Sudah bertahun-tahun trofi UEFA Champions League (UCL) atau Liga Champions seakan-akan menjadi sesuatu yang "haram" bagi Manchester City sekaligus seperti mustahil disentuh kembali oleh Pep Guardiola.
Sejak mengarsiteki The Citizens pada 2016/2017, Pep selalu kesulitan mendapatkan trofi Si Kuping Besar. Seperti selalu ada kerikil yang menghadang.
Kalah dari AS Monaco dengan agregat 5-3 pada babak 16 besar UCL 2016/2017, kalah dari Liverpool dengan agregat 5-1 pada babak delapan besar UCL 2017/2018, kalah agresivitas gol tandang melawan Tottenham Hotspur dengan skor 4-4 pada babak delapan besar UCL 2018/2019, kalah dari Olympique Lyon dengan skor 3-1 pada babak delapan besar UCL 2019/2020, kalah pada final UCL 2020/2021 melawan Chelsea FC dengan skor 1-0, dan terakhir kalah melawan Real Madrid dengan agregat 6-5 pada babak semifinal UCL 2021/2022.
Namun, tidak ada kerikil untuk musim ini, tidak ada untuk hari Minggu (11/6) WIB kemarin. Tangis itu tetap hadir, tapi sudah tidak sama lagi dengan tangis tahun 2020/2021 saat City menangis karena dikalahkan Chelsea di bawah asuhan pelatih Thomas Tuchel pada final UCL dengan skor 1-0, di Estadio Do Dragao, Portugal.
Melalui gol Kai Havertz, Pep dibuat tidak mampu berkata-kata ketika klub tetangga Manchester United itu gagal di final UCL.
Tepat dua tahun setelah kekalahan menyakitkan itu, City kembali menangis seusai pertandingan final UCL melawan Inter Milan di Stadion Ataturk, Istanbul, Turki, Minggu (11/6) WIB. Bukan tangis kesedihan, tapi kali ini tangis haru; tetes air mata kebahagiaan sebagai ungkapan perasaan senang yang meluap-meluap akibat tercatat dalam sejarah sebagai juara.
Tendangan Rodrigo Hernandez Cascante atau biasa disapa Rodri menjebol gawang Inter pada menit ke-68 dan membawa City memenangkan pertandingan dengan skor 1-0.
Penyelamatan brilian Ederson Moraes dari sundulan Robin Gosens pada menit akhir secara tidak langsung mengakhiri pertandingan dan "priiit...prit... prit" bunyi peluit panjang yang ditiup wasit asal Polandia Szymon Marciniak membuat semua perasaan itu pecah. Para staf City memasuki lapangan dengan riang gembira, sedangkan beberapa pemain tergeletak dan menangis tersedu-sedu.
Saling berpelukan, meluapkan emosi sehabis-habisnya, seakan melepaskan beban yang dipikul berat selama bertahun-tahun akibat selalu gagal mempersembahkan trofi UCL pertama bagi klub yang bermarkas di Etihad Stadium tersebut.
Itu adalah trofi UCL pertama City sejak berdiri 129 tahun yang lalu tepatnya tahun 1894. Trofi ini sekaligus merupakan trofi penyempurna treble winners milik City dan sekaligus menjadi tim kedua di Inggris yang berhasil meraih tiga piala dalam semusim setelah Manchester United era Sir Alex Ferguson pada 1998/1999.
“Kami membuat sejarah, tidak hanya untuk Liga Champions tetapi dengan Treble. Kami membuat sejarah di Inggris dan Eropa dan itu adalah langkah yang kami butuhkan untuk mengangkat City menjadi tim papan atas,” kata Rodri seusai laga final, dilansir dari laman resmi klub, Minggu (11/6).
Pada pengalungan medali, semua pemain yang terlibat dalam kesuksesan menjuarai UCL, satu per satu mencium dan memandang penuh cinta piala prestisius kompetisi antar klub se-Eropa itu.
