Saksi mahkota sekaligus terdakwa kasus dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) Universitas Udayana kompak menyebutkan pihak yang menyuruh mengunggah draf SPI ke sistem penerimaan mahasiswa baru adalah Prof. I Gede Nyoman Antara.
Dua orang saksi mahkota itu adalah I Made Yusnantara dan I Ketut Budiartawan (berkas penuntutan terpisah).
Mereka dihadirkan jaksa penuntut umum untuk bersaksi bagi terdakwa mantan Rektor Unud Prof. I Nyoman Gede Antara dalam lanjutan sidang kasus dugaan korupsi dana SPI penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri 2018-2022 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar, Bali, Selasa.
Hal itu terungkap saat Ketua Majelis Hakim Agus Akhyudi bertanya kepada kedua saksi mahkota terkait sosok yang memerintahkan mereka untuk mengunggah besaran tarif SPI ke dalam sistem.
Saksi I Made Yusnantara yang menjabat sebagai Kepala Bagian Akademik mengaku pada tahun 2020 mengaku dirinya mendapat draf SPI dari Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Wayan Antara dalam bentuk soft copy.
Baca juga: Mantan rektor Unud: Tak ada dasar hukum dalam pungutan SPI
Draf tersebut kemudian diberikan kepada I Ketut Budiartawan untuk selanjutnya diunggah ke dalam sistem pada satu hari menjelang rapat simulasi penerimaan mahasiswa baru.
Tindakan tersebut dilakukan keduanya karena mendapat perintah dari Ketua Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru yang dijabat oleh Prof. I Nyoman Gede Antara melalui perantaraan Ketua Unit Sumber Daya Informasi Nyoman Putra Sastra (berkas penuntutan terpisah).
"Siapa yang memerintahkan mengubah draf SPI ke sistem?" tanya Ketua Majelis Agus Akhyudi.
"Proses perintah memang kami terima dari ketua USDI (Unit Sumber Daya Informasi)," kata Yusnantara.
Mendengar jawaban tersebut, hakim lantas terus mengejar dengan menanyakan ulang pertanyaan tersebut mengingat sebelumnya saat ditanyai oleh JPU Nengah Astawa, mereka menyebut Prof. Antara yang memberikan perintah untuk memasukkan besaran nominal SPI, meski belum ada keputusan rektor yang saat itu masih dijabat Prof. Anak Agung Raka Sudewi.
Baca juga: Mantan rektor Unud bantah ada pungli ke 401 mahasiswa
"Jadi yang benar siapa yang menyuruh saudara mengubah atau meng-upload draf SPI itu ke sistem?" tanya hakim.
"Ketua," jawab Yusnantara.
"Ketua siapa? Terdakwa ini?" tanya hakim lagi sambil menunjuk ke arah terdakwa Prof. I Gede Nyoman Antara.
"Iya yang mulia," jawab Ketut Budiartawan yang duduk berdampingan dengan Yusnantara.
Hakim juga menanyakan kepada saksi soal alasan mengunggah besaran SPI, padahal belum ada dasar hukum sebelum ada surat keputusan rektor. Selain juga alasan tidak ada validasi atau verifikasi ulang setelah SK Rektor dikeluarkan pada kemudian hari.
Saksi Yusnantara mengaku tidak pernah melakukan validasi sehingga saat diperiksa di Kejati Bali, dirinya menyadari ada perbedaan nominal tarif SPI antara yang diunggah ke sistem penerimaan mahasiswa baru dengan besaran nominal yang dikeluarkan dalam SK Rektor Unud sehingga membuat pungutan tersebut menjadi tidak memiliki dasar hukum.
"Tugas saya hanya memproses registrasi dan verifikasi mahasiswa. Yang diverifikasi adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi setelah mereka dinyatakan lulus, seperti dokumen ijazah, keterangan bebas narkoba, keterangan sehat, dan dokumen lainnya. Saya baru mengetahuinya setelah diperiksa di Kejati Bali," kata Yusnantara.
Terdakwa Prof. I Nyoman Gede Antara yang kemudian diberikan waktu oleh majelis hakim membantah kesaksian dua saksi mahkota tersebut.
Menurut mantan Rektor Unud itu, dirinya yang saat itu menjabat sebagai Wakil Rektor 1 dan Ketua Tim Penerimaan Mahasiswa Baru tidak pernah memberikan perintah untuk mengunggah draf SPI ke dalam sistem.
