Hampir setiap pasar tradisional, baik di kota maupun daerah pedesaan di Bali dalam beberapa hari terakhir ini padat pengunjung, untuk membeli berbagai kebutuhan menyambut Galungan, hari raya besar umat Hindu yang jatuh pada Rabu, 23 Oktober 2013.
Hari raya yang bermakna untuk memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan) itu ditandai dengan melakukan kegiatan ritual mulai dari tempat suci keluarga (merajan) hingga pura-pura yang berskala besar.
Meskipun masyarakat jauh hari sudah melakukan berbagai persiapan, namun kesibukan dan kepadatan pasar hampir terjadi setiap hari, sehingga tidak bisa dihindari harga berbagai kebutuhan itu melonjak drastis.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Denpasar menjelang Galungan itu melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah toko dan pasar mengantisipasi terjadinya kenaikan harga-harga.
"Sidak berbagai produk perdagangan sebenarnya sudah rutin kami lakukan, tidak hanya menjelang Galungan ini. Meskipun tidak ditemukan produk kedaluwarsa, tetap kami imbau para pedagang agar mengisi kartu garansi bahwa produk yang dikemas layak konsumsi," tutur Kepala Bidang Kerja Sama dan Perlindungan Disperindag Denpasar Jarot Agung Iswahyudi.
Ia memimpin tim untuk melakukan sidak dengan melibatkan instansi terkait seperti Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan serta Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Denpasar.
Para pebisnis parsel wajib menjual sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar kesehatan. Petugas dalam kegiatan sidak itu tidak hanya meneliti contoh produk yang akan dikemas menjadi parsel atau yang kebetulan terpajang, tetapi juga membongkar langsung beberapa parsel yang sudah jadi.
Menjelang Galungan berbagai jenis buah impor lebih diminati masyarakat, terutama di Kota Denpasar. Buah impor kini lebih mudah didapat dibandingkan Galungan enam bulan lalu karena pembatasan terhadap pengadaan buah impor sudah sedikit dibuka pemerintah, tutur Humas Pusat Perbelanjaan Tiara Dewata GA Sriani.
Dari segi harga juga sudah menurun dibandingkan beberapa bulan lalu sehingga dapat lebih dijangkau masyarakat. "Masyarakat lebih meminati buah impor untuk keperluan upacara, karena warnanya yang lebih menarik dibandingkan buah lokal," ujarnya.
Meskipun demikian pusat perbelanjaan itu maupun pedagang di pasar-pasar tradisional juga tetap mendatangkan berbagai jenis buah lokal dari sejumlah kabupaten di Bali serta untuk jenis-jenis buah tertentu dari Pulau Jawa.
Buah mangga misalnya didatangkan dari Kabupaten Buleleng, jeruk dari Kintamani, Bangli dan apel dari Malang, Jawa Timur.
Demikian pula janur yang menjadi bahan baku untuk membuat "banten" atau sesajen berupa rangkaian janur kombinasi bunga, kue dan buah, harganya melonjak. Sebagian besar janur yang dijual pedagang di pasar-pasar tradisional di Kota Denpasar dan sekitarnya didatangkan dari daerah-daerah di Jawa Timur.
Upaya mendatangkan janur dan pisang dari provinsi tetangga itu sebenarnya sangat membantu, karena jika hanya mengandalkan janur produksi Bali, kemungkinan harganya tidak terjangkau oleh masyarakat.
Seorang pedagang janur di Pasar Badung Ni Made Nuryati menuturkan, janur untuk ukuran sekepal tangan orang dewasa atau 40 biji mencapai Rp15.000, padahal sebelumnya hanya Rp10.000.
Konsumen sebenarnya lebih banyak membeli janur yang didatangkan dari Jawa karena memiliki postur yang lebih lebar dan halus, namun tidak bisa tahan lama karena dalam empat-lima hari sudah kering.
Sementara janur lokal Bali memiliki postur lebih kecil dengan permukaan yang lebih lembut, namun mampu bertahan lebih lama.
Semua sibuk
Ketua Program Studi Pascasarjana (S-3) Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi menjelaskan, masyarakat Bali, baik yang bermukim di kota maupun perdesaan mulai sibuk melakukan persiapan menyambut Galungan.
