Di tengah prediksi kekeringan yang akan berdampak pada 500 juta petani kecil pada tahun 2050, dunia harus menghadapi kenyataan bahwa hanya 1 persen air di Bumi ini yang dapat diakses untuk dikonsumsi manusia.

Maka tak berlebihan jika ada ungkapan, "Tanpa air tiada kehidupan, tiada pertumbuhan", no water no life, no growth.

Selain itu, semua paham bahwa air adalah sumber kehidupan, simbol keseimbangan dan keharmonisan,  baik kelangkaan maupun kelebihannya, dapat menimbulkan sumber bencana.

Too much water maupun too little water bisa menjadi masalah bagi seluruh umat manusia di Bumi ini.

Banyak fakta yang membawa pada sebuah kesimpulan bahwa air harus dikelola dengan sangat baik karena setiap tetesnya amat sangat berharga.

Setidaknya pesan itulah yang ingin disampaikan dalam ajang "10th World Water Forum" yang digelar di Bali pada 18-25 Mei 2024.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) World Water Forum ke-10 itu, Presiden Joko widodo (Jokowi) menyerukan kepada para pemimpin dunia dan pemangku kepentingan global untuk memperkuat kolaborasi dalam mengelola sumber daya air secara berkelanjutan.

Bagi bangsa Indonesia sendiri, penghormatan terhadap air sudah menjadi napas keseharian sejak zaman nenek moyang.

Kearifan lokal dalam hal tata kelola air yang bijak telah ada sejak dahulu kala, bahkan, di Bali, misalnya, terlembagakan dalam sistem irigasi Subak yang telah berlangsung sejak abad 11.

Guru Besar Ilmu Pariwisata Universitas Udayana Prof I Gde Pitana mengatakan Subak bukan semata untuk mendukung irigasi lahan atau sawah yang menghasilkan pangan.

Lebih dari itu, Subak merupakan sistem budaya yang menanamkan nilai-nilai spiritual dan budaya yang sangat penting bagi sebuah keberlanjutan hidrologis.

Wajar jika kekuatan budaya dengan nilai-nilai yang tinggi terkait dengan pelestarian air menjadi daya tarik pariwisata yang unik.

Maka Subak pun diperkenalkan dalam World Water Forum sebagai implementasi pembangunan yang mengoordinasikan manajemen air, daratan, dan sumber daya untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial maupun ekonomi, tanpa menyisihkan lingkungan hidup. Hal yang pasti, semua itu dikelola dengan berbasis kearifan lokal.

Dari forum ini memang diharapkan bisa terlahir para pejuang air yang nantinya mendukung perdamaian dan kemakmuran melalui kerja sama inklusif untuk menghadapi tantangan global krisis air yang dihadapi seluruh umat manusia.


"The Next Oil"

Forum Air Dunia ke-10 itu juga sampai pada satu pembahasan penting terkait urgensi kolaborasi global dalam mengelola sumber daya air untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks di masa depan.

Menjadi wajar ketika Presiden Jokowi dalam sambutannya menggambarkan air sebagai the next oil, mengingat peran pentingnya dalam mendukung keberlanjutan ekonomi dan ekologi global.

Bahkan, Bank Dunia memperkirakan, kekurangan air bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen sampai Tahun 2050.

World Water Forum pun menjadi sangat strategis untuk merevitalisasi aksi nyata dan komitmen bersama dalam mewujudkan sumber daya air terintegrasi.

Sebagaimana Indonesia mendorong tiga hal secara konsisten dalam forum tersebut, yakni meningkatkan prinsip solidaritas dan inklusivitas, memberdayakan hydro-diplomacy yang konkret dan inovatif, serta memperkuat kepemimpinan politik dalam kerja sama internasional terkait air.

Indonesia juga mengusulkan empat inisiatif baru dalam forum tersebut, yakni penetapan World Lake Day, pendirian Center of Excellent di Asia Pasifik untuk ketahanan air dan iklim, tata kelola air berkelanjutan di negara pulau kecil, dan penggalangan proyek-proyek air.

Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam memimpin upaya global dalam tata kelola air yang berkelanjutan.

Forum ini sangat strategis karena dihadiri para pemimpin negara, pemimpin organisasi internasional, dan delegasi dari berbagai negara di dunia, sehingga seruan pentingnya kerja sama global dalam mengatasi tantangan pengelolaan sumber daya air di masa depan menjadi sangat signifikan.

Hal itu karena pengelolaan air disadari memerlukan kolaborasi dan upaya bersama secara global.


Pejuang air

Seruan Presiden World Water Council (WWC) Loic Fauchon yang mengajak masyarakat global untuk bersama-sama menyelamatkan Bumi dengan menjadi water warrior atau pejuang air sangat layak untuk diperhitungkan.

Di tengah beragam aktivitas manusia yang menyebabkan krisis air dan krisis iklim, maka dunia harus melahirkan lebih banyak para pejuang air.

Melalui forum yang mengangkat tema "Water for Shared Prosperity" itu, Loic mengajak para pejuang air untuk menyepakati tujuh komitmen utama.

Pertama, mengajak para pejuang air untuk mempromosikan kebijakan keamanan air di seluruh dunia. Pejuang air dunia juga perlu meyakinkan bahwa ketahanan air memerlukan modifikasi dan perubahan perilaku. Pejuang air dunia perlu menyerukan kepada semua negara untuk menuliskan hak atas air dalam konstitusi nasional, undang-undang, dan peraturan daerah mereka.

Lebih lanjut, juga diserukan agar pejuang air ikut serta dalam sebuah koalisi untuk air yang akan dipresentasikan pada konferensi PBB berikutnya.

Koalisi tersebut mencakup komitmen penghapusan hutang atas air untuk negara-negara miskin.

Para pejuang air juga diminta untuk memastikan sebagian besar dana iklim dialokasikan untuk persoalan air, tak terkecuali air limbah.

Pejuang air dunia juga dapat menyerukan aksi-aksi untuk memastikan tata kelola air yang lebih baik.

Tata kelola berdasarkan kerja sama multilateral, yang juga penting untuk memperkuat aturan mediasi sungai, danau, dan daerah aliran sungai.

Pesan dari Bali melalui World Water Forum itu menjadi peringatan agar dunia sebentar saja mengambil jeda untuk bersama menyadari tentang betapa signifikannya air bagi kelangsungan kehidupan.

 

Baca juga: Subak, cermin pembagian air yang berkeadilan di Pulau Dewata

Baca juga: Pemda Bali tonjolkan subak sebagai praktik baik di Forum Air Dunia

Pewarta: Hanni Sofia

Editor : Widodo Suyamto Jusuf


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024