Indonesia menjadi Presiden Group of Twenty (G20) - sebuah forum negara-negara yang menguasai 80 persen perekonomian dunia - di tahun yang sulit.
Dunia memasuki “polycrisis” pada tahun 2022, atau krisis simultan yang terkombinasi dari krisis pandemi COVID-19, krisis pangan, krisis energi akibat perang Rusia dan Ukraina, dan juga krisis keuangan karena normalisasi kebijakan moneter negara maju.
Dengan belbagai problema itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan Presidensi G20 Indonesia membawa angin segar bagi dunia melalui transformasi di berbagai bidang, yang bermuara pada kesejahteraan dan perdamaian bagi seluruh negara.
Presiden Jokowi ingin G20 relevan bagi seluruh dunia di masa-masa sulit ini, bukan hanya bermanfaat bagi anggota-anggota G20.
G20 beranggotakan Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Perancis, China, Turki, dan Uni Eropa
Sebagai Presiden G20, Indonesia berkesempatan untuk memastikan kepentingan rakyat Indonesia didengar oleh seluruh dunia. Sebagai tuan rumah, Indonesia juga dapat mengusulkan isu dan memimpin dialog yang sesuai dengan tujuan.
Tiga isu yang diusung Indonesia dalam Presidensi G20 adalah arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi.
Presiden Jokowi juga ingin G20 berkontribusi lebih besar bagi pemulihan ekonomi dunia. Ia berambisi agar Presidensi G20 dapat membangun tata kelola dunia yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih berkelanjutan sesuai kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Maka itu pula, tema Presidensi G20 Indonesia adalah recover stronger, recover together.
Inklusivitas di G20
Presiden Jokowi dalam sebuah forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah menekankan bahwa inklusivitas adalah prioritas utama kepemimpinan Indonesia di G20.
Hal itu menjadi komitmen Indonesia untuk membuktikan no one left behind, terutama dalam mengatasi pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi global.
Indonesia, kata Presiden Jokowi, akan berupaya agar G20 dapat bekerja untuk kepentingan semua negara; untuk negara maju dan berkembang, Utara dan Selatan, negara besar dan kecil, negara kepulauan dan pulau kecil di Pasifik, serta kelompok rentan yang harus diprioritaskan.
Karena itu Indonesia akan mengundang negara-negara kepulauan kecil yakni Komunitas Karibia dan Forum Kepulauan Pasifik di G20. Indonesia juga menyampaikan komitmen untuk mengundang Uni Afrika dalam G20. Keikutsertaan negara-negara kepulauan kecil dan Uni Afrika merupakan yang pertama kalinya dalam G20.
Upaya pelibatan negara kepulauan, dan negara-negara sahabat di Benua Afrika bukan tanpa sebab. Konflik militer Rusia dan Ukraina telah meningkatkan harga pangan, seperti untuk komoditas biji-bijian, pupuk dan energi.
Efek berantai ekonomi itu telah memperburuk krisis yang mempengaruhi banyak negara-negara di dunia termasuk seperti Ethiopia, Kenya, dan Somalia. Sementara banyak negara-negara dari Ghana hingga Zambia telah meminta bantuan IMF untuk memperbaiki utang mereka, menurut laporan Bloomberg.
Karena itu suara dari setiap negara yang merasakan imbas ketidakpastian global saat ini penting untuk didengar di Forum G20.
Indonesia juga tak berhenti untuk menyuarakan ketersediaan vaksin COVID-19 bagi seluruh negara tanpa adanya ketimpangan. Berbagai hal tersebut dilakukan, agar Indonesia sebagai Presidensi G20 dapat menjadi ujung tombak dari solusi permasalahan global.
Upayakan perdamaian
Langkah Indonesia untuk memperkuat relevansi G20 terhadap isu-isu dunia juga terlihat dari sikap Jokowi, yang dalam forum internasional dan forum bilateral selalu menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang dan negara miskin.
Perang Rusia dan Ukraina terbukti membuat kondisi dunia semakin rumit di masa sulit pandemi COVID-19. Serangan militer Moskow ke Kyiv memanaskan suhu politik dunia yang berdampak pada hubungan antara negara di G20.
KTT G20 dibayangi ancaman boikot oleh negara-negara barat yang mengecam invasi militer Rusia. Banyak negara anggota G20 yang berseberangan dengan Rusia.
Sementara itu sebagai Presiden G20, Indonesia berkewajiban memastikan partisipasi semua negara anggota, tak terkecuali Rusia. Situasi ini menjadi tantangan bagi Indonesia.
Presiden Jokowi tak tinggal diam dengan situasi ini. Ia intens menghubungi dan menemui langsung para pimpinan negara demi kesuksesan G20. Begitu juga dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi yang melancarkan diplomasi terhadap para Menlu negara G20 dan berbagai lembaga internasional.