Saat sang kapten Ilkay Gundogan datang menuju kerumunan pesta sambil membawa piala, diiringi tepuk tangan dan sorak puluhan ribu fans yang datang ke Istanbul serta anthem Liga Champions, piala UCL itu akhirnya sudah tidak menjadi mimpi belaka.
Guardiola kukuhkan diri sebagai pelatih terbaik
Seusai memenangkan UCL, nama Pep Guardiola tercatat dalam sejarah. Pelatih asal Spanyol itu dinobatkan sebagai pelatih pertama yang mampu membawa dua klub berbeda meraih treble winners. Dua klub tersebut adalah Barcelona 2008/2009 dan Manchester City 2022/2023.
Torehan ini membuktikan bahwa Pep adalah tali penyambung yang tepat antara pentingnya memiliki pelatih yang hebat ketika sebuah klub menggelontorkan jor-joran dana untuk membeli pemain berkualitas.
Pep membuktikan itu semua dengan ciamik. Racikannya, taktiknya, pemilihan pemain, hingga manajemen ruang ganti, semuanya pas.
Pep menjawab semua kritikan bahwa sebenarnya tidak mudah membawa sebuah klub untuk menjadi yang terbaik ketika suatu klub tersebut menggelontorkan dana segunung untuk membeli pemain-pemain kelas dunia.
Contoh Paris Saint-Germain, klub asal Prancis itu berkali-kali tetap gagal merengkuh trofi UCL walau sudah keluar berapa dana setiap musimnya. Lalu ada Chelsea, klub yang berjuluk The Blues itu musim ini malah terpuruk sangat parah.
Gelontoran dana dari pemilik baru dengan mendatangkan pemain-pemain top tak bisa membuat trofi langsung ada di genggaman. Malah, dengan itu klub yang bermarkas di Stamford Bridge tersebut terjun bebas dan harus puas finish di Liga Inggris 2022/2023 pada peringkat 12.
Trofi Si Kuping Besar ini menjadi trofi yang lama tidak didapatkan Pep setelah lebih dari satu dekade lamanya, tepatnya pada 2010/2011 saat membawa Barcelona menang 3-1 dari Manchester United pada laga final yang digelar di Wembley Stadium.
Setelah berhasil memenangkan trofi UCL 2022/2023, Pep mengoleksi tiga gelar UCL. Hal ini membuat pelatih asal Spanyol itu selangkah lagi menyamai torehan terbanyak trofi Liga Champions yang dimiliki pelatih Real Madrid saat ini, Carlo Ancelotti.
Selama melatih The Citizens, Pep telah mengoleksi 5x Liga Inggris (2017/2018, 2018/2019, 2020/2021, 2021/2022, 2022/2023), 2x FA Cup (2018/2019, 2022/2023), dan 4x Piala Liga (2017/2018, 2018/2019, 2019/2020, 2020/2021).
Namun, meski banyak meraih trofi bergengsi di Inggris selama tujuh tahun melatih Manchester Biru, Pep tetap mengincar trofi Si Kuping Besar itu untuk membuat tim yang dilatihnya diakui di Eropa.
“Kami telah melakukan beberapa musim yang luar biasa. Liga Premier ke Piala FA ke Piala Carabao, tetapi kami harus memenangkan Liga Champions. Untuk mengenali tim yang pantas untuk diakui,” ucap Pep, Sabtu (3/6).
“Kami harus mengakuinya, tanpa Liga Champions, itu luar biasa dan menyenangkan tetapi kami akan melewatkannya,” tambahnya.
Pada laga final keduanya selama melatih City, Pep menepati kata-katanya. Ia berhasil mewujudkan klub yang dilatihnya sejak 2016/2017 itu diakui di Eropa setelah berhasil memenangkan laga final melawan Inter Milan dengan skor 1-0 di Ataturk Olympic Stadium, Istanbul, Turki.
“Ini adalah hari untuk merayakan, hari untuk bahagia berada di sini,” kata Pep, Jumat (9/6).
