Oleh Laurensius Molan

Sebagai tukang ojek, orientasi mereka hanyalah untuk melayani penumpang sebanyak-banyaknya, namun hal itu tidak bagi Maklon Imanuel Ebenheiser Pobas (42) yang beroperasi di jantung Kota SoE, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Setiap melayani penumpang, pria bertubuh langsing itu selalu menaruh pandangan pada kain tenun ikat yang dipajang di daerah pertokoan maupun di lokasi industri kerajinan rakyat yang ada di kota dingin penghasil kayu cendana terbesar di Nusa Tenggara Timur itu.

"Suatu saat, saya melihat pajangan kain tenun ikat khas Sumba di sebuah toko. Saya mencermati satu per satu motifnya kemudian timbul keinginan untuk membuat kain tenun ikat sepanjang 70 meter," katanya ketika ditemui di kediamannya di Jalan Nekmese, Kelurahan Manutapen, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Senin (16/4).

Suami dari Yasinta Dada Bili (38) dan ayah dari Fegus Delepson Pobas (8), Meme Pobas (6) dan Detrin Pobas (1), kemudian mengisahkan obsesinya membuat kain tenun sepanjang 58 meter yang kini tersimpan di salah seorang keluarganya yang tinggal di Karawaci, Tangerang.

"Awal mulanya saya berobsesi membuat kain tenun ikat sepanjang 65 meter bertepatan dengan HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 2010, namun hasil yang saya dapatkan hanya mencapai 58 meter," kata Maklon.

Setelah melihat motif tenun ikat Sumba di SoE, Maklon kemudian pergi ke kampung halamannya di Amanatun Utara untuk bertemu dengan seorang penenun di Kampung Nusman bernama Yusmina Letuna yang juga adalah tantenya.

"Mama Yusmina sangat profesional di bidang tenun ikat, namun ia menolak ketika saya tawarkan untuk membuat kain tenun sepanjang 65 meter. Bagi Mama Yusmina, membuat kain tenun sepanjang itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak mungkin akan terwujud," ujarnya.

Meskipun demikian, Maklon tetap mendorongnya sampai akhirnya Mama Yusmina menerima "ide gila" dari Maklon untuk membuat kain tenun tersebut yang diawali dengan pembuatan motif atau bahasa setempat disebut Buna.

Benang-benang hasil pintalan dan sebagiannya lagi dibeli di toko itu, kemudian ditarik sepanjang 70 meter untuk mengatur motif kain tenun khas Amanatun bersama Mama Yusmina.

Setelah motifnya tersusun dengan benang warna-warni, kain sepanjang 70 meter itu kemudian ditenun secara perlahan-lahan oleh Mama Yusmina sampai membentuk sebuah kain tenun ikat khas Amanatun.

"Mama Yusmina menghabiskan waktu selama tiga tahun dua bulan untuk menghasilkan kain tenun ikat sepanjang 58 meter dari sebelumnya sepanjang 70 meter," katanya dan menjelaskan selama pemintalan, kain mengalami penyusutan sehingga hanya mencapai 58 meter dari yang ditargetkan 65 meter.

Maklon menjelaskan pembentukan motif kain khas Amanatun itu pertama kali dilakukan pada 24 Agustus 2008, dan baru berubah menjadi sebuah kain tenun ikat permanen pada 31 Oktober 2011.

Menurut dia untuk menghasilkan sebuah kain tenun sepanjang 58 meter itu, menghabiskan dana sekitar Rp72 juta lebih yang antara lain digunakan untuk membeli bahan tenunan serta membayar ongkos pengerjaan kepada Mama Yusmina.

"Tiap bulan saya harus membayar Rp250.000 kepada Mama Yusmina, sedang bahan tenun seperti benang, hanya menghabiskan sekitar Rp3 juta lebih," katanya.

Menurut dia anggaran yang digunakan untuk membeli benang dan membayar jasa Mama Yusmina, diperolehnya dari jasa mengojek, menjual besi tua serta barang lainnya yang bisa mendatangkan uang.

"Tak ada satu sponsor pun yang saya ajak masuk ke wilayah kerja tersebut, karena risikonya sangat besar jika proyek pembuatan kain tenun sepanjang itu tidak terwujud," katanya polos.

Menurut dia banyak penenun profesional di NTT yang sudah mampu mengolah industri kerajinan, sangat pesimistis bahwa proyek tenun ikat sepanjang 58 meter itu bisa selesai, karena dalam sejarah belum ada satu penenun pun yang mampu menenun kain sepanjang 58 meter.

"Bagi mereka adalah sesuatu yang mustahil, tetapi bagi saya tidak...Saya optimistis bahwa tenun sepanjang itu pasti akan jadi meski membutuhkan waktu yang panjang dan melelahkan untuk menuntaskannya," kata Maklon yang kini membangun bengkel cuci mobil dan motor di Jalan Oentong Soeropati No.23 Airnona, Kupang.

Maklon bukanlah seorang penenun profesional, tetapi seorang pekerja di bengkel mobil dan motor setelah tidak menyelesaikan studinya di STM Negeri Kupang, karena ketiadaan biaya.

"Saya hanya sampai di kelas 2, setelah itu merantau ke Surabaya, bekerja di bengkel cuci mobil dan motor serta salon kecantikan milik Duta Ban di Jalan Undaan Wetan No.36, tak jauh dari Rumah Sakit Mata Adi Husada dari 1993-2004," katanya.

Selepas dari Surabaya, ia kembali ke Kota SoE. Tidak ada pekerjaan yang menjanjinkan di tanah kelahirannya. Ia kemudian memilih jalan menjadi tukang ojek di kota dingin itu.

Saban hari, Maklon harus menelusuri jalan mengantar orang-orang yang dilayaninya, sampai akhirnya menemukan sosok tenun ikat yang bisa diharapkan dapat mengantar namanya ke "langit" nusantara lewat pameran.

Pada pelaksanaan Pameran Kain Tradisional Unggulan Nusantara yang diselenggarakan Kementerian Perindustrian di Jakarta pada 15 Februari 2012, Maklon sempat membawa "obsesinya" tersebut untuk dipamerkan, namun niat itu tak kunjung tiba karena terlambat tiba di Jakarta sebagai peserta pameran.

"Saya tidak memamerkan kain tenun sepanjang 58 meter itu, namun sempat ditawar oleh Gubernur Banten Hj Ratu Atut Chosiyah dengan harga Rp500 juta. Saya tolak tawaran tersebut, karena tidak berniat sedikit pun untuk menjualnya," kata Maklon.

Terus apa yang memotivasi Maklon untuk membuat kain tenun sepanjang itu?  "Saya ingin mempromosikan kerajinan tenun ikaT NTT serta ingin masuk dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Ini obsesi saya membangun proyek kain tenun ikat sepanjang 58 meter itu," katanya.

Saat ini, Maklon hanya bisa membantu para penenun di TTS dan beberapa tempat lainnya di Kupang untuk melanggengkan usahanya kemudian hasil yang didapatkan akan dijual atau dipamerkan di dalam dan luar negeri.

"Saya masih memiliki obsesi untuk membuat kain tenun ikat lebih panjang lagi dari yang sekarang. Namun, usaha itu akan terwujud setelah proyek tahap pertama sudah diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia dan dunia internasional," katanya lirih.(*/T007)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012