Dalam Piala Dunia kali ini, Benua Asia mengirimkan lima wakilnya, termasuk tuan rumah Qatar yang lolos otomatis.
Jika ditambah dengan Australia yang pernah masuk zona Oseania, namun sudah sejak beberapa tahun lalu masuk Asian Football Confederation (AFC), maka jumlahnya menjadi enam tim.
Jumlah sebanyak itu adalah total kedua terbanyak setelah Eropa yang mengirimkan 13 tim.
Namun jika Amerika Selatan (Conmebol) dan Amerika Utara, tengah dan Karibia (Concacaf) disatukan, maka Asia adalah yang ketiga. Conmebol mengirimkan empat wakil, sedangkan Concacaf tiga.
Jika merujuk luas wilayah dan penduduk terhadap total luas wilayah dan penduduk dunia, maka Asia minus Australia mengambil porsi 29,4 persen wilayah dunia dan 60 persen penduduk dunia atau sebanyak 4,73 miliar manusia.
Bandingkan dengan Eropa yang hanya 6,8 persen dari luas dunia atau hanya 10,53 juta km per segi dan berpenduduk 746,4 juta jiwa atau hanya 15 persen dari total penduduk Asia.
Sayang, prestasi sepak bola jarang sekali tegak lurus dengan jumlah penduduk dan luas wilayah.
Eropa memiliki koefisien paling tinggi dan paling sukses serta paling maju dalam industri sepak bolanya, sehingga bukan saja membuat sepak bolanya menjadi murni industri, tetapi juga merupakan magnet untuk talenta-talenta hebat sepak bola dari seluruh dunia.
Tak heran jika saat ini, delapan dari sepuluh tertinggi peringkat FIFA berasal dari Eropa. Bukan itu saja, dua per tiga pemain sepak bola yang bertanding dalam Piala Dunia Qatar 2022 berasal dari klub-klub Eropa.
Sebaliknya peringkat tertinggi FIFA dari Asia adalah Iran pada urutan ke-20. Disusul Jepang (24), Korea Selatan (28), Qatar (50), dan Arab Saudi (51), sedangkan Australia menduduki peringkat 38.
Semua tim zona AFC ini adalah negara-negara yang menduduki enam teratas peringkat Asia.
Satu tim lolos otomatis sebagai tuan rumah, empat tim lolos sebagai juara dan runner up dua grup kualifikasi, dan satu lagi, yakni Australia, lolos setelah melewati dahulu playoff antarbenua melawan Peru yang mereka menangkan 5-4 via adu penalti.
Legiun Eropa
Lantas, apakah dengan semua statistik seperti itu, Asia tak akan berbuat banyak dalam Piala Dunia 2022? Nanti dulu! Boleh saja inferior dalam soal itu, tetapi dalam sepak bola apa pun bisa terjadi.
Jika melihat apa yang telah dicapai keenam tim AFC dalam beberapa Piala Dunia sebelumnya, ditambah bertanding di benuanya sendiri yang merupakan kedua setelah Piala Dunia Jepang-Korea Selatan 2002, Asia bisa saja berbuat banyak dalam Piala Dunia kali ini.
Empat dari enam tim AFC sudah pernah melewati fase grup Piala Dunia, bahkan Korea Selatan mencapai semifinal pada 2002, sedangkan Jepang sudah tiga kali mencapai 16 besar. Arab Saudi dan Australia yang berperingkat FIFA di bawah Iran juga pernah mencapai 16 besar,
Namun Iran yang menjadi tim AFC berperingkat tertinggi dan tengah memasuki Piala Dunia keenamnya tak pernah lolos dari fase grup. Sementara bagi Qatar, 2022 adalah Piala Dunia pertamanya.
Bahkan sebelum kickoff Piala Dunia Qatar, sebagian besar tim-tim Asia telah disisihkan dari berbagai prediksi dengan sudah divonis tak akan berbuat lebih jauh dari 16 besar, bahkan fase grup.
Alasannya macam-macam, tetapi bisa dimengerti, salah satunya komposisi tim mereka.
Qatar dan Saudi Arabia menurunkan skuad yang seluruhnya berasal dari liga domestiknya, padahal ada konsensus dalam sepak bola siapa saja tim yang memiliki banyak pemain yang berasal dari liga-liga kompetitif, khususnya di Eropa, maka mereka itulah yang bisa berbuat banyak dalam Piala Dunia.
