Bupati Gianyar I Made Mahayastra berhasil mendamaikan sengketa tanah desa adat Jero Kuta, di Desa Pejeng, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.
Kedua belah pihak yang bersengketa mau menandatangani kesepakatan perdamaian di taman halaman belakang kantor Bupati Gianyar, Jumat.
Bupati Mahayastra menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya, khususnya kepada warga Desa Adat Jero Kuta, Desa Pejeng karena telah berkorban untuk Gianyar dan khususnya untuk Desa Pejeng.
“Hari ini adalah kemenangan kita semua. Hari yang sangat luar biasa. Semua di sini berkorban untuk Gianyar. Semua di sini mengalah secara pikiran, material, waktu, tenaga, emosi. Semua hanya satu kata untuk Gianyar dan untuk Pejeng,” kata Bupati Mahayastra,
Penandatanganan kesepakatan perdamaian itu disaksikan langsung Bupati Gianyar, I Made Mahayastra, Ketua DPRD Kabupaten Gianyar I Wayan Tagel Winarta, Kapolres Gianyar, AKBP I Made Bayu Sutha Sartana, Dandim 1616/Gianyar, Letkol Inf Hendra Cipta dan Sekda Kabupaten Gianyar, I Made Gede Wisnu Wijaya.
Baca juga: Desa adat Kuta-Bali salurkan bantuan hasil donasi
Bupati menambahkan, dalam hal ini tak perlu mencari pembenaran, karena hukum dibuat adalah untuk menyejahterakan rakyatnya, untuk melindungi rakyatnya. Penyelesaian masalah dengan cara damai, merupakan cara-cara terhormat dan merupakan bukti kedewasaan kita.
“Dengan ditandatangani kesepakatan tadi, itu adalah hati kita. Di sanalah tumpahan hati kita, keseriusan kita untuk berkomitmen,” imbuh Bupati Mahayastra.
Bupati Mahayastra mengatakan penyelesaian masalah dengan cara damai ini akan menjadi percontohan. Karena tak menutup kemungkinan, permasalahan serupa juga akan terjadi di desa-desa lain di Gianyar maupun luar Gianyar.
“Ciri orang besar adalah orang yang bisa memaafkan orang. Orang yang besar bisa mengoreksi dirinya dan itu sudah kita lakukan. Kita semua ini adalah orang besar,” kata Bupati Mahayastra disambut tepuk tangan warga.
Baca juga: Bawaslu Bali gandeng MDA-desa adat untuk pengawasan partisipatif
Adapun poin kesepakatan perdamaian itu yakni, pertama; Kedua belah PIHAK sepakat untuk tanah sikut satak disertifikatkan atas nama Desa Adat Jero Kuta Pejeng. Kedua; Kedua belah pihak sepakat untuk membatalkan sertifikat tanah teba yang menjadi obyek sengketa, sehingga status tanah tersebut kembali seperti semula tidak bersertifikat (dinolkan).
Ketiga; Apabila ada warga yang menginginkan pengajuan sertifikat terhadap tanah sebagaimana disebutkan pada poin 2 (dua) di atas, sepanjang memiliki bukti-bukti kepemilikan alas hak yang jelas dan sah, maka Prajuru Adat maupun Prajuru Dinas (Perbekel dan Kelian Dinas/Kaur Kewilayahan) tidak boleh menghalangi serta wajib memberikan pelayanan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keempat; Bupati Gianyar akan mengawal proses pensertifikatan dimaksud pada poin 3 (tiga), sehingga tahapan-tahapan pensertifikatan berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
Kedua belah pihak yang bersengketa mau menandatangani kesepakatan perdamaian di taman halaman belakang kantor Bupati Gianyar, Jumat.
Bupati Mahayastra menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya, khususnya kepada warga Desa Adat Jero Kuta, Desa Pejeng karena telah berkorban untuk Gianyar dan khususnya untuk Desa Pejeng.
“Hari ini adalah kemenangan kita semua. Hari yang sangat luar biasa. Semua di sini berkorban untuk Gianyar. Semua di sini mengalah secara pikiran, material, waktu, tenaga, emosi. Semua hanya satu kata untuk Gianyar dan untuk Pejeng,” kata Bupati Mahayastra,
Penandatanganan kesepakatan perdamaian itu disaksikan langsung Bupati Gianyar, I Made Mahayastra, Ketua DPRD Kabupaten Gianyar I Wayan Tagel Winarta, Kapolres Gianyar, AKBP I Made Bayu Sutha Sartana, Dandim 1616/Gianyar, Letkol Inf Hendra Cipta dan Sekda Kabupaten Gianyar, I Made Gede Wisnu Wijaya.
Baca juga: Desa adat Kuta-Bali salurkan bantuan hasil donasi
Bupati menambahkan, dalam hal ini tak perlu mencari pembenaran, karena hukum dibuat adalah untuk menyejahterakan rakyatnya, untuk melindungi rakyatnya. Penyelesaian masalah dengan cara damai, merupakan cara-cara terhormat dan merupakan bukti kedewasaan kita.
“Dengan ditandatangani kesepakatan tadi, itu adalah hati kita. Di sanalah tumpahan hati kita, keseriusan kita untuk berkomitmen,” imbuh Bupati Mahayastra.
Bupati Mahayastra mengatakan penyelesaian masalah dengan cara damai ini akan menjadi percontohan. Karena tak menutup kemungkinan, permasalahan serupa juga akan terjadi di desa-desa lain di Gianyar maupun luar Gianyar.
“Ciri orang besar adalah orang yang bisa memaafkan orang. Orang yang besar bisa mengoreksi dirinya dan itu sudah kita lakukan. Kita semua ini adalah orang besar,” kata Bupati Mahayastra disambut tepuk tangan warga.
Baca juga: Bawaslu Bali gandeng MDA-desa adat untuk pengawasan partisipatif
Ketiga; Apabila ada warga yang menginginkan pengajuan sertifikat terhadap tanah sebagaimana disebutkan pada poin 2 (dua) di atas, sepanjang memiliki bukti-bukti kepemilikan alas hak yang jelas dan sah, maka Prajuru Adat maupun Prajuru Dinas (Perbekel dan Kelian Dinas/Kaur Kewilayahan) tidak boleh menghalangi serta wajib memberikan pelayanan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keempat; Bupati Gianyar akan mengawal proses pensertifikatan dimaksud pada poin 3 (tiga), sehingga tahapan-tahapan pensertifikatan berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021