Saat KTT Khusus ASEAN-AS di Washington, AS, Presiden Jokowi mengambil panggung untuk mempromosikan Presidensi G20 Indonesia. Penerimaan yang hangat dari Presiden AS Joe Biden saat itu menenggelamkan rumor bahwa negara-negara Barat akan memboikot G20 karena Jakarta tetap mengundang Moskow.
Presiden Jokowi juga selanjutnya melawat ke Jerman untuk menghadiri pertemuan G7, forum tahunan yang dilaksanakan oleh negara-negara industri maju yang terdiri dari Amerika Serikat, Jerman, Italia, Jepang, Kanada, dan Prancis
Dalam forum itu, Presiden Jokowi mengundang para pemimpin G7 untuk hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Jokowi juga menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang agar negara-negara G7 dan G20 mengatasi krisis pangan yang saat ini mengancam rakyat di banyak negara jatuh ke jurang kelaparan dan kemiskinan ekstrem.
Setelah dari Jerman, Presiden Jokowi didampingi Ibu Negara Iriana Jokowi melawat ke Kyiv, Ukraina, menggunakan kereta api untuk bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan dilanjutkan ke Moskow untuk bertemu Presiden Vladimir Putin.
"Saya telah menyampaikan pesan Presiden Zelenskyy untuk Presiden Putin dan saya sampaikan kesiapan saya untuk menjadi jembatan komunikasi antara kedua pemimpin tersebut," kata Presiden Jokowi usai bertemu Putin.
Upaya diplomasi yang dilakukan Presiden Jokowi dengan menemui langsung para pemimpin anggota G20 memberikan optimisme kepada dunia tentang terbuka lebarnya ruang dialog dengan peluang kolaborasi dalam penyelesaian masalah.
Keberanian Presiden Jokowi yang mengajukan diri untuk menjembatani komunikasi Ukraina dan Rusia juga mempertegas arah Presidensi G20 Indonesia yang ingin berperan untuk menjadi solusi bagi permasalahan global.
Setelah diplomasi PresidenJokowi, optimisme Presidensi Indonesia di G20 terus menguat. Hal tersebut terlihat dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri (FMM) G20 pada 7-8 Juli di Bali.
Menlu Retno yang saat itu masih mendampingi Presiden Jokowi di Uni Emirat Arab menyampaikan seluruh menteri luar negeri negara-negara anggota G20, termasuk Rusia, dipastikan menghadiri FMM.
”Alhamdulillah hari ini kita dapat konfirmasi melalui saluran diplomatik bahwa semua menteri luar negeri anggota G20 akan hadir pada pertemuan itu," kata Menlu Retno dalam konferensi pers daring.
Tentu, bukan hal yang mudah mempertemukan menteri luar negeri dari negara-negara yang bersitegang dalam sebuah forum.
Keketuaan ASEAN 2023
Selanjutnya dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (Finance Ministers & Central Bank Governors' Meeting /FMCBG) Negara G20 pada 15 Juli 2022, Indonesia berhasil menghadirkan delegasi asing secara fisik dengan jumlah terbesar selama periode Presidensi G20 Indonesia. Sebanyak 407 delegasi asing hadir secara fisik di Bali dan 120 delegasi hadir secara virtual.
Pertemuan ke-3 FMCBG itu fokus membahas pada tujuh agenda prioritas usulan Indonesia yakni situasi dan risiko perekonomian global, kesehatan global, arsitektur keuangan internasional, isu-isu sektor keuangan, keuangan yang berkelanjutan, infrastruktur, dan perpajakan internasional.
Dalam pembahasan mengenai situasi dan risiko perekonomian global, para menteri keuangan G20 membahas di antaranya dampak perang/agresi Rusia di Ukraina yang dapat memicu krisis energi, krisis pangan, dan krisis keuangan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan G20 harus ditempatkan sebagai forum kerja sama ekonomi terbesar dunia yang punya sejarah panjang selesaikan berbagai persoalan global.
"Seluruh anggota G20 juga sepakat meneruskan dan mempertahankan kerja sama yang ada dengan semangat multilateralisme,” kata dia.
Upaya yang dilakukan Indonesia telah membuahkan hasil. G20 memang bukan forum yang menghasilkan keputusan mengikat, namun forum tersebut dapat menghasilkan arahan penting bagi kebijakan negara-negara anggota, organisasi multilateral, pelaku ekonomi swasta, dan juga lembaga masyarakat non-pemerintah.
