Praktisi Kesehatan Masyarakat, Ngabila Salama menyoroti bila kasus dengue (demam berdarah/DBD) yang saat ini terus meningkat berkaitan erat dengan adanya perubahan cuaca yang semakin ekstrem.
“Saya melihat fenomena kasus dengue biasanya mengalami kenaikan atau Kejadian Luar Biasa (KLB) karena berhubungan dengan cuaca atau iklim,” kata Ngabila melalui pesan singkat di Jakarta, Minggu.
Ngabila menyoroti kasus dengue di Indonesia biasa naik per tiga tahun sekali seperti yang terjadi pada tahun 2016, 2019 dan 2022 lalu. Pada tahun ini yang diprediksinya puncak dengue maju sedikit cepat, disebabkan oleh peralihan cuaca La Nina ke El Nino yang sedikit berbeda.
Menurut dia kondisi seperti saat ini perlu mendapatkan masukan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta entomology (ahli nyamuk), untuk mencari solusi serta bukti konkret terkait adanya pengaruh iklim dan cuaca terhadap pola perilaku nyamuk tertentu yang berubah dan mempengaruhi.
“Kalau iklim selain kelembapan atau relative humidity (RH), juga punya peranan penting untuk naik turunnya kasus. Juga tetesan air hujan menjadi media utama untuk modal perkembangan nyamuk,” katanya.
Sementara terkait dengan indikasi demam yang dicurigai dengue, Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan Kementerian Kesehatan itu menjelaskan bila kasus demam dengan trombositopenia yang diindikasikan terduga demam berdarah perlu dilakukan penapisan infeksi lain.
Terutama adanya infeksi virus lain seperti influenzae, parainfluenzae, adenovirus, rinovirus, campak, rubella, HMFD, cikungunya hingga mumps (gondongan).
“Perlu sampling pemeriksaan panel virus untuk surveilans aktif berbasis laboratorium dan pada kasus trombositopenia diperiksakan minimal NS1 sebagai pemeriksaan sederhana dengue, atau jika memungkinkan pemeriksaan IgM dan IgG dengue meski tidak dicover BPJS,” kata dia.
Ia juga menyampaikan hal yang paling penting untuk mencegah sakit akibat penularan dengue adalah menjadikan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M Plus di sembilan tatanan kota sehat sebagai sebuah rutinitas.
“Jadi tidak hanya di rumah atau pemukiman. Misal di taman, di tanah kosong yang melakukan PSN petugas pertamanan dan kebersihan misalnya atau RT/RW terkait,” ujarnya.
Hal lain yang dapat dijalankan yakni mengadakan surveilans aktif berbasis masyarakat baik itu dari RT, RW, kader kesehatan dan jumantik kepada puskesmas. Menurutnya, sistem rujukan dari puskesmas atau FKTP ke rumah sakit juga perlu ditingkatkan.
“Yang terpenting juga laporan dari rumah sakit untuk kasus dengue penting disampaikan segera agar puskesmas dapat melakukan penyelidikan segera, dan jika dibutuhkan dilakukan fogging. Kemudian jika diperlukan audit medis pada beberapa kasus yang unik dari gejala rutin yang ditemukan dan audit kematian,” ucap Ngabila.
Berdasarkan data kumulatif sebaran kasus dengue Kementerian Kesehatan per 18 Maret 2024, total kasus sudah mencapai angka 35.556 kasus. Dengan lima provinsi yang menyumbang kasus terbanyak adalah Jawa Barat 10.428 kasus, Jawa Timur 3.638 kasus, Sulawesi Tenggara 2.763 kasus, Kalimantan Tengah 2.309 kasus, Kalimantan Selatan 2.068 kasus dan Lampung 1.761 kasus.
Dalam data yang sama, total kasus kematian yang diakibatkan oleh dengue pun sudah mencapai 290 kasus.
Baca juga: Jumlah kasus DBD di Bangli naik 65 persen
Baca juga: Dinkes Bali catat kasus DBD awal 2024 tak sebanyak tahun 2023
Baca juga: Akademisi Unud: Metode Wolbachia aman bagi manusia dan lingkungan
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024