Namun empat tim lainnya tidak berkomposisi seperti Qatar dan Saudi. Iran yang berperingkat paling tinggi dan salah satu langganan Piala Dunia dari Asia, menggelarkan skuad yang 13 pemain di antaranya dari klub-klub Eropa, termasuk Samand Ghoddos yang bermain di Liga Inggris untuk klub Brentford dan Sardar Azmoun yang membela Bayer Leverkusen di Jerman.
Australia juga begitu. Sebanyak 16 dari 26 pemainnya bermain di Eropa. Tapi pemain paling menonjol mereka tetap Mathey Leckie yang bermain untuk klub lokal Melbournce City yang memiliki 73 cap dan sudah mempersembahkan 13 gol untuk timnasnya.
Jepang memasukkan tujuh produk lokal, sedangkan sisanya adalah pemain-pemain yang bermain di Eropa, termasuk pemain Arsenal Takehiro Tomiyasu, kapten Maya Yoshida yang bermain untuk Schalke di Jerman, Takefuso Kubo yang kini membela Real Sociedad, dan Takumi Minamino yang mantan pemain Liverpool dan kini andalan AS Monaco di Prancis,
Namun lebih dari separuh skuad Korea Selatan adalah pemain-pemain klub lokal, Hanya delapan pemain yang bermain di Eropa, termasuk kapten Son Heung-min yang andalan Tottenham Hotspur dan pemain Wolverhampton Wanderers Hwang Hee-chan di Inggris, serta pemain Olympiacos Hwang Ui-jo yang menjadi pencetak gol terbanyak kedua di bawah Son Heung-min.
Itu sudah sedikit jaminan bahwa tim-tim Asia bisa saja berbuat lebih, apalagi seperti pada Piala Dunia 2002, mereka kini bertanding di benua mereka sendiri, siapa tahu ini memberikan energi lebih kepada mereka untuk mencapai level lebih tinggi dari sebelumnya mereka rengkuh.
Sudah meningkat
Kalaupun diremehkan, malah hal itu dijadikan motivasi oleh pemain-pemain Asia untuk membuktikan bahwa mereka bukan pelengkap dalam Piala Dunia, bahwa mereka adalah utusan-utusan terpilih dari negara dan benuanya untuk menunjukkan iklim sepak bola mereka juga tak kalah dari area-area mapan sepak bola, seperti Eropa dan Amerika Selatan.
"Pada Piala Dunia 2014 pencapaian (tim-tim Asia) relatif bagus," kata pemain timnas Iran yang juga gelandang Feyenord, Alireza Jahanbakhsh, kepada ESPN.
Pada 2018, Iran nyaris lolos ke 16 besar, dan begitu juga Korea Selatan yang saat itu dilatih Shin Tae-yong yang kini melatih Indonesia, membuat kejutan menaklukkan Jerman dalam fase grup.
Jahanbakhsh yakin, "level Asia sudah sangat meningkat, khususnya karena semakin banyak pemain Asia yang bermain di Eropa. Saya yakin kali ini tim-tim Asia akan lolos ke babak kedua."
Omongan Jahanbakhsh bukan bualan karena seandainya pertandingan pemanasan Piala Dunia 2022 menjadi patokan, maka tim-tim Asia sudah memberikan sinyal bahwa mereka siap berbuat jauh.
Belum lama ini dalam laga persahabatan September silam, Iran menggulingkan juara dunia dua kali Uruguay dengan 1-0, dan kemudian menahan seri 1-1 juara Piala Afrika, Senegal.
Jepang juga lumayan bagus. Setelah menaklukkan Amerika Serikat 2-0, mereka seri 0-0 melawan Ekuador.
Pun dengan Korea Selatan. Setelah seri 2-2 menghadapi Kosta Rika, Jepang membungkam Senegal 1-0.
Bahkan Saudi yang dipenuhi pemain-pemain lokal menahan imbang Ekuador dan AS masing-masing 0-0. Kroasia yang runner up Piala Dunia 2018 pun hanya bisa menang tipis 1-0 melawan mereka.
Memang semua itu adalah laga persahabatan yang atmosfernya jelas berbeda dengan laga kompetitif, apalagi pertandingan Piala Dunia.
Tetapi itu sudah menjadi sedikit gambaran bahwa Asia seperti disebut Jahanbakhsh, siap mengayunkan langkah lebih jauh lagi dari sekadar fase grup, walaupun faktanya Korea Selatan dan Jepang yang selalu bermain atraktif menyerang adalah tim Asia yang paling sering melewati babak ini.
Mereka jelas tak mau menjadi pelengkap.