Dengan upaya yang telah dilakukan dan semangat pulih lebih kuat secara bersama, Indonesia berkesempatan menjadikan forum G20 sebagai milestones dalam meningkatkan perannya di kancah global, sekaligus menjadi permulaan yang baik menjelang peran Keketuaan ASEAN pada 2023.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mencipta G20 yang relevan di tengah "polycrisis" dunia
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
Dunia memasuki “polycrisis” pada tahun 2022, atau krisis simultan yang terkombinasi dari krisis pandemi COVID-19, krisis pangan, krisis energi akibat perang Rusia dan Ukraina, dan juga krisis keuangan karena normalisasi kebijakan moneter negara maju.
Dengan belbagai problema itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan Presidensi G20 Indonesia membawa angin segar bagi dunia melalui transformasi di berbagai bidang, yang bermuara pada kesejahteraan dan perdamaian bagi seluruh negara.
Presiden Jokowi ingin G20 relevan bagi seluruh dunia di masa-masa sulit ini, bukan hanya bermanfaat bagi anggota-anggota G20.
G20 beranggotakan Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Perancis, China, Turki, dan Uni Eropa
Sebagai Presiden G20, Indonesia berkesempatan untuk memastikan kepentingan rakyat Indonesia didengar oleh seluruh dunia. Sebagai tuan rumah, Indonesia juga dapat mengusulkan isu dan memimpin dialog yang sesuai dengan tujuan.
Tiga isu yang diusung Indonesia dalam Presidensi G20 adalah arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi.
Presiden Jokowi juga ingin G20 berkontribusi lebih besar bagi pemulihan ekonomi dunia. Ia berambisi agar Presidensi G20 dapat membangun tata kelola dunia yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih berkelanjutan sesuai kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Maka itu pula, tema Presidensi G20 Indonesia adalah recover stronger, recover together.
Inklusivitas di G20
Presiden Jokowi dalam sebuah forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah menekankan bahwa inklusivitas adalah prioritas utama kepemimpinan Indonesia di G20.
Hal itu menjadi komitmen Indonesia untuk membuktikan no one left behind, terutama dalam mengatasi pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi global.
Indonesia, kata Presiden Jokowi, akan berupaya agar G20 dapat bekerja untuk kepentingan semua negara; untuk negara maju dan berkembang, Utara dan Selatan, negara besar dan kecil, negara kepulauan dan pulau kecil di Pasifik, serta kelompok rentan yang harus diprioritaskan.
Karena itu Indonesia akan mengundang negara-negara kepulauan kecil yakni Komunitas Karibia dan Forum Kepulauan Pasifik di G20. Indonesia juga menyampaikan komitmen untuk mengundang Uni Afrika dalam G20. Keikutsertaan negara-negara kepulauan kecil dan Uni Afrika merupakan yang pertama kalinya dalam G20.
Upaya pelibatan negara kepulauan, dan negara-negara sahabat di Benua Afrika bukan tanpa sebab. Konflik militer Rusia dan Ukraina telah meningkatkan harga pangan, seperti untuk komoditas biji-bijian, pupuk dan energi.
Efek berantai ekonomi itu telah memperburuk krisis yang mempengaruhi banyak negara-negara di dunia termasuk seperti Ethiopia, Kenya, dan Somalia. Sementara banyak negara-negara dari Ghana hingga Zambia telah meminta bantuan IMF untuk memperbaiki utang mereka, menurut laporan Bloomberg.
Karena itu suara dari setiap negara yang merasakan imbas ketidakpastian global saat ini penting untuk didengar di Forum G20.
Indonesia juga tak berhenti untuk menyuarakan ketersediaan vaksin COVID-19 bagi seluruh negara tanpa adanya ketimpangan. Berbagai hal tersebut dilakukan, agar Indonesia sebagai Presidensi G20 dapat menjadi ujung tombak dari solusi permasalahan global.
Upayakan perdamaian
Langkah Indonesia untuk memperkuat relevansi G20 terhadap isu-isu dunia juga terlihat dari sikap Jokowi, yang dalam forum internasional dan forum bilateral selalu menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang dan negara miskin.
Perang Rusia dan Ukraina terbukti membuat kondisi dunia semakin rumit di masa sulit pandemi COVID-19. Serangan militer Moskow ke Kyiv memanaskan suhu politik dunia yang berdampak pada hubungan antara negara di G20.
KTT G20 dibayangi ancaman boikot oleh negara-negara barat yang mengecam invasi militer Rusia. Banyak negara anggota G20 yang berseberangan dengan Rusia.
Sementara itu sebagai Presiden G20, Indonesia berkewajiban memastikan partisipasi semua negara anggota, tak terkecuali Rusia. Situasi ini menjadi tantangan bagi Indonesia.
Presiden Jokowi tak tinggal diam dengan situasi ini. Ia intens menghubungi dan menemui langsung para pimpinan negara demi kesuksesan G20. Begitu juga dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi yang melancarkan diplomasi terhadap para Menlu negara G20 dan berbagai lembaga internasional.
