Denpasar (Antara Bali) - Ketua Pusat Studi Subak Universitas Udayana, Prof Dr. Wayan Windia menilai pemerintah semakin acuh tak acuh terhadap sistem Subak di Bali yang menjadi Warisan Budaya Dunia (WBD).

"Sementara itu di lapangan terjadi friksi yang semakin tajam di internal subak WBD maupun antarsubak dengan lingkungan sosialnya yang lain," kata Windia, guru besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana di Denpasar, Jumat.

Ia mengatakan kondisi demikian itu bisa muncul akibat tidak adanya lembaga yang secara khusus menangani masalah WBD di Bali.

Dalam rencana aksi yang dijanjikan pemerintah, di Provinsi Bali akan ada badan pengelola WBD namun hingga kini belum terbentuk.

"Memang pernah ada, namun umurnya hanya setahun, selanjutnya Pemprov Bali tidak pernah membentuk lembaga itu kembali," ujar Windia yang pernah bertindak sebagai sekretaris tim pengusulan proposal WBD kepada UNESCO.

Untuk itu, katanya, di Bali perlu ada peraturan daerah (Perda) khusus yang bisa menangani masalah WBD atau paling tidak ada peraturan gubernur (Pergub).

Hal itu penting mengingat membentuk forum koordinasi di tingkat lapangan yang bertugas untuk menghilangkan friksi yang kini sedang terjadi antarsemua berbagai kepentingan.

"Jangan berharap UNESCO memberikan dana untuk hal itu. Karena UNESCO urusannya sangat banyak. Dulu, selama 12 tahun, kitalah yang meminta agar subak di Bali (Jatiluwih, dll) diakui sebagai WBD oleh UNESCO," tutur Windia.

UNESCO akhirnya menyetujui, namun sekarang Pemerintahlah yang harus bertanggung jawab untuk menyelamatkan WBD.

Petani hidup di pedesaan yakni di kawasan WBD, kondisinya memprihatinkan memerlukan perhatian menyangkut subsidi dan proteksi, agar mereka ikut memelihara kawasan WBD.

Ia mengingatkan pemerintah jangan hanya mau kedatangan turisnya saja, namun tidak ada sumbangan yang diberikan kepada subak, yang panorama alamnya dijadikan sebagai daya tarik, ujar Prof Windia. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014