Indonesia menginginkan hasil-hasil konkret dari keketuaan G20, terutama di tiga isu prioritas yaitu kesehatan, transformasi digital, dan transisi energi.
“Kita inginkan hasil yang konkret, bukan cuma kata-kata atau dokumen tetapi komitmen (kerja sama),” kata Co-Sherpa G20 Indonesia Dian Triansyah Djani dalam seminar daring “Peran Diplomasi Indonesia dalam Presidensi G20” yang berlangsung pada Rabu.
Di bidang kesehatan, kata Trian, Indonesia sedang mendorong satgas kesehatan bersama (joint health taskforce) antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan untuk menyiapkan sumber daya jika terjadi pandemi di masa depan.
“Kalau terjadi pandemi lagi, (diharapkan) dunia sudah siap. Karena itu, G20 perlu menunjukkan kepemimpinannya untuk upaya preventif maupun menghadapi keadaan darurat lagi,” ujar dia.
Kerja sama konkret lainnya yang diupayakan yaitu membangun pusat-pusat riset maupun produksi vaksin, mengingat masih banyak negara belum memiliki cukup vaksin bagi rakyat mereka.
Menyangkut upaya tersebut, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sebagai salah satu ketua bersama COVAX AMC Engagement Group selalu mendorong pemenuhan kebutuhan vaksin di negara-negara berkembang.
Indonesia mendorong sesama negara anggota G20 untuk ikut memastikan target vaksinasi 40 persen populasi dunia pada akhir 2021 dan 70 persen populasi dunia pada pertengahan 2022 dapat tercapai.
“Alhamdulillah Indonesia sudah tercapai target (vaksinasi) 40 persen populasi pada 2021, tetapi banyak negara masih belum. Negara-negara Afrika saja belum sampai 10 persen populasi padahal penduduknya sedikit,” kata Trian.
“Kita perlu mendorong supaya vaksin dapat dirasakan di banyak negara dunia. Prinsipnya sederhana, no one is safe until everyone is (tidak ada seorang pun yang aman sampai semua orang aman—red),” ujar dia, menambahkan.
Sementara di bidang transformasi digital, untuk pertama kalinya di bawah keketuaan G20 Indonesia akan ada kelompok kerja (working group) khusus yang membahas isu ekonomi digital.
Dipimpin oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, kelompok kerja tersebut akan membahas berbagai isu yang menjadi kepentingan bersama, seperti keamanan internet dan data, mengingat dunia teknologi digital yang terus berkembang.
Sedangkan di bidang transisi energi, Indonesia akan mendorong diskusi antara negara maju dan negara berkembang mengenai upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim melalui penguatan kerja sama alih energi yang lebih ramah lingkungan.
“Perlu upaya kerja sama untuk kita bertransisi ke energi yang ramah lingkungan, tentunya ini memerlukan investasi dan teknologi. Ini bukan waktunya saling menyalahkan (antara negara maju dan berkembang), tetapi kita dorong kerja sama bisa dalam bentuk investasi atau transfer teknologi,” kata Trian.
Meskipun telah menetapkan tiga isu prioritas selama memimpin G20, Trian menegaskan bahwa Indonesia juga akan mengupayakan hasil-hasil konkret dari setiap isu yang dibahas di masing-masing working group atau engagement group, di antaranya ekonomi kreatif, UMKM, pariwisata, perempuan, tenaga kerja, dan penyandang disabilitas,
Indonesia mulai menjalankan peran sebagai presiden G20 pada Desember 2021 hingga nanti berakhir pada November 2022.
Jembatan kepentingan
Peran Indonesia sebagai presiden kelompok 20 ekonomi terbesar dunia (G20) sepanjang tahun 2022 diharapkan menjembatani kepentingan negara berkembang dan negara maju.
Pernyataan itu disampaikan Co-Sherpa G20 Indonesia Dian Triansyah Djani, sambil mengingatkan bahwa anggota G20 yang terdiri dari negara maju dan berkembang memiliki keberagaman pandangan dan pendekatan tertentu dalam menyikapi isu-isu global terkini.
“Untungnya diplomasi Indonesia selama ini terkenal sebagai diplomasi yang selalu mencari konsensus, penyelesaian, solusi. We do not create problem but we find solution,” kata Trian.
Trian menjelaskan bahwa diplomasi Indonesia selama keketuaan G20 akan diarahkan bukan hanya pada kepentingan negara anggotanya, tetapi juga membahas kepentingan negara lainnya di luar anggota.
“Sebagai contoh, untuk pertama kalinya dalam sejarah G20 kita mengundang negara-negara kecil di Kepulauan Pasifik seperti Nauru, Kiribati, dan Vanuatu untuk membahas dampak perubahan iklim,” ujar dia.
Indonesia memandang penting partisipasi negara-negara tersebut untuk menyampaikan pandangan dan posisinya di G20, karena mereka lah yang paling terdampak perubahan iklim —salah satu isu global yang paling diperhatikan dan diupayakan solusinya.
Pengamat G20 Gracia Paramita menilai kepemimpinan Indonesia di G20 tahun ini menegaskan peran strategis Indonesia yang bisa merangkul berbagai negara, termasuk dari ASEAN, Afrika, dan Kepulauan Pasifik.
Bahkan, kata Gracia, kelompok masyarakat (engagement group) G20 yang masing-masing berfokus pada isu-isu di antaranya masyarakat sipil, tenaga kerja, dan pemuda akan mengundang negara-negara tersebut sebagai pengamat (observer).
“Supaya kita juga menunjukkan bahwa Indonesia terbuka dengan masukan dari berbagai negara, terlepas kita menjadi tuan rumah G20. Justru dengan menjadi presiden G20, Indonesia bisa menjembatani kepentingan atau harapan dari negara maju, negara berkembang, maupun negara-negara kepulauan kecil,” tutur Gracia.
Indonesia mulai menjalankan peran sebagai presiden G20 pada Desember 2021 hingga nanti berakhir pada November 2022.
Mengusung tema "Recover Together, Recover Stronger" (Pulih Bersama, Pulih Lebih Kuat), Indonesia memajukan sejumlah agenda yang berfokus pada penanganan isu-isu global terkini, yang pertemuannya akan terbagi dalam dua jalur yaitu jalur keuangan dan jalur sherpa.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022