Pria dalam satu keluarga sudah memotong bambu dan bagi masyarakat kota membeli bambu dan ambu (enau) untuk hiasan penjor yang nantinya dipajang di depan gerbang masuk halaman rumah keluarga masing-masing.
Namun berbagai jenis peralatan penjor (bambu yang dihias) itu sudah ada yang menjualnya secara lengkap di pasar, sehingga kebanyakan warga membeli modifikasi peralatan penjor yang terbuat dari daun lontar.
Kelengkapan satu set penjor yang termurah Rp130.000 hingga mencapai Rp1,5 juta tergantung ukuran dan aneka jenis hiasannya. Dengan kelengkapan modifikasi itu lebih praktis, karena hanya tinggal mengikat pada bambu sudah rampung, berbeda halnya dengan menggunakan enau atau janur yang memerlukan waktu lebih lama untuk menghiasnya menjadi penjor.
Sementara yang perempuan, baik remaja putri maupun ibu rumah tangga, sejak awal pekan ini telah memanfaatkan waktu luangnya untuk merangkai janur (mejejahitan) guna dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sanghyang Widhi Wasa, saat Hari Raya Galungan maupun Kuningan.
Tidak ketinggalan pula ibu rumah tangga yang bekerja di perkantoran pemerintah, swasta termasuk wanita karier, memanfaatkan waktu senggang mereka pada malam hari untuk membuat "bebantenan" dan perlengkapan upacara keagamaan lainnya.
Wanita Bali memang sejak kecil telah terlatih membuat "banten" berkat orang tua selalu melibatkan anak perempuan dalam membuat sesaji upacara ritual.
Metode mendidik anak belajar sambil bekerja sangat efektif dan menunjukkan hasil gemilang, sehingga wanita Bali tidak pernah berkeluh kesah dalam menunaikan tugas serta kewajibannya.
Dengan keluguan mengarungi kehidupan, wanita Bali sanggup beradaptasi dengan perempuan modern. Mereka juga menjadi objek dan inspirasi bagi seniman lukis dalam menciptakan karya seni di atas kanvas.
Wujud rasa bhakti
Dr Sumadi yang juga Ketua Komunitas Pengkajian Agama, Budaya dan Pariwisata Bali menambahkan, pemasangan penjor di depan gerbang rumah tangga masing-masing di Pulau Dewata merupakan wujud rasa puja dan puji syukur, kegembiraan, dan perayaan atas keberhasilan para dewata menjaga siklus air yang melimpahkan berkah kemakmuran kepada semua makhluk di jagat raya.
Orang Bali pada perayaan Galungan, hari kemenangan atas kebaikan (Dharma) melawan keburukan (Adharma) selain mempersembahkan berbagai sesajen di tempat-tempat suci, juga membuat penjor hingga terpasang berjejer di sepanjang jalan di seluruh pelosok Pulau Dewata.
Penjor tidak hanya dibuat saat Galungan, namun juga pada hari-hari tertentu berkaitan dengan Piodalan (hari suci) di pura atau tempat-tempat suci lainnya.
Penjor yang terbuat dari bambu yang dihias dan dilengkapi dengan Sanggah Penjor (tempat sesajen) merupakan simbol penghormatan dan perwujudan dari Naga Basuki, Naga Anantabhoga, dan Naga Taksaka yang terus menerus menjaga kesempurnaan siklus air di jagat raya.
Dengan persembahan sesajen, para naga yang sesungguhnya perwujudan para dewata itu, diharapkan akan terus menjaga harmoni siklus air, sehingga kemakmuran semua makhluk di jagat raya tetap terjamin.
Jika diperhatikan, bentuk penjor itu memang mirip wujud seekor naga, ekornya menjulang tinggi ke langit dan mulutnya menganga mengunyah makanan.
Dengan terjaganya siklus mata air, semua umat manusia diharapkan berhasil menancapkan "penjor" dalam diri, sehingga semua mahluk di alam semesta ini akan berlimpah makanan, hidup makmur murah pangan, sandang, dan papan.
