Oleh  I Ketut Sutika

Sosok pria sederhana itu diperkirakan berusia hampir 100 tahun, namun dia masih cukup enerjik mengajarkan anak-anak asuhannya untuk mewarisi seni budaya Bali lewat sanggar yang didirikannya.

I Made Linggih, pria kelahiran Desa Bambang, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, sesuai KTP yang dimilikinya, lahir pada 31 Desember 1913, atau 99 tahun silam.

Setelah menjalani ritual pewintenan, dia pun diberi gelar sebagai Jero Mangku Tedja, seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani masyarakat sekitarnya. Seniman gaek ini pun gigih menularkan keterampilan menyangkut seni budaya Bali kepada anak-anak muda.

Lewat Pesraman (Sanggar) Wredhi Stuti yang didirikan pada 1 Juli 2005, suami Ni Wayan Arim ini mengajar anak-anak usia SD di bidang  seni budaya Bali, antara lain seni tabuh dan tari Bali.

Selain itu, dia juga mengajar anak didiknya membuat sarana upacara ritual (banten), mengumandangkan ayat-ayat suci agama Hindu (kekawin/kekidung), serta pendalaman budi pekerti.

Berkat ketekunan dan kegigihannya itu, anak-anak didiknya kini sangat aktif mengikuti kegiatan di pasraman.

Mangku Tedja juga aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan itu. Sejak kecil, dia mempunyai kesenangan terhadap seni budaya Bali, baik seni tabuh maupun tari Bali, dan yang paling menonjol adalah seni sastra.

Dia bahkan memiliki keahlian khusus dalam mengumandangkan lagu-lagu yang bernuansa rohani, berkat sejak remaja memadukan keahliannya dalam bidang tari-tabuh dan spiritual.

Ia memang lahir dalam lingkungan penekun spiritual, karena ayahnya I Wayan Togag adalah seorang "pengusada", yakni tokoh penari rangda dalam seni drama tari calonarang.

Pada tahun 1953, ketika berusia 38 tahun, dia mulai secara sungguh-sungguh menekuni dunia spiritual dan berbagai jenis seni hingga sekarang.

Serba bisa
Ketekunan Mangku Teja menekuni aktivitas seni itu berawal ketika dia mendirikan Sekaa Arja di lingkungan banjar kelahirannya, pada tahun 1958. Sejak berusia 27 tahun, dia berperan sebagai penasar, salah seorang tokoh dalam pergelaran tersebut.

Dua tahun kemudian (1960), dia mendirikan pedepokan pencak silat dengan nama Pendepokan TAAT beraliran "oreg" dan "stambak".

Dia pun pernah dipercaya sebagai Bendesa (Ketua) Adat Desa Bambang selama lima tahun, 1964-1968, sekaligus merintis  terbentuknya Sekaa Wayang Wong di desa yang berlokasi sekitar 65 km timur Kota Denpasar, tahun 1968-1970.

Namun, sosok Jero Mangku Tedja sejak 1970 tidak aktif lagi sebagai sekaa kesenian, namun masih tetap menggeluti aktivitas seni bersama seniman lain yang tidak terikat dalam perkumpulan.

Aktivitasnya dicurahkan dalam kegiatan pesraman untuk membina anak-anak muda mewarisi seni budaya Bali, sebagai bekal menghadapi persaingan yang semakin ketat di era global, sekaligus melestarikan seni budaya Bali.

Berkat berbagai kegiatan seni yang ditekuni, sosok Jero Mangku Tedja kini masuk nominasi sebagai salah seorang calon penerima seni Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari pemerintah Provinsi Bali, tutur Kepala Seksi Perfilman dan Perizinan pada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Wayan Dauh.

Pemerintah Provinsi Bali membentuk satu tim untuk menyeleksi puluhan seniman yang diusulkan Pemkab dan Pemkot di daerah ini, untuk mendapat Dharma Kusuma terkait HUT ke-54 Pemprov Bali yang jatuh pada 14 Agustus 2012.

Tim yang beranggota instansi terkait, antara lain Listibia, Institut Seni Indonesia Denpasar, Dinas Pendidikan, Biro Kesra dan Dinas Kebudayaan itu, melakukan penilaian menyangkut berbagai aspek tentang jasa dan pengabdian sang calon, dalam mengembangkan dan melestarikan seni budaya Bali.

Tim melakukan seleksi secara ketat terhadap seniman yang diusulkan oleh ke delapan kabupaten dan satu kota di Bali, sehingga mereka yang menerima penghargaan tertinggi dalam bidang seni itu betul-betul mempunyai prestasi tinggi, dedikasi dan pengabdian untuk pelestarian seni budaya Bali, tutur Wayan Dauh.

Penghargaan dalam bidang seni yang diberikan secara berkesinambungan setiap tahun kepada mereka yang berhak menerimanya, sebagai wujud pengakuan atas jasa, prestasi dan  karya seni.

Upaya itu salah satu bentuk pembinaan, pengembangan dan  pelestarian nilai-nilai budaya Bali, sehingga tetap kokoh dan eksis, sekaligus mampu menumbuhkan daya kreativitas masyarakat untuk lebih memacu prestasi dalam bidang seni, ujar Wayan Dauh.(*/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012