Kejaksaan Tinggi Bali mengamankan lima petugas imigrasi yang diduga melakukan pungutan liar terhadap warga negara asing di jalur cepat atau 'fast track' Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Tuban, Bali.
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Bali Dedy Kurniawan di Denpasar, Bali, Rabu, mengatakan lima orang tersebut ditangkap di Bandara Ngurah Rai pada Selasa (14/11) malam sekitar pukul 22.00 Wita.
"Ini bermula dari pengakuan masyarakat mengenai penyalahgunaan fasilitas 'fast track'. 'Fast track'
itu layanan prioritas keimigrasian di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dalam mempermudah pelayanan keimigrasian ke luar negeri bagi kelompok prioritas lanjut usia, anak, ibu hamil, dan pekerja migran," kata Dedy didampingi Kasipenkum Kejati Bali Agus Eka Sabana Putra.
Dedy menjelaskan pelayanan 'fast track' tidak dipungut biaya. Namun, tujuan mulia dari Direktorat Keimigrasian dalam praktiknya disalahgunakan oleh lima oknum tersebut dengan melakukan sejumlah pungutan terhadap warga asing yang menggunakan jalur 'fast track'.
Baca juga: Imigrasi pasang 90 mesin 'autogate' di Bandara Ngurah Rai
Khusus untuk WNA, biaya yang dipatok fantastis dari Rp100.000 hingga Rp250.000 tiap orangnya.
"Memang tidak semua di 'fast track' itu tidak dipungut biaya, namun untuk warga negara asing menggunakan fasilitas 'fast track' itu dipungut biaya antara Rp100.000 sampai Rp250.000 per orang," kata Dedy.
Berdasarkan operasi yang dilakukan Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Bali pada Selasa (14/11) malam di lapangan, Dedy mengakui memang benar terjadi adanya penyalahgunaan 'fast track' itu dengan nominal pungutan mencapai Rp100-Rp200 juta per bulannya.
Uang ratusan juta tersebut masih didalami oleh penyidik, namun ada sejumlah uang yang diamankan saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) berlangsung meskipun Dedy sendiri enggan menyebutnya sebagai OTT.
"Dari jumlah tersebut telah berhasil diamankan uang Rp100 juta yang diduga merupakan bagian keuntungan tidak sah yang diperoleh dari pihak itu melalui praktik-praktik tersebut," katanya.
Dia mengatakan selain merusak citra Indonesia di tengah upaya pemerintah mendorong iklim investasi di tanah air, praktik di Bandara I Gusti Rai itu tentu dapat merusak pelayanan publik terkait prinsip perlakuan dan kesempatan yang adil.
Baca juga: Dirjen Imigrasi: Syahrul Yasin Limpo sudah masuk ke Indonesia
Dedy tidak memberitahukan nama ataupun inisial dari kelima orang yang diamankan tersebut dengan dalil kerahasiaan penyidik. Dirinya hanya mengonfirmasi bahwa lima orang tersebut telah diamankan dan masih dalam tahap penyelidikan terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya termasuk pihak lain yang terlibat dan tenggat waktu pungutan liar tersebut.
"Intinya penyalahgunaan 'fast track' itu ada. Kita akan perdalam. Nanti kita pengumuman lebih lanjut mengenai ini," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Bali Dedy Kurniawan di Denpasar, Bali, Rabu, mengatakan lima orang tersebut ditangkap di Bandara Ngurah Rai pada Selasa (14/11) malam sekitar pukul 22.00 Wita.
"Ini bermula dari pengakuan masyarakat mengenai penyalahgunaan fasilitas 'fast track'. 'Fast track'
itu layanan prioritas keimigrasian di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dalam mempermudah pelayanan keimigrasian ke luar negeri bagi kelompok prioritas lanjut usia, anak, ibu hamil, dan pekerja migran," kata Dedy didampingi Kasipenkum Kejati Bali Agus Eka Sabana Putra.
Dedy menjelaskan pelayanan 'fast track' tidak dipungut biaya. Namun, tujuan mulia dari Direktorat Keimigrasian dalam praktiknya disalahgunakan oleh lima oknum tersebut dengan melakukan sejumlah pungutan terhadap warga asing yang menggunakan jalur 'fast track'.
Baca juga: Imigrasi pasang 90 mesin 'autogate' di Bandara Ngurah Rai
Khusus untuk WNA, biaya yang dipatok fantastis dari Rp100.000 hingga Rp250.000 tiap orangnya.
"Memang tidak semua di 'fast track' itu tidak dipungut biaya, namun untuk warga negara asing menggunakan fasilitas 'fast track' itu dipungut biaya antara Rp100.000 sampai Rp250.000 per orang," kata Dedy.
Berdasarkan operasi yang dilakukan Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Bali pada Selasa (14/11) malam di lapangan, Dedy mengakui memang benar terjadi adanya penyalahgunaan 'fast track' itu dengan nominal pungutan mencapai Rp100-Rp200 juta per bulannya.
Uang ratusan juta tersebut masih didalami oleh penyidik, namun ada sejumlah uang yang diamankan saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) berlangsung meskipun Dedy sendiri enggan menyebutnya sebagai OTT.
"Dari jumlah tersebut telah berhasil diamankan uang Rp100 juta yang diduga merupakan bagian keuntungan tidak sah yang diperoleh dari pihak itu melalui praktik-praktik tersebut," katanya.
Dia mengatakan selain merusak citra Indonesia di tengah upaya pemerintah mendorong iklim investasi di tanah air, praktik di Bandara I Gusti Rai itu tentu dapat merusak pelayanan publik terkait prinsip perlakuan dan kesempatan yang adil.
Baca juga: Dirjen Imigrasi: Syahrul Yasin Limpo sudah masuk ke Indonesia
Dedy tidak memberitahukan nama ataupun inisial dari kelima orang yang diamankan tersebut dengan dalil kerahasiaan penyidik. Dirinya hanya mengonfirmasi bahwa lima orang tersebut telah diamankan dan masih dalam tahap penyelidikan terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya termasuk pihak lain yang terlibat dan tenggat waktu pungutan liar tersebut.
"Intinya penyalahgunaan 'fast track' itu ada. Kita akan perdalam. Nanti kita pengumuman lebih lanjut mengenai ini," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023