Sudah setahun pandemi melanda Indonesia, sudah setahun juga pers turut berkutat dengan derasnya arus informasi tentang virus corona dan COVID-19 di Indonesia.
Sumber informasi yang terpercaya dan akurat tentu sangat penting agar informasi, terutama yang berkaitan dengan kesehatan, tidak simpang siur dan membingungkan masyarakat.
Pers, sejak pandemi melanda, menjadi salah satu ujung tombak informasi tentang COVID-19, baik untuk informasi mengenai perkembangan kasus, cara mencegah penularan hingga kebijakan pemerintah untuk mengatasi krisis kesehatan yang berdampak pada multisektor ini.
Tentu, kini pers bukan satu-satunya tempat untuk mendapatkan informasi tentang virus corona. Di era digital ini, banyak orang yang mengandalkan pencarian di internet dan media sosial untuk mencari informasi terbaru.
Media sosial, di sisi lain, juga menjadi tempat insan pers mencari informasi terbaru. Perbedaannya, insan pers tidak bisa menelan begitu saja informasi yang mereka dapat dari media sosial.
Baca juga: Anggota DPR: pers miliki peran strategis di era "banjir" informasi
Ketika informasi hendak dituangkan menjadi produk jurnalistik, ia harus melalui satu langkah yang tidak boleh dilupakan, yakni verifikasi atau kroscek ke sang narasumber yang memiliki kompetensi.
"Keberadaan sumber informasi yang akurat serta dapat diandalkan berperan krusial untuk memastikan tidak terjadinya information disorder (kekacauan informasi) yang dapat mengganggu produktivitas dan mengancam persatuan bangsa," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate kepada ANTARA, beberapa waktu lalu.
Pers menghadapi tantangan yang cukup besar pada situasi pandemi ini, virus yang tergolong baru dan penyakit yang relatif belum pernah ditemui sebelumnya berdampingan dengan informasi yang mengalir deras dari berbagai sumber.
Tidak berhenti di situ, berita bohong atau hoaks dan tingkat literasi masyarakat juga menjadi persoalan tambahan.
Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam sehari bisa menjaring puluhan hingga ratusan hoaks. Bahkan untuk hoaks tentang vaksin COVID-19 saja, Kominfo total menemukan 417 hoaks yang tersebar di berbagai platform media sosial.
Pers memegang peranan yang penting pada masa pandemi ini, ia sebaiknya bisa menjadi sumber informasi terpercaya.
Baca juga: Dewan Pers: Kebebasan pers hadapi gangguan dari medsos
Kilas balik ke enam bulan pertama pandemi melanda Indonesia, beredar informasi bahwa COVID-19 bisa disembuhkan dengan obat-obatan tradisional, termasuk jamu.
Ketika berhadapan dengan informasi tersebut, pers bisa berperan meluruskan informasi, merujuk pada informasi dari ahli atau otoritas kesehatan seperti Kementerian Kesehatan.
Menteri Kominfo Johnny, berkaitan dengan peran pers di masa pandemi, menilai pers menjadi garda terdepan dalam melawan berita bohong atau hoaks dan "membangun optimisme terutama di tengah pandemi COVID-19".
"Ini momentum yang bagus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat atas independensi pers yang berkualitas," kata Johnny.
Kepercayaan masyarakat terhadap produk jurnalistik tentu tidak datang begitu saja, melainkan harus dijaga, antara lain melalui produk jurnalistik yang berkualitas dan independensi, seperti yang disebutkan sebelumnya.
Salah satu sikap pers terhadap hoaks yang menjadi-jadi adalah dengan membentuk tim antihoaks. Hampir setiap media kini memiliki tim antihoaks untuk melawan berita bohong.
Bukan hanya media jurnalistik yang memiliki tim antihoaks, sejumlah lembaga menggandeng komunitas untuk melawan berita bohong, seperti Badan Pengawas Pemilihan Umum dengan jaringan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) tahun lalu untuk mengatasi hoaks menjelang pemilu.
Produk jurnalistik yang berkualitas bisa dibentuk salah satunya dengan selalu melakukan verifikasi kepada narasumber yang kompeten.
Sementara untuk independensi, Johnny mengingatkan bahwa kebebasan pers tidak berarti bebas tanpa kontrol, melainkan terdapat etika jurnalistik.
