Denpasar (Antara Bali) - Guru besar Universitas Udayana, Prof Dr. I Wayan Windia menilai permasalahan dan tantangan yang dihadapi organisasi pengairan tradisional bidang pertanian atau subak di Bali semakin komplek.
"Kompleknya permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan kemunculan UU Nomor 7 Tahun 2004," kata Windia yang juga ketua grup riset sistem subak Universitas Udayana, di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan dalam UU itu muncul pasal tujuh yang memuat tentang hak guna usaha air, di samping pasal tentang hak guna air, yang diperuntukkan bagi petani yang juga sangat memungkinkan adanya hak investor untuk mengelola dan mengusahakan air.
Demikian pula muncul pasal 13 yang memuat tentang eksistensi Dewan Sumberdaya Air. Selanjutnya dalam PP Nomor 20 Tahun 2006 muncul pula Pasal 9 yang memuat tentang Komisi Irigasi.
"Masalahnya adalah apa upaya yang harus dilakukan, agar subak di Bali dapat diberdayakan, sehingga subak dapat berperan secara positif dalam lembaga Dewan Sumberdaya Air dan Komisi Irigasi," ujar dia.
Ia yakin jika hal itu mampu diupayakan, maka subak yang diwarisi masyarakat Bali secara turun temurun akan mampu berperan melakukan dialog yang saling menguntungkan.
Dialog itu penting jika ada pihak swasta yang berniat melakukan investasi dalam pengelolaan air, sesuai amanat UU No. 7 tahun 2004, ujar Windia.
Salah satu kelemahan sistem irigasi yang berlandaskan sosio-kultural (seperti halnya subak) adalah ketidak mampuannya untuk melawan intervensi yang datang dari eksternal.
Di lain pihak, kata dia, kekuatan dari sistem irigasi yang berwatak sosio-kultural, yakni kemampuan untuk mengabsorbsi perkembangan teknologi yang berkembang di sekitarnya.
"Selain itu mampu beradaptasi dengan dinamika budaya di sekitarnya, dan menata organisasinya bersifat fleksibel disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitarnya," kata Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Kompleknya permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan kemunculan UU Nomor 7 Tahun 2004," kata Windia yang juga ketua grup riset sistem subak Universitas Udayana, di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan dalam UU itu muncul pasal tujuh yang memuat tentang hak guna usaha air, di samping pasal tentang hak guna air, yang diperuntukkan bagi petani yang juga sangat memungkinkan adanya hak investor untuk mengelola dan mengusahakan air.
Demikian pula muncul pasal 13 yang memuat tentang eksistensi Dewan Sumberdaya Air. Selanjutnya dalam PP Nomor 20 Tahun 2006 muncul pula Pasal 9 yang memuat tentang Komisi Irigasi.
"Masalahnya adalah apa upaya yang harus dilakukan, agar subak di Bali dapat diberdayakan, sehingga subak dapat berperan secara positif dalam lembaga Dewan Sumberdaya Air dan Komisi Irigasi," ujar dia.
Ia yakin jika hal itu mampu diupayakan, maka subak yang diwarisi masyarakat Bali secara turun temurun akan mampu berperan melakukan dialog yang saling menguntungkan.
Dialog itu penting jika ada pihak swasta yang berniat melakukan investasi dalam pengelolaan air, sesuai amanat UU No. 7 tahun 2004, ujar Windia.
Salah satu kelemahan sistem irigasi yang berlandaskan sosio-kultural (seperti halnya subak) adalah ketidak mampuannya untuk melawan intervensi yang datang dari eksternal.
Di lain pihak, kata dia, kekuatan dari sistem irigasi yang berwatak sosio-kultural, yakni kemampuan untuk mengabsorbsi perkembangan teknologi yang berkembang di sekitarnya.
"Selain itu mampu beradaptasi dengan dinamika budaya di sekitarnya, dan menata organisasinya bersifat fleksibel disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitarnya," kata Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014