Makanan tak hanya menjadi sumber nutrisi, tapi juga menjadi medium penting yang dapat mempererat hubungan antarbangsa dan negara serta untuk diplomasi suatu negara.

Alasan itulah mendasari pelaksanaan Qatar-Indonesia 2023 Years of Culture yang tahun ini diadakan pada 19 Juni hingga 3 Juli 2023.

Sinergi dua negara itu salah satunya mengelaborasi tradisi dan budaya menyangkut makanan khas Tanah Air.

Ada dua koki atau chef kenamaan dari negeri di jazirah Arab itu yang menjadi utusan khusus untuk bertandang di Indonesia, yakni Hassan Al Ibrahim dan Noof Al Marri.

Bagi Hassan, mengunjungi Bali bukanlah yang pertama karena ia juga berprofesi sebagai pilot maskapai penerbangan nasional Qatar.

Selama 20 tahun menjadi pilot dan 15 tahun menekuni kuliner memberi kesempatan bagi pria yang dijuluki “The Captain Chef” itu menjelajahi 80 negara dan 179 kota di dunia.

Namun, menyelami sekelumit kehidupan hingga tradisi dan budaya kuliner Pulau Dewata merupakan perjalanan pertama bagi pilot yang spesifik menjadi kapten pesawat berbadan lebar, Airbus A-350 dan A-330 itu.

Dalam dunia kuliner, ia banyak mengadopsi metode atau ide baru untuk meningkatkan keterampilan dan menghasilkan hidangan khasnya.

Adapun Noof merupakan salah seorang koki bintang dengan spesialisasi makanan lokal di negaranya.

Selain menjadi juru masak kenamaan, ia juga pengusaha restoran “Dessert Rose Cafe” di Museum Nasional Qatar di Doha.

Ia banyak berpartisipasi dalam pameran makanan lokal dan internasional di sejumlah negara, antara lain, China, Turki, Jerman, dan India.

 

Tradisi megibung

Dari sejumlah negara dan kota yang dikunjungi, Bali merupakan tempat yang menyentuh hati Hassan dan Noof karena keunikan tradisi dan budayanya yang tak luntur meski arus wisatawan mancanegara yang ikut membawa budaya asing mengalir deras.

Tradisi dan budaya Bali itu tetap hidup dan dipertahankan hingga saat ini sehingga upaya itu justru menjadi pembeda Pulau Dewata dengan destinasi wisata lain di dunia.

Apalagi semua aktivitas pariwisata lengkap ada di Bali, mulai dari alam, budaya, relaksasi,  hingga kuliner. Semua lengkap ada di satu pulau ini.

Salah satu tradisi kuliner khas Bali adalah megibung atau sederhananya bermakna makan bersama yang pertama kali dikenalkan Puri Agung Karangasem, kerajaan di Bali Timur.

Untuk itu, kedua chef tersebut menyambangi Taman Soekasada Ujung, Kabupaten Karangasem, yang menjadi objek wisata sejarah peninggalan Puri Agung Karangasem.

Mereka disambut hangat pemuka Puri Agung Karangasem, Anak Agung Bagus Partha Wijaya, dan pengelola objek wisata itu, Anak Agung Made Dewandra R Djelantik, yang juga berasal dari keluarga kerajaan tersebut.

Sesaat setelah tiba, Hassan kemudian diberikan ikat kepala ciri khas laki-laki Bali atau udeng dan Noof mengenakan selendang merah.

Di tempat wisata warisan yang dibangun pada 1918 itu, Hasan dan Noof diajak berkeliling di taman seluas 9 hektare itu.

Mereka menuruni puluhan anak tangga dari spot ikonik, Bale Kapal, melihat pemandangan laut, perbukitan, dan kolam-kolam besar di tempat peristirahatan raja Karangasem itu.

Keduanya kemudian menyusuri sejarah kerajaan, kemudian menjajal tradisi megibung di Bale Kambang, sebuah balai di tengah kolam yang dulunya digunakan raja menerima tamu dan sekaligus tempat raja makan.

Menurut Partha Wijaya, tradisi megibung pertama kali dilakukan sekitar tahun 1650 oleh Raja Karangasem I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem bersama para pasukannya.