Akan tetapi menancapkan "penjor" dalam diri memang tidak mudah, terlebih saat ini di tengah arus deras globalisasi yang hampir menenggelamkan manusia pada gaya hidup yang berlebihan serta industrialis dan kapitalis, tutur Ketut Sumadi. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
Hari raya yang bermakna untuk memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan) itu ditandai dengan melakukan kegiatan ritual mulai dari tempat suci keluarga (merajan) hingga pura-pura yang berskala besar.
Meskipun masyarakat jauh hari sudah melakukan berbagai persiapan, namun kesibukan dan kepadatan pasar hampir terjadi setiap hari, sehingga tidak bisa dihindari harga berbagai kebutuhan itu melonjak drastis.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Denpasar menjelang Galungan itu melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah toko dan pasar mengantisipasi terjadinya kenaikan harga-harga.
"Sidak berbagai produk perdagangan sebenarnya sudah rutin kami lakukan, tidak hanya menjelang Galungan ini. Meskipun tidak ditemukan produk kedaluwarsa, tetap kami imbau para pedagang agar mengisi kartu garansi bahwa produk yang dikemas layak konsumsi," tutur Kepala Bidang Kerja Sama dan Perlindungan Disperindag Denpasar Jarot Agung Iswahyudi.
Ia memimpin tim untuk melakukan sidak dengan melibatkan instansi terkait seperti Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan serta Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Denpasar.
Para pebisnis parsel wajib menjual sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar kesehatan. Petugas dalam kegiatan sidak itu tidak hanya meneliti contoh produk yang akan dikemas menjadi parsel atau yang kebetulan terpajang, tetapi juga membongkar langsung beberapa parsel yang sudah jadi.
Menjelang Galungan berbagai jenis buah impor lebih diminati masyarakat, terutama di Kota Denpasar. Buah impor kini lebih mudah didapat dibandingkan Galungan enam bulan lalu karena pembatasan terhadap pengadaan buah impor sudah sedikit dibuka pemerintah, tutur Humas Pusat Perbelanjaan Tiara Dewata GA Sriani.
Dari segi harga juga sudah menurun dibandingkan beberapa bulan lalu sehingga dapat lebih dijangkau masyarakat. "Masyarakat lebih meminati buah impor untuk keperluan upacara, karena warnanya yang lebih menarik dibandingkan buah lokal," ujarnya.
Meskipun demikian pusat perbelanjaan itu maupun pedagang di pasar-pasar tradisional juga tetap mendatangkan berbagai jenis buah lokal dari sejumlah kabupaten di Bali serta untuk jenis-jenis buah tertentu dari Pulau Jawa.
Buah mangga misalnya didatangkan dari Kabupaten Buleleng, jeruk dari Kintamani, Bangli dan apel dari Malang, Jawa Timur.
Demikian pula janur yang menjadi bahan baku untuk membuat "banten" atau sesajen berupa rangkaian janur kombinasi bunga, kue dan buah, harganya melonjak. Sebagian besar janur yang dijual pedagang di pasar-pasar tradisional di Kota Denpasar dan sekitarnya didatangkan dari daerah-daerah di Jawa Timur.
Upaya mendatangkan janur dan pisang dari provinsi tetangga itu sebenarnya sangat membantu, karena jika hanya mengandalkan janur produksi Bali, kemungkinan harganya tidak terjangkau oleh masyarakat.
Seorang pedagang janur di Pasar Badung Ni Made Nuryati menuturkan, janur untuk ukuran sekepal tangan orang dewasa atau 40 biji mencapai Rp15.000, padahal sebelumnya hanya Rp10.000.
Konsumen sebenarnya lebih banyak membeli janur yang didatangkan dari Jawa karena memiliki postur yang lebih lebar dan halus, namun tidak bisa tahan lama karena dalam empat-lima hari sudah kering.
Sementara janur lokal Bali memiliki postur lebih kecil dengan permukaan yang lebih lembut, namun mampu bertahan lebih lama.
Semua sibuk
Ketua Program Studi Pascasarjana (S-3) Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi menjelaskan, masyarakat Bali, baik yang bermukim di kota maupun perdesaan mulai sibuk melakukan persiapan menyambut Galungan.