"Saya tidak pernah melakukan itu yang mulia. Saya sendiri bingung apakah perintah itu untuk meng-upload besaran-besaran SPI ke sistem ataukah pengumuman penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. Kalau pengumuman penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri saya lakukan memang sudah persetujuan dari rektor. Itu memang ada perintah dari rektor," kata Prof. Nyoman Gede Antara.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023
Dua orang saksi mahkota itu adalah I Made Yusnantara dan I Ketut Budiartawan (berkas penuntutan terpisah).
Mereka dihadirkan jaksa penuntut umum untuk bersaksi bagi terdakwa mantan Rektor Unud Prof. I Nyoman Gede Antara dalam lanjutan sidang kasus dugaan korupsi dana SPI penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri 2018-2022 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar, Bali, Selasa.
Hal itu terungkap saat Ketua Majelis Hakim Agus Akhyudi bertanya kepada kedua saksi mahkota terkait sosok yang memerintahkan mereka untuk mengunggah besaran tarif SPI ke dalam sistem.
Saksi I Made Yusnantara yang menjabat sebagai Kepala Bagian Akademik mengaku pada tahun 2020 mengaku dirinya mendapat draf SPI dari Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Wayan Antara dalam bentuk soft copy.
Baca juga: Mantan rektor Unud: Tak ada dasar hukum dalam pungutan SPI
Draf tersebut kemudian diberikan kepada I Ketut Budiartawan untuk selanjutnya diunggah ke dalam sistem pada satu hari menjelang rapat simulasi penerimaan mahasiswa baru.
Tindakan tersebut dilakukan keduanya karena mendapat perintah dari Ketua Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru yang dijabat oleh Prof. I Nyoman Gede Antara melalui perantaraan Ketua Unit Sumber Daya Informasi Nyoman Putra Sastra (berkas penuntutan terpisah).
"Siapa yang memerintahkan mengubah draf SPI ke sistem?" tanya Ketua Majelis Agus Akhyudi.
"Proses perintah memang kami terima dari ketua USDI (Unit Sumber Daya Informasi)," kata Yusnantara.
Mendengar jawaban tersebut, hakim lantas terus mengejar dengan menanyakan ulang pertanyaan tersebut mengingat sebelumnya saat ditanyai oleh JPU Nengah Astawa, mereka menyebut Prof. Antara yang memberikan perintah untuk memasukkan besaran nominal SPI, meski belum ada keputusan rektor yang saat itu masih dijabat Prof. Anak Agung Raka Sudewi.
Baca juga: Mantan rektor Unud bantah ada pungli ke 401 mahasiswa
"Jadi yang benar siapa yang menyuruh saudara mengubah atau meng-upload draf SPI itu ke sistem?" tanya hakim.
"Ketua," jawab Yusnantara.
"Ketua siapa? Terdakwa ini?" tanya hakim lagi sambil menunjuk ke arah terdakwa Prof. I Gede Nyoman Antara.
"Iya yang mulia," jawab Ketut Budiartawan yang duduk berdampingan dengan Yusnantara.
Hakim juga menanyakan kepada saksi soal alasan mengunggah besaran SPI, padahal belum ada dasar hukum sebelum ada surat keputusan rektor. Selain juga alasan tidak ada validasi atau verifikasi ulang setelah SK Rektor dikeluarkan pada kemudian hari.
Saksi Yusnantara mengaku tidak pernah melakukan validasi sehingga saat diperiksa di Kejati Bali, dirinya menyadari ada perbedaan nominal tarif SPI antara yang diunggah ke sistem penerimaan mahasiswa baru dengan besaran nominal yang dikeluarkan dalam SK Rektor Unud sehingga membuat pungutan tersebut menjadi tidak memiliki dasar hukum.
"Tugas saya hanya memproses registrasi dan verifikasi mahasiswa. Yang diverifikasi adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi setelah mereka dinyatakan lulus, seperti dokumen ijazah, keterangan bebas narkoba, keterangan sehat, dan dokumen lainnya. Saya baru mengetahuinya setelah diperiksa di Kejati Bali," kata Yusnantara.
Terdakwa Prof. I Nyoman Gede Antara yang kemudian diberikan waktu oleh majelis hakim membantah kesaksian dua saksi mahkota tersebut.
Menurut mantan Rektor Unud itu, dirinya yang saat itu menjabat sebagai Wakil Rektor 1 dan Ketua Tim Penerimaan Mahasiswa Baru tidak pernah memberikan perintah untuk mengunggah draf SPI ke dalam sistem.
"Saya tidak pernah melakukan itu yang mulia. Saya sendiri bingung apakah perintah itu untuk meng-upload besaran-besaran SPI ke sistem ataukah pengumuman penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. Kalau pengumuman penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri saya lakukan memang sudah persetujuan dari rektor. Itu memang ada perintah dari rektor," kata Prof. Nyoman Gede Antara.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023