Manjurnya formasi 3-2-4-1
Gemilangnya City musim ini tidak terlepas dari perubahan formasi yang disusun Pep dari semula 4-3-3 ke 3-2-4-1.
Cara kerja formasi ini jauh berbeda dari formasi 3-4-3 atau 3-5-2 yang diterapkan Chelsea era Thomas Tuchel yang memakai tiga bek sejajar dan dua wingback yang diisi Reece James dan Ben Chilwell.
Dengan formasi 3-2-4-1, Pep tidak menggunakan wingback. Dua pemain tengah memegang peran kunci dimana salah satunya bisa menjadi bek tambahan ketika mode bertahan. Empat posisi di belakang striker diisi pemain-pemain kreatif yang dua di antaranya bagian sisi kanan dan kiri bertugas untuk menjaga lebar lapangan.
Perubahan formasi ini pertama kali dikenalkan Pep pada awal Januari saat City menang melawan Chelsea pada ajang EPL dengan skor 1-0. Saat itu Pep mencoba Bernardo Silva berduet dengan Rodri. Pep juga pernah memakai jasa pemain muda Rico Lewis untuk menerapkan formasi ini.
Formasi ini tidak langsung berjalan mulus karena masih banyak penyesuaian. Adapun, City pada bulan Januari juga menderita kekalahan dua kali dari Southampton dengan skor 2-0 pada ajang Piala Liga dan dari Manchester United dengan skor 2-1 pada ajang Liga Inggris.
Setelah encoba dan mencoba, pelatih asal Spanyol itu menemukan sosok yang tepat mengisi satu partner Rodri di lini tengah. Pemain itu adalah Stones. Dalam formasi ini, Stones memainkan peran sentral dimana ia menjadi gelandang modern yang bisa menjadi gelandang saat menyerang dan bek saat bertahan.
Perlahan, seiring berjalannya waktu, formasi tersebut menjadi sangat beringas dimana City hanya menelan satu kekalahan sampai laga final UCL sejak kalah dua kali beruntun dari Southampton dan United pada Januari.
Satu kekalahan tersebut diderita City saat menutup pekan terakhir Liga Inggris melawan Brentford dengan skor 1-0. Secara total, sejak bulan Januari City memenangkan 28 pertandingan, lima imbang, dan hanya tiga kali menelan kekalahan.
Keajaiban di Istanbul
Ada sebuah keromantisan tersendiri antara Stadion Ataturk di Istanbul, Turki dengan klub Liga Inggris. Stadion yang rampung dibangun pada 2002 itu sangat berjodoh dengan klub asal Negara Tiga Singa.
Sebelum menjadi saksi Manchester City mengangkat piala Liga Champions untuk pertama kalinya dalam sejarah, Stadion Ataturk juga pernah mempersembahkan kado manis bagi Liverpool saat mereka mencetak comeback luar biasa melawan AC Milan yang sebelumnya tertinggal 0-3 pada babak pertama berubah menjadi 3-3 pada babak kedua.
Saat itu "Miracle of Istanbul’ benar-benar melekat bagi fans Liverpool. Berawal dari pompa semangat Steven Gerrard yang membuka gol pertama melalui sundulan kepala pada awal babak kedua , The Reds Liverpool lalu mampu mencetak dua gol tambahan. Adalah Vladimir Smicer dan Xabi Alonso yang kemudian meneruskan gol kedua dan gol ketiga Liverpool.
Publik Liverpool bersorak-sorai dan puncaknya pada babak adu penalti, tim Merseyside Merah menang 3-2 dari AC Milan setelah tendangan titik putih Andriy Shevchenko ditepis Jerzy Dudek.
Sama-sama berakhir indah, Stadion Ataturk kembali memberikan koneksinya bagi klub asal Inggris yang sekarang jatuh pada klub asuhan Pep Guardiola. Diiringi lagu dari band legendaris Queen berjudul We Are The Champions, penantian panjang City pada ajang Liga Champions usai sudah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023