Tujuannya untuk meningkatkan kebersamaan dan memberikan semangat moral ketika melakukan ekspedisi di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

 

Koki asal Qatar Noof Al Marri (kanan) dan Hassan Al Ibrahim (kedua kanan) menjajal tradisi makan bersama atau “megibung” dipandu GM Taman Soekasada Ujung Anak Agung Made Dewandra R Djelantik (kiri), dan Ketua Komunitas Aku Cinta Masakan Indonesia Santhi Serad (keempat kanan) di Taman Soekasada Ujung, Kabupaten Karangasem, Bali, Rabu (28/6/2023). ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

 

Kaya rempah

Saat megibung, keduanya berbaur dengan anggota Puri dan duduk melingkar dengan posisi laki-laki duduk bersila dan bersimpuh bagi perempuan.

Di tengah lingkaran tersebut tersaji satu wadah yang disebut gibungan yang berisi nasi putih atau kadang nasi itu dicampur dengan potongan kecil ubi atau disebut nasi sela.

Kemudian, lauk pauk ditempatkan di sisi nasi tersebut berupa makanan tradisional khas Bali dengan bumbu berupa rempah-rempah yang dirajang atau dicincang tidak halus.

Menu tradisional itu di antaranya satai lilit, pepes ayam, lawar atau campuran parutan kelapa dan sayur dengan diracik bumbu Bali, dan jukut ares atau makanan berkuah yang terbuat dari batang pohon pisang muda.

Tak lupa, cabai mentah pun disiapkan untuk memberikan ekstra-pedas makanan khas Pulau Dewata.

Megibung biasanya diadakan ketika ada upacara adat dan keagamaan bersama keluarga dan kerabat di antaranya pernikahan, ritual keagamaan di pura dan hajatan lainnya.

Keduanya pun diajarkan etika dalam megibung oleh Dewandra R. Djelantik, di antaranya mereka terlebih dahulu harus mencuci tangan dalam sebuah kobokan, tidak menjatuhkan sisa makanan dari suapan, dan suapan diusahakan tidak menyentuh lidah dan mulut.

 

 

Media pemersatu

Pada dasarnya, Hassan dan Noof tidak begitu canggung mempraktikkan cara makan khas Bali itu.

Pasalnya, ada beberapa kesamaan gaya makan tradisional seperti di Qatar yang juga duduk bersama di lantai dan menggunakan tangan.

Bedanya, mereka melakukannya dengan keluarga. Begitu juga dengan cita rasa makanan Bali.

Hassan mengungkapkan makanan khas Pulau Dewata kaya akan rempah dengan rasa yang pedas dan bahan langsung dari alam.

“Makanan kami pedas juga tapi tidak sepedas di Bali karena ini bahan dasarnya ada jahe, cabai, dan bumbu segar lainnya. Akan tetapi di Qatar, kami masih menggunakan bahan buatan, misalnya cabai dari bubuk,” ujarnya sembari menunjukkan satai lilit adalah hidangan yang paling ia sukai.

Senada dengan Hassan, Noof yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Dewata itu merasa tersentuh dengan pengalaman menyantap makanan tradisional yang menggoyang lidahnya langsung di tempat bersejarah.

“Makanan di Bali banyak menggunakan rempah dan itu enak sekali. Bahkan, saya masih bisa merasakan rasanya,” ucap Noof sembari mencium tangannya.

Hassan dan Noof sepakat kemiripan dalam tradisi makan di Bali dan cita rasa makanannya bisa mempererat hubungan dua bangsa, Indonesia dan Qatar.

Semuanya bisa saling bertukar pengalaman dan berbagi cerita tanpa membedakan satu sama lain.

“Makanan adalah satu aspek yang menyatukan semua orang,” ujar Hassan.

Bali menjadi pamungkas perjalanan kuliner Qatar-Indonesia 2023 Years of Culture setelah sebelumnya dua koki itu menjelajah Jayapura dan Medan.

Cita rasa dan kehangatan yang didapatkan dari Bali melalui makanan dan tradisi masyarakatnya diharapkan menambah pemahaman budaya masing-masing.

Senada dengan Hassan, Ketua Komunitas Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI) Santhi Serad mengungkapkan makanan dan tradisi di dalamnya menjadi media yang bisa mempromosikan suatu negara karena merupakan bagian dari budaya.

Tak hanya itu, makanan menjadi media yang netral untuk menghubungkan masyarakat tanpa pandang bulu.

Ia pun mengajak masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk bangga dengan cita rasa sekaligus melestarikan dan memperkenalkan masakan Tanah Air ke masyarakat internasional.

“Mau itu beda ras, suku, dan politik, kalau sudah duduk dalam satu meja makan, itu bisa menyatukan semua orang,” ucap Santhi Serad.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Cita rasa Bali yang memperkuat hubungan Qatar-Indonesia

Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

Editor : Widodo Suyamto Jusuf


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023