Sudah waktunya Asia berbicara banyak, seperti halnya investor-investor mereka yang agresif membeli klub-klub top Eropa.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
Jika ditambah dengan Australia yang pernah masuk zona Oseania, namun sudah sejak beberapa tahun lalu masuk Asian Football Confederation (AFC), maka jumlahnya menjadi enam tim.
Jumlah sebanyak itu adalah total kedua terbanyak setelah Eropa yang mengirimkan 13 tim.
Namun jika Amerika Selatan (Conmebol) dan Amerika Utara, tengah dan Karibia (Concacaf) disatukan, maka Asia adalah yang ketiga. Conmebol mengirimkan empat wakil, sedangkan Concacaf tiga.
Jika merujuk luas wilayah dan penduduk terhadap total luas wilayah dan penduduk dunia, maka Asia minus Australia mengambil porsi 29,4 persen wilayah dunia dan 60 persen penduduk dunia atau sebanyak 4,73 miliar manusia.
Bandingkan dengan Eropa yang hanya 6,8 persen dari luas dunia atau hanya 10,53 juta km per segi dan berpenduduk 746,4 juta jiwa atau hanya 15 persen dari total penduduk Asia.
Sayang, prestasi sepak bola jarang sekali tegak lurus dengan jumlah penduduk dan luas wilayah.
Eropa memiliki koefisien paling tinggi dan paling sukses serta paling maju dalam industri sepak bolanya, sehingga bukan saja membuat sepak bolanya menjadi murni industri, tetapi juga merupakan magnet untuk talenta-talenta hebat sepak bola dari seluruh dunia.
Tak heran jika saat ini, delapan dari sepuluh tertinggi peringkat FIFA berasal dari Eropa. Bukan itu saja, dua per tiga pemain sepak bola yang bertanding dalam Piala Dunia Qatar 2022 berasal dari klub-klub Eropa.
Sebaliknya peringkat tertinggi FIFA dari Asia adalah Iran pada urutan ke-20. Disusul Jepang (24), Korea Selatan (28), Qatar (50), dan Arab Saudi (51), sedangkan Australia menduduki peringkat 38.
Semua tim zona AFC ini adalah negara-negara yang menduduki enam teratas peringkat Asia.
Satu tim lolos otomatis sebagai tuan rumah, empat tim lolos sebagai juara dan runner up dua grup kualifikasi, dan satu lagi, yakni Australia, lolos setelah melewati dahulu playoff antarbenua melawan Peru yang mereka menangkan 5-4 via adu penalti.
Legiun Eropa
Lantas, apakah dengan semua statistik seperti itu, Asia tak akan berbuat banyak dalam Piala Dunia 2022? Nanti dulu! Boleh saja inferior dalam soal itu, tetapi dalam sepak bola apa pun bisa terjadi.
Jika melihat apa yang telah dicapai keenam tim AFC dalam beberapa Piala Dunia sebelumnya, ditambah bertanding di benuanya sendiri yang merupakan kedua setelah Piala Dunia Jepang-Korea Selatan 2002, Asia bisa saja berbuat banyak dalam Piala Dunia kali ini.
Empat dari enam tim AFC sudah pernah melewati fase grup Piala Dunia, bahkan Korea Selatan mencapai semifinal pada 2002, sedangkan Jepang sudah tiga kali mencapai 16 besar. Arab Saudi dan Australia yang berperingkat FIFA di bawah Iran juga pernah mencapai 16 besar,
Namun Iran yang menjadi tim AFC berperingkat tertinggi dan tengah memasuki Piala Dunia keenamnya tak pernah lolos dari fase grup. Sementara bagi Qatar, 2022 adalah Piala Dunia pertamanya.
Bahkan sebelum kickoff Piala Dunia Qatar, sebagian besar tim-tim Asia telah disisihkan dari berbagai prediksi dengan sudah divonis tak akan berbuat lebih jauh dari 16 besar, bahkan fase grup.
Alasannya macam-macam, tetapi bisa dimengerti, salah satunya komposisi tim mereka.
Qatar dan Saudi Arabia menurunkan skuad yang seluruhnya berasal dari liga domestiknya, padahal ada konsensus dalam sepak bola siapa saja tim yang memiliki banyak pemain yang berasal dari liga-liga kompetitif, khususnya di Eropa, maka mereka itulah yang bisa berbuat banyak dalam Piala Dunia.