Pria dalam satu keluarga sudah memotong bambu dan bagi masyarakat kota membeli bambu dan ambu (enau) untuk hiasan penjor yang nantinya dipajang di depan gerbang masuk halaman rumah keluarga masing-masing.
Namun berbagai jenis peralatan penjor (bambu yang dihias) itu sudah ada yang menjualnya secara lengkap di pasar, sehingga kebanyakan warga membeli modifikasi peralatan penjor yang terbuat dari daun lontar.
Kelengkapan satu set penjor yang termurah Rp130.000 hingga mencapai Rp1,5 juta tergantung ukuran dan aneka jenis hiasannya. Dengan kelengkapan modifikasi itu lebih praktis, karena hanya tinggal mengikat pada bambu sudah rampung, berbeda halnya dengan menggunakan enau atau janur yang memerlukan waktu lebih lama untuk menghiasnya menjadi penjor.
Sementara yang perempuan, baik remaja putri maupun ibu rumah tangga, sejak awal pekan ini telah memanfaatkan waktu luangnya untuk merangkai janur (mejejahitan) guna dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sanghyang Widhi Wasa, saat Hari Raya Galungan maupun Kuningan.
Tidak ketinggalan pula ibu rumah tangga yang bekerja di perkantoran pemerintah, swasta termasuk wanita karier, memanfaatkan waktu senggang mereka pada malam hari untuk membuat "bebantenan" dan perlengkapan upacara keagamaan lainnya.
Wanita Bali memang sejak kecil telah terlatih membuat "banten" berkat orang tua selalu melibatkan anak perempuan dalam membuat sesaji upacara ritual.
Metode mendidik anak belajar sambil bekerja sangat efektif dan menunjukkan hasil gemilang, sehingga wanita Bali tidak pernah berkeluh kesah dalam menunaikan tugas serta kewajibannya.
Dengan keluguan mengarungi kehidupan, wanita Bali sanggup beradaptasi dengan perempuan modern. Mereka juga menjadi objek dan inspirasi bagi seniman lukis dalam menciptakan karya seni di atas kanvas.
Wujud rasa bhakti
Dr Sumadi yang juga Ketua Komunitas Pengkajian Agama, Budaya dan Pariwisata Bali menambahkan, pemasangan penjor di depan gerbang rumah tangga masing-masing di Pulau Dewata merupakan wujud rasa puja dan puji syukur, kegembiraan, dan perayaan atas keberhasilan para dewata menjaga siklus air yang melimpahkan berkah kemakmuran kepada semua makhluk di jagat raya.
Orang Bali pada perayaan Galungan, hari kemenangan atas kebaikan (Dharma) melawan keburukan (Adharma) selain mempersembahkan berbagai sesajen di tempat-tempat suci, juga membuat penjor hingga terpasang berjejer di sepanjang jalan di seluruh pelosok Pulau Dewata.
Penjor tidak hanya dibuat saat Galungan, namun juga pada hari-hari tertentu berkaitan dengan Piodalan (hari suci) di pura atau tempat-tempat suci lainnya.
Penjor yang terbuat dari bambu yang dihias dan dilengkapi dengan Sanggah Penjor (tempat sesajen) merupakan simbol penghormatan dan perwujudan dari Naga Basuki, Naga Anantabhoga, dan Naga Taksaka yang terus menerus menjaga kesempurnaan siklus air di jagat raya.
Dengan persembahan sesajen, para naga yang sesungguhnya perwujudan para dewata itu, diharapkan akan terus menjaga harmoni siklus air, sehingga kemakmuran semua makhluk di jagat raya tetap terjamin.
Jika diperhatikan, bentuk penjor itu memang mirip wujud seekor naga, ekornya menjulang tinggi ke langit dan mulutnya menganga mengunyah makanan.
Dengan terjaganya siklus mata air, semua umat manusia diharapkan berhasil menancapkan "penjor" dalam diri, sehingga semua mahluk di alam semesta ini akan berlimpah makanan, hidup makmur murah pangan, sandang, dan papan.
Akan tetapi menancapkan "penjor" dalam diri memang tidak mudah, terlebih saat ini di tengah arus deras globalisasi yang hampir menenggelamkan manusia pada gaya hidup yang berlebihan serta industrialis dan kapitalis, tutur Ketut Sumadi. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013