"Ada etika media (pers) dan peran serta masyarakat yang perlu diperhatikan, apalagi pers adalah salah satu pilar demokrasi yang penting," kata Johnny.
Baca juga: KSP: Media massa jembatan kebebasan berekspresi publik di era medsos
Dewan Pers melalui survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) di 34 provinsi menilai secara keseluruhan, kondisi kebebasan pers cenderung semakin membaik.
Peran pemerintah
Johnny melihat pers yang berkualitas, yang memberikan informasi berimband dan faktual, bisa menjadi bagian solusi literasi digital masyarakat.
Tapi, persoalan hoaks tidak bisa hanya diatasi dengan menjadikan pers sebagai sumber informasi terpercaya, namun, juga bagaimana tingkat literasi masyarakat yang mengonsumsi informasi tersebut.
Di era yang serba digital ini, Kementerian Kominfo sejak beberapa tahun belakangan menggencarkan program literasi digital melalui Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi.
Secara berkala, Siberkreasi mengadakan program literasi digital, termasuk bagaimana menggunakan internet untuk mencari informasi dan cara memilah serta memilih informasi.
Baca juga: Ketua DPR: Pers sumber inspirasi bangkit dari pandemi
Kementerian Kominfo bersama Katadata Insight Center tahun lalu meluncurkan Indeks Literasi Digital Nasional. Hasilnya menunjukkan bahwa literasi digital orang Indonesia tergolong sedang, sementara penggunaan internet dan media sosial tinggi.
Dari skala 1 sampai 5, literasi orang Indonesia berada di angka 3,47, yang berdasarkan survei tersebut masuk ke rentang sedang menuju baik.
Meningkatkan literasi digital ini tentu sangat penting karena teknologi digital saat ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan sehari-hari, apalagi, sejak pandemi, aktivitas masyarakat juga terbantu oleh teknologi.
Kemampuan masyarakat tentu perlu ditingkat dari mengenal teknologi digital menjadi bagaimana teknologi tersebut bisa bermanfaat untuk kehidupan mereka.
Literasi digital juga memiliki peran yang penting untuk mewujudkan agenda transformasi digital di Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
Sumber informasi yang terpercaya dan akurat tentu sangat penting agar informasi, terutama yang berkaitan dengan kesehatan, tidak simpang siur dan membingungkan masyarakat.
Pers, sejak pandemi melanda, menjadi salah satu ujung tombak informasi tentang COVID-19, baik untuk informasi mengenai perkembangan kasus, cara mencegah penularan hingga kebijakan pemerintah untuk mengatasi krisis kesehatan yang berdampak pada multisektor ini.
Tentu, kini pers bukan satu-satunya tempat untuk mendapatkan informasi tentang virus corona. Di era digital ini, banyak orang yang mengandalkan pencarian di internet dan media sosial untuk mencari informasi terbaru.
Media sosial, di sisi lain, juga menjadi tempat insan pers mencari informasi terbaru. Perbedaannya, insan pers tidak bisa menelan begitu saja informasi yang mereka dapat dari media sosial.
Baca juga: Anggota DPR: pers miliki peran strategis di era "banjir" informasi
Ketika informasi hendak dituangkan menjadi produk jurnalistik, ia harus melalui satu langkah yang tidak boleh dilupakan, yakni verifikasi atau kroscek ke sang narasumber yang memiliki kompetensi.
"Keberadaan sumber informasi yang akurat serta dapat diandalkan berperan krusial untuk memastikan tidak terjadinya information disorder (kekacauan informasi) yang dapat mengganggu produktivitas dan mengancam persatuan bangsa," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate kepada ANTARA, beberapa waktu lalu.
Pers menghadapi tantangan yang cukup besar pada situasi pandemi ini, virus yang tergolong baru dan penyakit yang relatif belum pernah ditemui sebelumnya berdampingan dengan informasi yang mengalir deras dari berbagai sumber.
Tidak berhenti di situ, berita bohong atau hoaks dan tingkat literasi masyarakat juga menjadi persoalan tambahan.
Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam sehari bisa menjaring puluhan hingga ratusan hoaks. Bahkan untuk hoaks tentang vaksin COVID-19 saja, Kominfo total menemukan 417 hoaks yang tersebar di berbagai platform media sosial.
