Akademisi Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja, Bali Ketut Pasek Gunawan mengajak umat Hindu untuk melakukan introspeksi diri pada malam Hari Siwaratri sebagai upaya mewujudkan religiositas masyarakat.
Hari Suci Siwaratri dirayakan oleh umat Hindu di "Pulau Dewata" --sebutan untuk Bali-- dan Indonesia pada Jumat. Pemerintah Provinsi Bali menetapkan Hari Suci Siwaratri sebagai hari libur fakultatif.
"Malam Siwaratri juga adalah momentum untuk merenung secara bersama-sama demi perdamaian dan kerukunan," kata Ketut Pasek Gunawan di Kota Singaraja, Jumat.
Ia mengatakan momentum Hari Suci Siwaratri juga harus dimaknai sebagai suatu usaha membayar karma buruk dengan bersamaan menyimpan karma baik/kebenaran.
"Maka tidak benar adanya bahwa dengan hanya dengan malam Siwaratri saja dapat menghapus dosa tanpa adanya rangkaian seperti yang disebutkan ada pertobatan, ada pemujaan, ada penderitaan yang dirasakan yaitu penderitaan pada "jagra", "mona brata", "upawasa", "japam" dan sedekah," ujar dia.
Baca juga: STAHN Mpu Kuturan Singaraja-Bali adakan ritual "Ngenteg Linggih"
Pasek menambahkan Hari Siwaratri identik dengan cerita dan kisah perjalanan Lubdaka. Dalam proses perjalanan itulah yang mampu menyeimbangkan segala kehinaan dan kesalahan sehingga pantas untuk mencapai alam siwa loka walau sistem karma kesemua tokoh tersebut mendapat imbalan berupa penderitaan dalam proses cerita tersebut.
Adapun proses penderitaan dan pertobatan tersebutlah, katanya, sebagai hukuman dari perbuatan yang kurang baik atau kesalahan juga kehinaan ditebusnya.
Jika dialami atau dijalani penuh dengan siksaan dan penderitaan, katanya, makna tersirat dalam cerita ini adalah bahwa cobaan dan rintangan adalah anugerah untuk menuju jalan rohani.
Pada kitab "purana" dan "kakawin Siwaratri kalpa" semuanya menjelaskan proses seorang tokoh baik itu Lubdaka, I Canda, Rurudruha dan lainnya itu semua proses peyeimbang "papa" juga "dosa". "Papa" artinya kehinaan dan dosa artinya kesalahan. Keduanya ditempatkan berbeda pada Kakawin Siwaratri kalpa sedangkan dalam purana ditempatkan sama.
"Kita semua adalah tokoh Lubdaka itu sendiri dalam mencari tujuan masing-masing, setiap saat kita berburu entah itu kekayaan, wanita, tahta, jabatan, kesenangan, rohani sampai memburu moksa maka akan ada harimau itu, akan memerlukan pohon dan daun bila, memerlukan kegelapan serta mempertimbangkan sikap pengendalian pikiran, ucapan dan tindakan serta kesadaran atau 'jagra'," katanya.
Baca juga: STAHN Mpu Kuturan Singaraja laksanakan KKN lestarikan lingkungan
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023
Hari Suci Siwaratri dirayakan oleh umat Hindu di "Pulau Dewata" --sebutan untuk Bali-- dan Indonesia pada Jumat. Pemerintah Provinsi Bali menetapkan Hari Suci Siwaratri sebagai hari libur fakultatif.
"Malam Siwaratri juga adalah momentum untuk merenung secara bersama-sama demi perdamaian dan kerukunan," kata Ketut Pasek Gunawan di Kota Singaraja, Jumat.
Ia mengatakan momentum Hari Suci Siwaratri juga harus dimaknai sebagai suatu usaha membayar karma buruk dengan bersamaan menyimpan karma baik/kebenaran.
"Maka tidak benar adanya bahwa dengan hanya dengan malam Siwaratri saja dapat menghapus dosa tanpa adanya rangkaian seperti yang disebutkan ada pertobatan, ada pemujaan, ada penderitaan yang dirasakan yaitu penderitaan pada "jagra", "mona brata", "upawasa", "japam" dan sedekah," ujar dia.
Baca juga: STAHN Mpu Kuturan Singaraja-Bali adakan ritual "Ngenteg Linggih"
Pasek menambahkan Hari Siwaratri identik dengan cerita dan kisah perjalanan Lubdaka. Dalam proses perjalanan itulah yang mampu menyeimbangkan segala kehinaan dan kesalahan sehingga pantas untuk mencapai alam siwa loka walau sistem karma kesemua tokoh tersebut mendapat imbalan berupa penderitaan dalam proses cerita tersebut.
Adapun proses penderitaan dan pertobatan tersebutlah, katanya, sebagai hukuman dari perbuatan yang kurang baik atau kesalahan juga kehinaan ditebusnya.
Jika dialami atau dijalani penuh dengan siksaan dan penderitaan, katanya, makna tersirat dalam cerita ini adalah bahwa cobaan dan rintangan adalah anugerah untuk menuju jalan rohani.
Pada kitab "purana" dan "kakawin Siwaratri kalpa" semuanya menjelaskan proses seorang tokoh baik itu Lubdaka, I Canda, Rurudruha dan lainnya itu semua proses peyeimbang "papa" juga "dosa". "Papa" artinya kehinaan dan dosa artinya kesalahan. Keduanya ditempatkan berbeda pada Kakawin Siwaratri kalpa sedangkan dalam purana ditempatkan sama.
"Kita semua adalah tokoh Lubdaka itu sendiri dalam mencari tujuan masing-masing, setiap saat kita berburu entah itu kekayaan, wanita, tahta, jabatan, kesenangan, rohani sampai memburu moksa maka akan ada harimau itu, akan memerlukan pohon dan daun bila, memerlukan kegelapan serta mempertimbangkan sikap pengendalian pikiran, ucapan dan tindakan serta kesadaran atau 'jagra'," katanya.
Baca juga: STAHN Mpu Kuturan Singaraja laksanakan KKN lestarikan lingkungan
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023