Tabanan (Antara Bali) - Kabupaten Tabanan, Bali, yang memiliki sumber daya alam pegunungan, hutan, sungai hingga beragam satwa sangat potensial untuk pengembangan pariwisata alam atau wisata ekologis.
"Kami mencoba mengembangkan ekowisata atau wisata ekologis dua tahun terakhir ini dan mendapat respons bagus kalangan wisatawan asing," ujar praktisi pariwisata Norm Vant Hoff di Tabanan, Jumat.
Pemilik Sarinbuana Eco-Lodge, Kecamatan Selemadeg itu menyatakan, melihat kondisi geografis dan sumber daya yang dimiliki, sangat tepat untuk dikembangkan ekowisata di Tabanan.
Hal itu bisa dilihat dari kekayaaan alam seperti hutan yang masih asri dengan aneka ragam pohon serta satwa yang ada di dalamnya. Yang tak kalah pentingnya dalam pengembangan ekowisata ini, kata Norm, adalah keterlibatan penduduk sekitar.
"Wisatawan yang datang memang ingin mencari suasana yang benar-benar asri, alami, sunyi sehingga mereka bisa menikmati keindahan alam yang belum terganggu manusia," kata pria yang sudah hampir dua puluh tahun menetap di Bali ini.
Untuk menciptakan kegiatan ekowisata ini, diakui Norm butuh waktu cukup lama termasuk meyakinkan masyarakat sekitar tentang perlunya mereka menjaga potensi sumber daya alam yang ada di wilayah itu.
Selain potensi alam yang ditawarkan ekowisata, juga potensi kekayaan adat istiadat dan budaya masyarakat setempat yang membuat para wisatawan mendapatkan pengalaman berbeda yang tidak bisa didapatkan di tempat lain.
"Menjaga kelestarian alam dan lingkungan menjadi hal paling utama dalam pengembangan ekowisata dan pada akhirnya pariwisata ekologis ini juga akan mendorong peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakatnya," kata pria asal Australia ini.
Di wilayah itu setidaknya ada empat tempat yang menyediakan akomodasi untuk ekowisata dan sepenuhnya melibatkan masyarakat setempat untuk tenaga kerja mulai guide, security, waitress dan tenaga-tenaga lepas seperti instruktur pembuatan barang kerajinan yang tersedia di lokasi itu.
Diakui Norm, konsep ekowisata ini memang belum berkembang di Bali, karena berbagai kendala meskipun pangsa pasarnya cukup jelas. "Tamu-tamu kami memang sebagian besar dari turis asing, orang lokal hampir tidak pernah menginap di sini," katanya.
Di tempatnya menyediakan hanya empat pondok wisata dengan tarif permalamnya dari harga Rp1 juta hingga Rp2 juta. Dan biasanya, tamu-tamu yang menginap, kata Norm, minimal tiga hari untuk menikmati perjalanan wisata ekologis itu.
Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Tabanan, Wayan Diarsa mengakui, sebenarnya potensi ekowisata di Tabanan cukup besar namun sayangnya belum digarap optimal oleh pelaku industri pariwisata Bali.
"Kami terus mendorong untuk pengembangan ekoturisme, disamping pengembangan pariwisata yang ada selama ini. Sebab ini memberi kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan penduduk sekitar," kata Diasa.
Disebutkan, wilayah yang bisa dikembangkan untuk ekowisata seperti di Kecamatan Selemadeg, Pupuan, Penebel dan Baturiti. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2009
"Kami mencoba mengembangkan ekowisata atau wisata ekologis dua tahun terakhir ini dan mendapat respons bagus kalangan wisatawan asing," ujar praktisi pariwisata Norm Vant Hoff di Tabanan, Jumat.
Pemilik Sarinbuana Eco-Lodge, Kecamatan Selemadeg itu menyatakan, melihat kondisi geografis dan sumber daya yang dimiliki, sangat tepat untuk dikembangkan ekowisata di Tabanan.
Hal itu bisa dilihat dari kekayaaan alam seperti hutan yang masih asri dengan aneka ragam pohon serta satwa yang ada di dalamnya. Yang tak kalah pentingnya dalam pengembangan ekowisata ini, kata Norm, adalah keterlibatan penduduk sekitar.
"Wisatawan yang datang memang ingin mencari suasana yang benar-benar asri, alami, sunyi sehingga mereka bisa menikmati keindahan alam yang belum terganggu manusia," kata pria yang sudah hampir dua puluh tahun menetap di Bali ini.
Untuk menciptakan kegiatan ekowisata ini, diakui Norm butuh waktu cukup lama termasuk meyakinkan masyarakat sekitar tentang perlunya mereka menjaga potensi sumber daya alam yang ada di wilayah itu.
Selain potensi alam yang ditawarkan ekowisata, juga potensi kekayaan adat istiadat dan budaya masyarakat setempat yang membuat para wisatawan mendapatkan pengalaman berbeda yang tidak bisa didapatkan di tempat lain.
"Menjaga kelestarian alam dan lingkungan menjadi hal paling utama dalam pengembangan ekowisata dan pada akhirnya pariwisata ekologis ini juga akan mendorong peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakatnya," kata pria asal Australia ini.
Di wilayah itu setidaknya ada empat tempat yang menyediakan akomodasi untuk ekowisata dan sepenuhnya melibatkan masyarakat setempat untuk tenaga kerja mulai guide, security, waitress dan tenaga-tenaga lepas seperti instruktur pembuatan barang kerajinan yang tersedia di lokasi itu.
Diakui Norm, konsep ekowisata ini memang belum berkembang di Bali, karena berbagai kendala meskipun pangsa pasarnya cukup jelas. "Tamu-tamu kami memang sebagian besar dari turis asing, orang lokal hampir tidak pernah menginap di sini," katanya.
Di tempatnya menyediakan hanya empat pondok wisata dengan tarif permalamnya dari harga Rp1 juta hingga Rp2 juta. Dan biasanya, tamu-tamu yang menginap, kata Norm, minimal tiga hari untuk menikmati perjalanan wisata ekologis itu.
Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Tabanan, Wayan Diarsa mengakui, sebenarnya potensi ekowisata di Tabanan cukup besar namun sayangnya belum digarap optimal oleh pelaku industri pariwisata Bali.
"Kami terus mendorong untuk pengembangan ekoturisme, disamping pengembangan pariwisata yang ada selama ini. Sebab ini memberi kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan penduduk sekitar," kata Diasa.
Disebutkan, wilayah yang bisa dikembangkan untuk ekowisata seperti di Kecamatan Selemadeg, Pupuan, Penebel dan Baturiti. (*)
Editor : Masuki
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2009