Pers memegang peranan yang penting pada masa pandemi ini, ia sebaiknya bisa menjadi sumber informasi terpercaya.
Baca juga: Dewan Pers: Kebebasan pers hadapi gangguan dari medsos
Kilas balik ke enam bulan pertama pandemi melanda Indonesia, beredar informasi bahwa COVID-19 bisa disembuhkan dengan obat-obatan tradisional, termasuk jamu.
Ketika berhadapan dengan informasi tersebut, pers bisa berperan meluruskan informasi, merujuk pada informasi dari ahli atau otoritas kesehatan seperti Kementerian Kesehatan.
Menteri Kominfo Johnny, berkaitan dengan peran pers di masa pandemi, menilai pers menjadi garda terdepan dalam melawan berita bohong atau hoaks dan "membangun optimisme terutama di tengah pandemi COVID-19".
"Ini momentum yang bagus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat atas independensi pers yang berkualitas," kata Johnny.
Kepercayaan masyarakat terhadap produk jurnalistik tentu tidak datang begitu saja, melainkan harus dijaga, antara lain melalui produk jurnalistik yang berkualitas dan independensi, seperti yang disebutkan sebelumnya.
Salah satu sikap pers terhadap hoaks yang menjadi-jadi adalah dengan membentuk tim antihoaks. Hampir setiap media kini memiliki tim antihoaks untuk melawan berita bohong.
Bukan hanya media jurnalistik yang memiliki tim antihoaks, sejumlah lembaga menggandeng komunitas untuk melawan berita bohong, seperti Badan Pengawas Pemilihan Umum dengan jaringan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) tahun lalu untuk mengatasi hoaks menjelang pemilu.
Produk jurnalistik yang berkualitas bisa dibentuk salah satunya dengan selalu melakukan verifikasi kepada narasumber yang kompeten.
Sementara untuk independensi, Johnny mengingatkan bahwa kebebasan pers tidak berarti bebas tanpa kontrol, melainkan terdapat etika jurnalistik.
"Ada etika media (pers) dan peran serta masyarakat yang perlu diperhatikan, apalagi pers adalah salah satu pilar demokrasi yang penting," kata Johnny.
Baca juga: KSP: Media massa jembatan kebebasan berekspresi publik di era medsos
Dewan Pers melalui survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) di 34 provinsi menilai secara keseluruhan, kondisi kebebasan pers cenderung semakin membaik.
Peran pemerintah
Johnny melihat pers yang berkualitas, yang memberikan informasi berimband dan faktual, bisa menjadi bagian solusi literasi digital masyarakat.
Tapi, persoalan hoaks tidak bisa hanya diatasi dengan menjadikan pers sebagai sumber informasi terpercaya, namun, juga bagaimana tingkat literasi masyarakat yang mengonsumsi informasi tersebut.
Di era yang serba digital ini, Kementerian Kominfo sejak beberapa tahun belakangan menggencarkan program literasi digital melalui Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi.
Secara berkala, Siberkreasi mengadakan program literasi digital, termasuk bagaimana menggunakan internet untuk mencari informasi dan cara memilah serta memilih informasi.
Baca juga: Ketua DPR: Pers sumber inspirasi bangkit dari pandemi
Kementerian Kominfo bersama Katadata Insight Center tahun lalu meluncurkan Indeks Literasi Digital Nasional. Hasilnya menunjukkan bahwa literasi digital orang Indonesia tergolong sedang, sementara penggunaan internet dan media sosial tinggi.
Dari skala 1 sampai 5, literasi orang Indonesia berada di angka 3,47, yang berdasarkan survei tersebut masuk ke rentang sedang menuju baik.
Meningkatkan literasi digital ini tentu sangat penting karena teknologi digital saat ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan sehari-hari, apalagi, sejak pandemi, aktivitas masyarakat juga terbantu oleh teknologi.
Kemampuan masyarakat tentu perlu ditingkat dari mengenal teknologi digital menjadi bagaimana teknologi tersebut bisa bermanfaat untuk kehidupan mereka.
Literasi digital juga memiliki peran yang penting untuk mewujudkan agenda transformasi digital di Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021