Indonesia terpilih sebagai tempat dilaksanakan pertemuan negara-negara kelompok G20 tahun 2022. Perhelatan tingkat dunia itu akan diadakan di Bali, Indonesia mengangkat salah satu tema pembahasan yakni mewujudkan energi bersih, atau yang dikenal energi baru terbarukan (EBT).
Isu energi bersih yang dipilih Indonesia itu sangat tepat karena dunia kini sedang dalam ancaman pemanasan global yang jika tidak diatasi akan menyebabkan suhu udara di dunia naik, akibatnya benua es di kutub Utara dan Selatan akan mencair.
Selanjutnya, permukaan air laut akan naik mengakibatkan beberapa negara dan daerah tenggelam, terumbu karang di laut banyak mati akibat pemanasan global sehingga ikan pun akan mati karena tempat makannya (terumbu karang) mati.
Oleh karena itu, dunia, termasuk negara-negara G20 harus menjadi motor pencegahan perubahan iklim akibat pemanasan global yang disebabkan oleh penggunaan energi tidak ramah lingkungan, penuh polusi, dan tidak berkelanjutan.
Apalagi negara-negara anggota G20 menyumbang sekitar 75 persen dari permintaan energi dunia. Sektor energi menyumbang hampir 90 persen dari emisi CO2 secara global. Wajar jika, negara-negara G20 memegang tanggung jawab besar dan peran strategis dalam mendorong pemanfaatan energi bersih
Baca juga: Wamen BUMN: Keketuaan G20 dorong transisi energi hijau berkelanjutan
Tantangan Pandemi
Namun tidak mudah merealisasikan dan mewujudkan energi bersih di kala dunia, termasuk Indonesia yang sedang menghadapi bencana pandemi COVID-19. Walau pun tidak mudah, langkah menuju transisi energi bersih harus sudah dilakukan.
Pandemi ini menyebabkan puluhan juta manusia terjangkit, banyak bisnis, pabrik, perkantoran terutama pariwisata ditutup sementara dan permanen, sehingga meluluhlantakkan ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
Posisi kasus per-24 Januari 2022, di dunia ini ada sekitar 355 juta kasus COVID-19 , dan 5,61 juta orang meninggal akibat virus COVID-19. Sementara di Indonesia ada 4,29 juta kasus COVID-19 menyebabkan 144 ribu meninggal.
Celakanya, virus Corona terus melakukan transformasi dan muncul varian baru. Setelah dunia mengatasi pandemi COVID-19 varian yang merebak dari Wuhan, China.
Tak lama kemudian muncul varian Delta dari India. Setelah reda varian Delta, kini muncul varian Omicron yang mengancam kesehatan dan pemulihan ekonomi dunia. Pandemi COVID-19 seakan tak kunjung usai.
Dunia berharap dengan Presidensi G20 ada di tangan Indonesia ada solusi. Seperti yang dikemukakan Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Geoffrey Okamoto menginginkan Indonesia sebagai Presidensi G20 bisa menghasilkan strategi untuk mengeluarkan dunia dari dampak krisis pandemi COVID-19.
Baca juga: Catatan Akhir Tahun - Bali, EBT, dan lingkungan bersih
Langkah Konkret
Sebagai Presidensi G20, Indonesia harus memberikan contoh dalam melakukan dalam mencegah perubahan iklim, apalagi Indonesia memiliki hutan terbesar di dunia yang menjadi paru-paru dunia.
Dalam Sidang Umum PBB 2021, Presiden Jokowi mengutarakan langkah Indonesia sebagai salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki arti strategis dalam menangani perubahan iklim. Posisi strategis tersebut digunakan untuk berkontribusi.
“Deforestasi di Indonesia dapat ditekan ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Indonesia telah melakukan rehabilitasi tiga juta hektar lahan kritis pada 2010-2019,” kata Presiden Jokowi.
Indonesia telah menargetkan Net Sink Carbon untuk sektor lahan dan hutan selambat-lambatnya tahun 2030 dan “Net Zero” di tahun 2060 atau lebih cepat. Kawasan Net Zero mulai dikembangkan termasuk pembangunan Green Industrial Park di Kalimantan Utara seluas 13.200 hektar, yang menggunakan energi baru terbarukan dan menghasilkan “green product”.
Selain itu, pemerintah juga akan menerapkan pajak karbon dengan tarif sebesar Rp30 per kg karbon CO2e. Tarif ini akan mulai diberlakukan pada 1 April 2022 untuk PLTU dengan skema cap and tax.
Dari subsektor minyak dan gas bumi, pemerintah menyiapkan strategi lainnya untuk mereduksi emisi karbon yaitu rencana penerapan carbon capture utilization and storage (CCUS) untuk mengurangi emisi karbon, sekaligus meningkatkan produksi migas, pembatasan routine flaring, optimalisasi pemanfaatan gas bumi untuk rumah tangga dan transportasi, serta penurunan emisi metana.
Indonesia memiliki potensi besar mengembangkan energi baru terbarukan. Potensi EBT cukup melimpah lebih dari 3.000 GW yang bersumber dari tenaga surya, angin, hidro, panas bumi, bio energi, dan energi laut. Potensi dan teknologi EBT merupakan modal utama untuk melaksanakan strategi transisi energi menuju net zero emission pada 2060.
Indonesia juga bertekad lebih banyak menggunakan kendaraan listrik yang bebas polusi.
Dalam pertemuan G20 di Bali, para delegasi G20 akan menggunakan 500 mobil listrik. Infrastruktur listrik guna mendukung operasional kendaraan listrik akan disiapkan di Bali.
PT PLN (Persero) akan membangun 21 unit Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Bali. Secara bertahap dibangun dan Maret 2022 semuanya siap untuk beroperasi, kata Dirut PLN Darmawan Prasodjo.
Belum lama ini, tahun 2022, Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati melepas konvoi kendaraan listrik yang diselenggarakan oleh Komunitas Deva (Dewata Electric Vehicle Association). Kegiatan itu merupakan salah satu bentuk implementasi dari Pergub 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih dan Pergub 48 Tahun 2019 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Langkah-langkah konkrit transisi menuju energi bersih yang menjadi agenda G20 sudah dijalankan Indonesia, rencana kerja dan jadwal waktu juga sudah ditetapkan.
Semoga Indonesia Presidensi G20 dapat memberikan solusi dan mendorong Negara anggota melakukan langkah yang sama mencegah perubahan iklim dan melakukan transisi gunakan energi bersih, bebas polusi.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022