klosal Oratorium Rama Sita Prana Bhuwana.

Judul Oratorium Rama Sita Prana Bhuwana tersebut sesuai dengan tema PKB kali ini, yakni "Kertamasa: Dinamika Kehidupan Masyarakat Agraris Menuju Kesejahteraan Semesta," tutur Rektor ISI Denpasar, Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.S.kar., M.Hum.

Garapan sendratari yang melibatkan ratusan dosen dan mahasiswa lembaga pendidikan tinggi seni itu dipersiapkan secara khusus sejak dini, dengan harapan mampu tampil maksimal dapat menarik perhatian masyarakat Bali, nasional maupun internasional.

Latihan sudah mulai dilakukan sejak Senin (24/3), tanpa mengganggu proses belajar mengajar di lembaga pendidikan tinggi seni tersebut. Persiapan dan penggarapannya dipercayakan kepada Pembantu Rektor IV ISI Denpasar, I Ketut Garwa,S.Sn., M.Sn. beserta Dekan Fakultas Seni Pertunjuk (FSP), Suharta.

Sebelum pelatihan diawali dengan pengayaan cerita dan membagi babak per babak cerita. yang mengisahkan tentang Raja Agung Rahwana yang ditakuti para dewa Khayangan menugaskan Wibisana menjaga istrinya Dewi Tari selama melakukan tapa di Gunung Gokarna, dan mengawasi akan kelahiran bayinya.

Bila lahir anak laki-laki pertanda kemasyuran Alengka dan sebaliknya jika lahir anak perempuan pertanda keruntuhan negara yang mereka cintai.

Namun hanya berselang beberapa lama lahirlah putri dari Wibisana (Dewi Sita), karena teringat pesan Rahwana, maka Wibisana menggantikan Dewi Sita dengan Menganada yakni putra yang diciptakan dari gumpalan awan pekat dengan wajah menakutkan.

Dalam kepanikan menyelamatkan Dewi Sita muncullah Dewi Pertiwi dan membawanya ke bumi Matila. Di Kerajaan Matila dengan Raja Prabu Jenaka, merupakan negara yang suburakan hasil pertanian.

Mendengar jeritan bayi maka Raja Jenaka memungut Dewi Sita sebagai putri. Saat Dewi Sita dewasa Raja Jenaka menyelenggarakan sayembara untuk mencari pangeran sebagai pasangan putrinya.

Hari sayembara telah tiba, para raja di belahan Jambuwarsa berdatangan, dan tidak ketinggalan pula Pangeran Ayodya Sri Rama beserta adiknya Laksamana.

Langit dan bumi tidak dapat dipisahkan Rama dan Sita pun bersatu. Upacara pernikahan pun digelar.

Pementasan babak berikutnya Ramaprasu seorang Rsi yang penuh dendam tidak henti-hentinya memburu para ksatria di belahan dunia. Mendengar keberhasilan Rama maka Ramaprasu menghadang rombongan Rama dan menantang Rama mengadu kanuragan.

Namun atas bisikan Wasista, Rama berhasil menaklukkan kesombongan Ramaprasu (Ramabergawa). Bargawa menghormat dan menghargai Rama sebagai titisan Wisnu serta menyarankan untuk menjaga Dewi Sita sebagai perwujudan dewi Bumi pembawa kesuburan.

Pementasan favorit

Kadek Suartaya, S,S.Kar, M.Si, dosen ISI yang biasa bertindak sebagai dalang dalam pementasan sendratari kolosal itu menilai, sendratari sebagai seni pertunjukan favorit masyarakat Pulau Dewata masa kini dikonstruksi dari pengembangan seni tradisi sehingga mampu menyuguhkan hiburan yang bermutu.

Hal itu menjadikan sendratari Bali memiliki posisi dan makna kultural di tengah pergulatan budaya global-lokal. Dinamika perubahan yang terjadi dalam sendratari Bali di tengah globalisasi menjadi latar belakang untuk melakukan sebuah penelitian dengan menempatkan sendratari Bali sebagai objek material dan dinamika perubahannya.

Dinamika perubahan sendratari pertama kali muncul di Bali pada tahun 1962 hingga menjadi seni pertunjukan favorit di PKB yang digagas Prof Dr Ida Bagus Mantra (alm) tahun 1978.

Sendratari dari perspektif kajian budaya secara konseptual artistik adalah dramatari non verbal yang dapat dinikmati tanpa memerlukan kendala bahasa, sebab estetika tari dan musik sebagai media komunikasi utama dalam sendratari bisa berinteraksi secara trans-budaya dan trans-bangsa.

Di tengah era globalisasi, sendratari berpeluang menjadi seni unggulan yang dapat diapresiasi masyarakat global menghadapi gencarnya penetrasi seni budaya pop. Namun dalam perkembangannya di tengah masyarakat Bali sendiri, sendratari menjadi seni pentas lokal yang memiliki dimensi kultural yang signifikan.

Sebagai sebuah kreasi seni, sendratari diterima sebagai seni tontonan yang memiliki prestasi seperti setiap tahun ditampilkan dalam memeriahkan pembukaan PKB. Eksistensi sendratari dalam kehidupan sosial budaya Pulau Dewata dan di era globalisasi mengalami dinamika perubahan.

Perubahan itu dipengaruhi faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap dinamika perubahan sendratari. Sendratari merupakan salah satu bentuk tari yang bercerita pertama kali muncul di Jawa Tengah sekitar tahun 1961.

Setahun kemudian (1962) seni pentas itu menggunakan prinsip estetik drama tari tanpa dialog muncul di Bali. Pada umumnya sendratari Bali berorientasi dari dua epos besar India, Ramayana dan Mahabharata.

Lakon-lakon dari dua karya sastra agung itu disajikan dalam sendratari kolosal sejak tahun 1979 hingga sekarang di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) yang selalu mampu menarik perhatian, karena panggung terbuka Ardha Candra Taman Budaya yang berkapasitas ribuan itu selalu penuh sesak, tutur Kadek Suartaya, kandidat doktor Kajian Budaya Universitas Udayana. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014