Denpasar (Antara Bali) - Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali menetapkan dua hari, 29-30 Maret 2014 bagi desa pekraman (adat) di Bali untuk melaksanakan kegiatan ritual Melasti (Mekiyis) terkait Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1936 yang jatuh pada hari Senin (31/3).
"Masing-masing desa pekraman dapat memilih salah satu dari dua hari baik yang telah ditetapkan untuk melaksanakan ritual melasti sesuai tempat, waktu dan keadaan (desa kala patra)," kata Ketua PHDI Bali Dr. I Gusti Ngurah Sudiana M.Si di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan, kegiatan melasti itu dipimpin dan diatur oleh prajuru (pengurus) desa adat masing-masing, dengan menekankan kelancaran dan keamanan.
Desa adat di delapan kabupaten dan satu kota di Bali, khususnya di daerah pedesaan sudah mulai mengadakan persiapan, mengingat waktunya tinggal dua hari lagi.
Kegiatan ritual Melasti itu bermakna untuk membersihkan "pratime" atau benda yang disucikan di Pura Desa Bale Agung, Puseh dan Pura Dalem di masing-masing desa adat di Pulau Dewata.
Ngurah Sudiana menjelaskan, ritual melasti oleh masing-masing desa adat itu dapat dilakukan ke laut bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai atau ke danau untuk masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan.
Sedangkan masyarakat yang bermukim di tengah-tengah, jauh dari gunung maupun laut dapat melaksanakan ritual ke sumber mata air terdekat di wilayah lingkungan desa adat tersebut.
Majelis tertinggi umat Hindu di Bali itu jauh sebelumnya telah mengeluarkan pedoman tentang pelaksanaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1936 yang jatuh pada hari hari Senin, 31 Maret 2014.
Pedoman tersebut merupakan hasil rapat pengurus harian dan anggota Forum Welaka (kelompok pemikir) PHDI Bali tentang perayaan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1936.
Masing-masing desa adat setelah melaksanak ritual Melasti, menyusul ritual "Bhatara Nyejer" di Pura Desa/Bale Agung di desa adat, dilanjutkan dengan "Tawur Kesanga" atau persembahan kurban pada hari Minggu (30/3), sehari menjelang Nyepi.
"Tawur Kesanga" itu dilakukan secara berjenjang di tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan banjar hingga di rumah tangga masing-masing.
Kegiatan ritual tersebut bermakna meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
"Tawur Kesanga" yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan "Ngerupuk" yang bermakna mengusir roh jahat serta menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala" yakni roh atau makluk yang tidak kelihatan secara kasat mata di lingkungan warga.
Keesokan harinya, Senin (31/3), umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1936 dengan melaksanakan "Catur Brata" penyepian, yakni empat pantangan (larangan) yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi umat Hindu.
Keempat larangan tersebut meliputi tidak melakukan kegiatan/bekerja (Amati Karya), tidak menyalakan lampu atau api (Amati Geni), tidak bepergian (Amati Lelungan) serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura (Amati Lelanguan).
Pelaksanaan "Catur Brata" penyepian diawasi secara ketat oleh petugas keamanan desa adat (pecalang) di bawah koordinasi prajuru atau pengurus banjar setempat, ujar Ngurah Sudiana. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Masing-masing desa pekraman dapat memilih salah satu dari dua hari baik yang telah ditetapkan untuk melaksanakan ritual melasti sesuai tempat, waktu dan keadaan (desa kala patra)," kata Ketua PHDI Bali Dr. I Gusti Ngurah Sudiana M.Si di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan, kegiatan melasti itu dipimpin dan diatur oleh prajuru (pengurus) desa adat masing-masing, dengan menekankan kelancaran dan keamanan.
Desa adat di delapan kabupaten dan satu kota di Bali, khususnya di daerah pedesaan sudah mulai mengadakan persiapan, mengingat waktunya tinggal dua hari lagi.
Kegiatan ritual Melasti itu bermakna untuk membersihkan "pratime" atau benda yang disucikan di Pura Desa Bale Agung, Puseh dan Pura Dalem di masing-masing desa adat di Pulau Dewata.
Ngurah Sudiana menjelaskan, ritual melasti oleh masing-masing desa adat itu dapat dilakukan ke laut bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai atau ke danau untuk masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan.
Sedangkan masyarakat yang bermukim di tengah-tengah, jauh dari gunung maupun laut dapat melaksanakan ritual ke sumber mata air terdekat di wilayah lingkungan desa adat tersebut.
Majelis tertinggi umat Hindu di Bali itu jauh sebelumnya telah mengeluarkan pedoman tentang pelaksanaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1936 yang jatuh pada hari hari Senin, 31 Maret 2014.
Pedoman tersebut merupakan hasil rapat pengurus harian dan anggota Forum Welaka (kelompok pemikir) PHDI Bali tentang perayaan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1936.
Masing-masing desa adat setelah melaksanak ritual Melasti, menyusul ritual "Bhatara Nyejer" di Pura Desa/Bale Agung di desa adat, dilanjutkan dengan "Tawur Kesanga" atau persembahan kurban pada hari Minggu (30/3), sehari menjelang Nyepi.
"Tawur Kesanga" itu dilakukan secara berjenjang di tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan banjar hingga di rumah tangga masing-masing.
Kegiatan ritual tersebut bermakna meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
"Tawur Kesanga" yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan "Ngerupuk" yang bermakna mengusir roh jahat serta menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala" yakni roh atau makluk yang tidak kelihatan secara kasat mata di lingkungan warga.
Keesokan harinya, Senin (31/3), umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1936 dengan melaksanakan "Catur Brata" penyepian, yakni empat pantangan (larangan) yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi umat Hindu.
Keempat larangan tersebut meliputi tidak melakukan kegiatan/bekerja (Amati Karya), tidak menyalakan lampu atau api (Amati Geni), tidak bepergian (Amati Lelungan) serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura (Amati Lelanguan).
Pelaksanaan "Catur Brata" penyepian diawasi secara ketat oleh petugas keamanan desa adat (pecalang) di bawah koordinasi prajuru atau pengurus banjar setempat, ujar Ngurah Sudiana. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014