Saat KTT Khusus ASEAN-AS di Washington, AS, Presiden Jokowi mengambil panggung untuk mempromosikan Presidensi G20 Indonesia. Penerimaan yang hangat dari Presiden AS Joe Biden saat itu menenggelamkan rumor bahwa negara-negara Barat akan memboikot G20 karena Jakarta tetap mengundang Moskow.
Presiden Jokowi juga selanjutnya melawat ke Jerman untuk menghadiri pertemuan G7, forum tahunan yang dilaksanakan oleh negara-negara industri maju yang terdiri dari Amerika Serikat, Jerman, Italia, Jepang, Kanada, dan Prancis
Dalam forum itu, Presiden Jokowi mengundang para pemimpin G7 untuk hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Jokowi juga menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang agar negara-negara G7 dan G20 mengatasi krisis pangan yang saat ini mengancam rakyat di banyak negara jatuh ke jurang kelaparan dan kemiskinan ekstrem.
Setelah dari Jerman, Presiden Jokowi didampingi Ibu Negara Iriana Jokowi melawat ke Kyiv, Ukraina, menggunakan kereta api untuk bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan dilanjutkan ke Moskow untuk bertemu Presiden Vladimir Putin.
"Saya telah menyampaikan pesan Presiden Zelenskyy untuk Presiden Putin dan saya sampaikan kesiapan saya untuk menjadi jembatan komunikasi antara kedua pemimpin tersebut," kata Presiden Jokowi usai bertemu Putin.
Upaya diplomasi yang dilakukan Presiden Jokowi dengan menemui langsung para pemimpin anggota G20 memberikan optimisme kepada dunia tentang terbuka lebarnya ruang dialog dengan peluang kolaborasi dalam penyelesaian masalah.
Keberanian Presiden Jokowi yang mengajukan diri untuk menjembatani komunikasi Ukraina dan Rusia juga mempertegas arah Presidensi G20 Indonesia yang ingin berperan untuk menjadi solusi bagi permasalahan global.
Setelah diplomasi PresidenJokowi, optimisme Presidensi Indonesia di G20 terus menguat. Hal tersebut terlihat dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri (FMM) G20 pada 7-8 Juli di Bali.
Menlu Retno yang saat itu masih mendampingi Presiden Jokowi di Uni Emirat Arab menyampaikan seluruh menteri luar negeri negara-negara anggota G20, termasuk Rusia, dipastikan menghadiri FMM.
”Alhamdulillah hari ini kita dapat konfirmasi melalui saluran diplomatik bahwa semua menteri luar negeri anggota G20 akan hadir pada pertemuan itu," kata Menlu Retno dalam konferensi pers daring.
Tentu, bukan hal yang mudah mempertemukan menteri luar negeri dari negara-negara yang bersitegang dalam sebuah forum.
Keketuaan ASEAN 2023
Selanjutnya dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (Finance Ministers & Central Bank Governors' Meeting /FMCBG) Negara G20 pada 15 Juli 2022, Indonesia berhasil menghadirkan delegasi asing secara fisik dengan jumlah terbesar selama periode Presidensi G20 Indonesia. Sebanyak 407 delegasi asing hadir secara fisik di Bali dan 120 delegasi hadir secara virtual.
Pertemuan ke-3 FMCBG itu fokus membahas pada tujuh agenda prioritas usulan Indonesia yakni situasi dan risiko perekonomian global, kesehatan global, arsitektur keuangan internasional, isu-isu sektor keuangan, keuangan yang berkelanjutan, infrastruktur, dan perpajakan internasional.
Dalam pembahasan mengenai situasi dan risiko perekonomian global, para menteri keuangan G20 membahas di antaranya dampak perang/agresi Rusia di Ukraina yang dapat memicu krisis energi, krisis pangan, dan krisis keuangan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan G20 harus ditempatkan sebagai forum kerja sama ekonomi terbesar dunia yang punya sejarah panjang selesaikan berbagai persoalan global.
"Seluruh anggota G20 juga sepakat meneruskan dan mempertahankan kerja sama yang ada dengan semangat multilateralisme,” kata dia.
Upaya yang dilakukan Indonesia telah membuahkan hasil. G20 memang bukan forum yang menghasilkan keputusan mengikat, namun forum tersebut dapat menghasilkan arahan penting bagi kebijakan negara-negara anggota, organisasi multilateral, pelaku ekonomi swasta, dan juga lembaga masyarakat non-pemerintah.
Dengan upaya yang telah dilakukan dan semangat pulih lebih kuat secara bersama, Indonesia berkesempatan menjadikan forum G20 sebagai milestones dalam meningkatkan perannya di kancah global, sekaligus menjadi permulaan yang baik menjelang peran Keketuaan ASEAN pada 2023.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mencipta G20 yang relevan di tengah "polycrisis" dunia
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022