Namun empat tim lainnya tidak berkomposisi seperti Qatar dan Saudi. Iran yang berperingkat paling tinggi dan salah satu langganan Piala Dunia dari Asia, menggelarkan skuad yang 13 pemain di antaranya dari klub-klub Eropa, termasuk Samand Ghoddos yang bermain di Liga Inggris untuk klub Brentford dan Sardar Azmoun yang membela Bayer Leverkusen di Jerman.
Australia juga begitu. Sebanyak 16 dari 26 pemainnya bermain di Eropa. Tapi pemain paling menonjol mereka tetap Mathey Leckie yang bermain untuk klub lokal Melbournce City yang memiliki 73 cap dan sudah mempersembahkan 13 gol untuk timnasnya.
Jepang memasukkan tujuh produk lokal, sedangkan sisanya adalah pemain-pemain yang bermain di Eropa, termasuk pemain Arsenal Takehiro Tomiyasu, kapten Maya Yoshida yang bermain untuk Schalke di Jerman, Takefuso Kubo yang kini membela Real Sociedad, dan Takumi Minamino yang mantan pemain Liverpool dan kini andalan AS Monaco di Prancis,
Namun lebih dari separuh skuad Korea Selatan adalah pemain-pemain klub lokal, Hanya delapan pemain yang bermain di Eropa, termasuk kapten Son Heung-min yang andalan Tottenham Hotspur dan pemain Wolverhampton Wanderers Hwang Hee-chan di Inggris, serta pemain Olympiacos Hwang Ui-jo yang menjadi pencetak gol terbanyak kedua di bawah Son Heung-min.
Itu sudah sedikit jaminan bahwa tim-tim Asia bisa saja berbuat lebih, apalagi seperti pada Piala Dunia 2002, mereka kini bertanding di benua mereka sendiri, siapa tahu ini memberikan energi lebih kepada mereka untuk mencapai level lebih tinggi dari sebelumnya mereka rengkuh.
Sudah meningkat
Kalaupun diremehkan, malah hal itu dijadikan motivasi oleh pemain-pemain Asia untuk membuktikan bahwa mereka bukan pelengkap dalam Piala Dunia, bahwa mereka adalah utusan-utusan terpilih dari negara dan benuanya untuk menunjukkan iklim sepak bola mereka juga tak kalah dari area-area mapan sepak bola, seperti Eropa dan Amerika Selatan.
"Pada Piala Dunia 2014 pencapaian (tim-tim Asia) relatif bagus," kata pemain timnas Iran yang juga gelandang Feyenord, Alireza Jahanbakhsh, kepada ESPN.
Pada 2018, Iran nyaris lolos ke 16 besar, dan begitu juga Korea Selatan yang saat itu dilatih Shin Tae-yong yang kini melatih Indonesia, membuat kejutan menaklukkan Jerman dalam fase grup.
Jahanbakhsh yakin, "level Asia sudah sangat meningkat, khususnya karena semakin banyak pemain Asia yang bermain di Eropa. Saya yakin kali ini tim-tim Asia akan lolos ke babak kedua."
Omongan Jahanbakhsh bukan bualan karena seandainya pertandingan pemanasan Piala Dunia 2022 menjadi patokan, maka tim-tim Asia sudah memberikan sinyal bahwa mereka siap berbuat jauh.
Belum lama ini dalam laga persahabatan September silam, Iran menggulingkan juara dunia dua kali Uruguay dengan 1-0, dan kemudian menahan seri 1-1 juara Piala Afrika, Senegal.
Jepang juga lumayan bagus. Setelah menaklukkan Amerika Serikat 2-0, mereka seri 0-0 melawan Ekuador.
Pun dengan Korea Selatan. Setelah seri 2-2 menghadapi Kosta Rika, Jepang membungkam Senegal 1-0.
Bahkan Saudi yang dipenuhi pemain-pemain lokal menahan imbang Ekuador dan AS masing-masing 0-0. Kroasia yang runner up Piala Dunia 2018 pun hanya bisa menang tipis 1-0 melawan mereka.
Memang semua itu adalah laga persahabatan yang atmosfernya jelas berbeda dengan laga kompetitif, apalagi pertandingan Piala Dunia.
Tetapi itu sudah menjadi sedikit gambaran bahwa Asia seperti disebut Jahanbakhsh, siap mengayunkan langkah lebih jauh lagi dari sekadar fase grup, walaupun faktanya Korea Selatan dan Jepang yang selalu bermain atraktif menyerang adalah tim Asia yang paling sering melewati babak ini.
Mereka jelas tak mau menjadi pelengkap.
Sudah waktunya Asia berbicara banyak, seperti halnya investor-investor mereka yang agresif membeli klub-klub top Eropa.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022